Bagian 7

5.9K 322 21
                                    

Pov Tazkia

Melangkah pelan menuju pondok putri, sesekali menjawab salam santri yang berpapasan. Namun ketika sampai, aku memilih duduk di kursi besi memanjang di halaman, tepat di bawah pohon Kiara Payung yang tumbuh rindang.

Suasana ramai, santriwati banyak yang berlalu-lalang. Niatku sebenarnya hendak mengontrol ketertiban siang ini, tapi urung ketika suasana hati semakin tak nyaman.

Entah, semenjak perkataan gadis di kedai es buah itu, pikiranku terganggu. Di saat mulai mencoba menerima Gus Ish, keraguan muncul. Aku tak menyalahkan asumsi gadis yang bernama Elin itu, tapi cukup kembali mengingatkan, bahwa perbedaan usia menjadi kendala.

Ingin berusaha menepis, tapi tak bisa. Pertanyaan muncul, mengapa aku bisa bersanding dengan lelaki yang pernah menjadi daftar pelanggar di pondok waktu itu? Bahkan insiden tempo dulu yang selalu membuatku malu setiap kali berhadapan dengannya.

Kupijat kepala yang terasa pening, buntu, tidak bisa berpikir jernih. Ditambah nama Anis mulai turut mengganggu. Percakapan Gus Ish di telepon, aku tak tahu apa yang dibahas, tapi nada bicaranya menunjukkan ada kedekatan khusus antara mereka. Seberapa dekat mereka sebenarnya?

Puas duduk menyendiri hampir se jam lamanya, bahkan mengabaikan tatapan santri yang tak tahu apa maksudnya. Aku beranjak, melangkah menuju ndalem. Di ruang tengah, kudapati umi duduk seorang diri tengah merajut, hobi beliau sejak dulu. Aku pun menghampiri.

"Abah mana, Mi?" tanyaku seraya duduk di sofa seberang umi. Biasanya, abah akan menemani saat waktu luang seperti ini.

"Di dalam, sedang bersiap menghadiri acara pengajian, abahmu diundang jadi pengisi ceramah di RW sebelah."

"Pengajian? Kenapa Tata nggak tahu?" Aku menegakkan punggung, mengernyit dengan jawaban umi. Bukankah jika ada acara seperti ini, aku pasti tahu, dan menemani abah nantinya?

Umi tersenyum menanggapi, hanya menoleh sekilas, kembali melanjutkan rajutan. Beliau sedang membuat kelopak bunga, mungkin akan ditempelkan pada kerudung di pangkuannya. Seperti kerudung instan lebar yang kupakai, ada hiasan bunga rajut di ujung bawahnya. Hasil ketelatenan umi.

Lama kuperhatikan kemahiran umi mengolah benang wool menjadi bunga-bunga beragam bentuk juga warna. Pernah beliau mengajarkan cara membuat, hanya saja, tingkat ketelatenanku sangat minim. Alhasil sampai sekarang tidak ada ilmu yang kudapat soal merajut.

"Nduk." Terdengar suara abah memanggil, aku mendongak mencari sumber suara, abah ada di hadapan. Beliau sudah rapi, dengan baju koko putih, kopiah putih dibalut sorban. Wangi parfum bunga kasturi menguar memenuhi ruang tengah.

"Dalem, Bah. Abah diantar siapa?" tanyaku beranjak.

"Suamimu. Tadi abah sudah bilang sama dia, dan dia bersedia menemani abah ke pengajian."

Aku sedikit melongo mendengar jawaban abah. Sepertinya kini abah jauh lebih dekat dengan Gus Ish ketimbang aku. Beberapa kali kulihat mereka mengobrol di ruang tengah.

"Kamu di rumah aja, Ta. Urusan pondok dan acara di luar, biar Ish, yang urus," ucap abah sambil membenarkan lengan bajunya.

"Injeh, Bah." Aku mengangguk.

"Betul kata abah, kamu nggak perlu repot-repot lagi. Tugasmu, di rumah." Umi menyambung, aktivitas merajutnya terjeda, beliau menolehku yang masih berdiri. "Belajar masak, Ta. Moso' suamimu tiap hari makan masakan mbak ndalem? Nggak pengen, liat suamimu makan hasil masakanmu sendiri?" lanjut beliau. Aku mengangguk, tersenyum kecut menanggapi. Seolah terintimidasi karena urusan dapur yang tak kukuasai.

"Ya udah, kamu liat sana suamimu. Sudah siap, apa belum? Abah tunggu di sini," ucap abah seraya duduk.

"Injeh, Bah."

Gus Berondong (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang