Bagian 1

11.4K 339 49
                                    

Menikah dengan berondong ...?

Aku menggeleng pelan. Mengusir kalimat yang berkelebat di pikiranku. Seharian menghabiskan waktu di kamar, bahkan sampai sore ini, tidak melakukan kegiatan apa pun, termasuk mengontrol pondok putri. Ya Allah ... aku menghela napas panjang, menghempaskan diri pada sofa berbahan beludru di sisi.

Acara khitbah semalam benar-benar membuat kepala ini berdenyut tiada henti. Aku akan menikah, dengan pilihan abah dan umi? Dengan lelaki yang lebih muda dariku.

Kutepuk dahi ini. Kembali, hanya embusan napas yang menjadi solusi saat pemikiran serasa buntu.

Abah dan umi memberi pilihan yang tak bisa kupilih. Bagaimana tidak? Mereka memberi pilihan menikah dengan Gus Ishaq, putra Kiai Ahmad yang merupakan sahabat dekat abah. Atau mencari suami sendiri?

Tentu, mana bisa aku memilih, jangankan calon suami, yang mau mendaftar jadi suami saja tidak ada. Apa yang mereka tidak suka dariku? Aku masih 29 tahun, bukan perawan tua. Juga masalah paras, banyak yang mengatakan aku cantik, katanya.

Hanya saja, predikat 'Ning Galak', 'Pengurus Killer' sudah melekat dari zaman menyantri bertahun-tahun yang lalu. Sampai sekarang, banyak santriwati, maupun santriwan yang menjaga jarak. Rupanya jabatan pengurus keamanan tempo dulu menjadi bekal di pesantren abah ini. Aku merangkap berbagai jabatan, di antaranya masih tentang keamanan pondok.

"Ning Tazkia."

Panggilan dari luar pintu kamar membuatku menoleh, aku segera beranjak dan membukakan pintu. Sudah ada Hasna di sana, salah satu mbak ndalem yang bisa kuajak mengobrol, dia satu-satunya yang tidak terlalu takut menghadapiku sebab memang sering keluar masuk kamar untuk membersihkan.

"Apa, Has?" tanyaku.

Hasna menoleh sekeliling, lalu ia masuk ke dalam kamar yang kemudian kuikuti. Segera pintu kututup rapat.

"Ini, Ning. Foto Gus Ish, saya dapat dari teman saya yang menyantri di pondok Kiai Ahmad." Hasna menyodorkan foto berukuran 5 R. Beberapa hari ini, aku sengaja meminta Hasna untuk mencari tahu seperti apa sosok Gus Ishaq sebenarnya, meskipun hanya dari selembar kertas, setidaknya aku tahu bentuk suamiku nanti. Segera kuamati gambar dalam foto tersebut.

"Yang mana?" tanyaku saat melihat dua lelaki berpeci hitam tengah menyungging senyum. Latar belakang pun sepertinya tengah mengikuti sebuah acara, terbukti dari sebuah banner di belakang foto yang bertuliskan "Imtihan Akhirusanah."

"Yang ini, Ning." Hasna menunjuk gambar lelaki yang mengembang senyum. Wajahnya memang tampan, tapi tidak ada daya tarik sama sekali untukku.

Aku menghela napas, mengembalikan foto itu pada Hasna. Acara khitbah semalam tidak ada Gus Ishaq di sana, kata orang tuanya, dia masih di pondok, menuntaskan pendidikan agama yang kurang 1 bulan lagi selesai. Itu artinya, pernikahan ini juga satu bulan lagi dilaksanakan.

"Hasna ...," lirihku kini. Aku tidak tahu harus bagaimana.

"Gus Ish ganteng, Ning," sahut Hasna yang duduk di sisi. Aku langsung menoleh. Tatapanku tertuju padanya, membuat ia langsung diam menunduk.

"Ini bukan masalah ganteng. Aku nggak kenal dia, apalagi, umurnya lebih muda. Aku malu, Has. Mau taruh mana mukaku? Nikah sama berondong." Aku mendengkus. Marwahku bisa jatuh jika santri-santri tahu aku menikah dengan lelaki 6 tahun lebih muda dariku. Ya Allah ... pikiranku mulai kacau.

"Saya boleh keluar, Ning?" tanya Hasna kemudian.

"Ya udah sana."

Santri berhijab kuning itu beranjak, melangkah dan membuka pintu meninggalkan kamar.

Kuhempaskan diri ke ranjang. Menerawang langit-langit, lalu memejam kemudian. Teringat saat berbincang dengan abah juga umi empat hari yang lalu saat kami makan malam.

"Kamu harus cepet nikah, Nduk."

Aku tersedak saat meneguk cairan bening di meja kala mendengar ucapan abah. Dibantu umi menepuk punggung, kembali aku minum perlahan. Setelah terasa lebih baik, pandangan ini tertuju pada abah di sebelah.

"Tata pasti menikah, Bah. Tapi nanti, kalau sudah bertemu jodoh," ucapku kemudian. Terlihat abah dan umi saling pandang, menimbulkan tanda tanya.

"Kalau abah carikan jodoh, mau? Atau nyari sendiri? Umurmu sudah hampir kepala tiga loh. Masih betah sendiri?"

Aku terkekeh mendengar pertanyaan abah. Segenting apa aku harus cepat-cepat menikah? Bukankah selama ini, mereka tidak risau meski aku belum juga berumah tangga.

"Ta ...." Kini suara lembut umi membuat tawaku terhenti. Tatapannya tampak serius. "Kamu ini anak abah sama umi yang paling tua. Kamu nanti yang jadi penerus mimpin pesantren ini ...."

Wanita bergamis bunga-bunga ini menghela napas, kembali menatap dan meraih tanganku di atas meja. "Kamu memang pintar, bisa ngurus pondok sendiri, tapi ya ... kapan kamu nikahnya kalau terus fokus ngurus pesantren sendiri? Abah sama umi sudah tua, pingin punya cucu."

Aku terdiam, menelaah kalimat wanita istimewa dalam hidupku. Memang, sebagai anak tertua dari 2 bersaudara, aku punya tuntutan tanggung jawab untuk pesantren abah di masa mendatang. Mengingat adikku juga perempuan yang masih sekolah aliyah kelas dua belas.

"Gini lo, Ta. Abah itu ingin kamu nanti, menggantikan abah sudah punya suami. Biar bisa sama-sama mengurus pesantren ini. Umur abah ini sudah udzur, sudah waktunya istirahat." Abah berucap.

"Memangnya, abah sama umi mau menjodohkan Tata sama siapa?" tanyaku kini. Raut wajah abah dan umi tampak serius, mungkin memang ada rencana serius pula yang tengah disusun. Tapi apapun itu, toh! Pasti yang terbaik untukku. Dari pada harus mencari calon sendiri, dapat dari mana?

"Nak Ishaq, putra bungsu Kiai Ahmad."

Aku mengernyit kening, Ishaq? Putra Kiai Ahmad? Yang mana? Setahuku, putra beliau sudah berumah tangga semua, ada Gus Fatah, Gus Afif, dan mereka sudah berkeluarga. Lalu Ishaq? Aku tak pernah mendengar nama itu.

"Kenapa? Nggak kenal sama Nak Ish?" Umi bertanya, seolah menangkap kebingunganku.

"Kamu ya, ndak kenal. Wong Nak Ish itu, tinggal di pesantren kakeknya, di luar kota sejak kecil. Sebentar lagi, dia lulus mondok, kalian kan nanti bisa ta'aruf bentar atau langsung nikah," jelas abah panjang lebar.

"Lagian, Nduk. Hubungan abah sama Kiai Ahmad itu sangat dekat, dan Kiai Ahmad berencana mengeratkan tali silaturahmi, dengan menjodohkan anaknya denganmu, juga termasuk jalinan kerja sama antar pesantren."

Tak ada ciri fisik yang abah gambarkan dari sosok Gus Ishaq itu, beliau hanya bilang, lelaki itu baik, insya allah bertanggung jawab.
Aku menurut saja, sudah pernah dulu menolak lamaran beberapa lelaki berbagai kalangan. Bukan pilih-pilih, hanya mencari yang cocok, sebab tidak mungkin menerima seorang imam yang diri ini saja merasa ragu. Entah kali ini pasrah rasanya, terlebih saat umi menyinggung masalah umur. Sejak 5 tahun terakhir ini, tidak ada lagi yang datang mengajukan taaruf.

Hari khitbah itu pun tiba, di mana Kiai Ahmad beserta keluarga datang, tanpa calon suami yang dijodohkan denganku. Alasannya, masih di pesantren sang kakek.

Acara yang berlangsung itu banyak membahas kehidupanku, juga Gus Ish, sapaan untuk Gus itu. Kiai Ahmad banyak menceritakan sosok putra bungsunya.

"Anakku itu, cuma Ish saja yang nggak kumpul. Dulu, waktu kecil, dia dipinta kakek neneknya tinggal di Sidoarjo. Alhamdulillah, setelah Afif menikah, dia yang tinggal di sana, Ish bisa tinggal di Surabaya ini."

Obrolan terjalin hangat, sampai terkupas tuntas siapa sosok Gus Maulana Ishaq sebenarnya. Dia masih muda, hafiz, juga sarjana. Usianya masih 23 tahun. Aku yang duduk di sebelah abah sesekali mengembus napas, lelaki itu terlalu muda bagiku. Apa alasan dia mau menikahi yang jauh lebih dewasa?
“Umur ‘kan bukan masalah, Lan. Biar beda, kalau jodoh ‘kan nggak apa, to?” Kiai Ahmad berucap.
“Betul itu,” jawab abah mengulas senyum, menoleh padaku.

***

Selepas kegiatan pesantren pagi ini, aku menyempatkan berkeliling pondok putri, sudah seminggu sejak acara pinangan itu, aku tidak patroli asrama. Didampingi salah satu pengurus keamanan, satu per satu kamar digeledah.

Lemari, juga setiap sudut kamar kuperiksa. Biasanya, akan kutemukan surat cinta yang lebai dari kang santri untuk mbak-mbak. Juga penyelundupan ponsel tanpa izin.

Usia memeriksa asrama bawah, dan tidak menemukan apa-apa. Aku beralih ke asrama atas, pelan kutapaki tangga. Terdengar suara derap kaki yang berkejaran, reaksi seperti itu biasa terjadi, santri-santri menyadari kedatanganku.

Beberapa tampak menyapa dari ambang pintu, ada juga yang tergopoh memasang kerudung sebelum menyalami tanganku. Peraturan di pesantren ini, harus berjilbab jika keluar kamar, juga memakai baju lengan panjang. Khusus di dalam kamar, mereka bebas.

Tidak ada pelanggaran yang terjadi kali ini, mungkin sudah jera sebab seminggu yang lalu ada hampir 10 santriwan, juga santriwati dijatuhi sanksi sebab surat menyurat berupa mengaji di halaman masjid selama tiga hari. Tentu cukup membuat malu karena disaksikan seluruh penghuni pesantren.

"Bagus! Saya senang, kalian mentaati peraturan. Ingat, kalian dipondokkan, untuk menuntut ilmu. Bukan jadi penyair, pujangga cinta, bucinan! Hafalin nadhom, serius belajar." Itulah wejangan yang kusampaikan kepada para santri sebelum pergi meninggalkan asrama.

Satu persatu mereka menyalami sampai kaki ini menuruni kembali anak tangga.

Gus Berondong (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang