Bagian 11

10.7K 495 87
                                    

Pov Tazkia

Suasana adat Jawa kental terasa saat kaki ini memijak halaman ndalem Kiai Jalal. Melihat tenda warna biru kombinasi putih yang berdiri kokoh. Terdapat bleketepe, berupa anyaman janur kuning melengkung, berdiameter 50×200 cm di atas pintu. Ada juga tuwuhan berupa pohon pisang raja suluh(matang) dan tebu wulung(kehitaman) berdiri di sisi kanan dan kiri pintu masuk tenda. Cengkir kelapa terselip di antara pohon pisang tersebut.

Dalam falsafah Jawa, janur memiliki makna sejane ning nur (harapan nur Ilahi) lalu kuning yang memiliki arti kalbu kang wening (hati yang bening) mungkin dapat diartikan simbol janur kuning itu adalah hati yang bening, menikah karena mengharap ridho Gusti Allah.

Sedang tuwuhan itu sendiri bermakna harapan orang tua pada pengantin agar mendapatkan keturunan yang insya allah solih dan solihah.

Pohon pisang yang katanya simbol cinta sejati, sebab pohon pisang hanya berbuah sekali dalam seumur hidup. Melambangkan sebuah pernikahan yang diharap juga sekali seumur hidup. Namun ada pula yang mengatakan jika pohon pisang suluh/matang asli dari pohonnya tersebut melambangkan kedua mempelai sudah mampu berpikir secara matang, secara dewasa dalam rumah tangga. Membangun mahligai dengan cinta kasih, menciptakan keturunan yang terpuji dan terpilih.

Mataku teralih pada tebu kehitaman yang berjejer dengan pohon pisang. Tebu, mantepe kalbu(mantapnya hati) mampu memantapkan niat memulai hidup baru. Lalu cengkir kelapa, cengkir yang artinya kencenge pikir, memiliki makna mampu melewati masa kritis dan mempertahankan pernikahannya.

Entah kenapa pemandangan di depan mata, yang membuat langkah kaki ini tertahan, serasa menjadi tamparan keras pada diri ini. Simbol yang juga ada di hari pernikahanku dengan Gus Ish. Seolah mengingatkan dan menarikku dalam acara 15 hari yang lalu. Nyatanya simbol itu jauh dari bahtera rumah tangga yang baru kuarungi.

Apakah Gusti Allah akan meridhoi pernikahanku? Sedang memberi bakti pada suami saja masih belum seutuhnya.

Apakah akan ada keturunan yang solih dan solihah jika ritual itu belum kuinginkan? Dan apakah pernikahan ini akan bertahan jika memulainya saja tidak kulakukan?

Apakah Gus Ish masih akan bertahan dengan istri sepertiku?

Kenapa dadaku sesak mengingat perlakuanku pada Gus Ish selama ini. Ia bahkan sabar menghadapi keegoisanku. Egois meminta waktu menerimanya dengan sepenuh hati. Sementara ia sumarah, tak pernah mengeluh dan selalu bersikap ramah. Bahkan ketika haknya tak terpenuhi, ia tak mempermasalahkan.

Sejak ia mengatakan siap menunggu kapan saja, ada rasa bersalah yang menghantui. Kedewasaan rupanya tak ada dalam diriku. Di usia yang hampir 30 tahun, justru tidak bisa membuatku berpikir dengan baik, mengabaikan suami yang dianggap berondong. Namun nyatanya dia yang bisa bersikap dewasa. Bisa mengimbangi istrinya yang malah kekanak-kanakan.

Ah! Tazkia ... naif sekali jika kamu masih mencoba beradaptasi. Pada kenyataannya, ada kenyamanan bersama Gus Ish yang kamu rasakan, tapi berusaha kamu tepiskan. Bahkan saat ada nama perempuan yang disebut-sebut hanya teman masa kecil, ada ketidak sukaan yang kamu rasakan.

Rasa yang mulai menyeruak, tapi kamu jauh lebih mengagungkan rasa lain yang pada akhirnya kamu tahu hanya sebuah gengsi, gengsi karena berbatas umur. Dan sekarang akhirnya bingung sendiri hendak memulai dari mana. Merasa takut, seolah dikejar dosa menzolimi suami sendiri.

Aku terkesiap dari renunganku saat genggaman terasa meremas di tangan. Gus Ish menatap mengernyit, sesaat napas dalam kuhela. Aku mengangguk saat ia mengajak masuk ke dalam tarub/tenda.

Langkah yang baru masuk menjadi perhatian, tak sedikit orang-orang yang menatap. Entah, aku tak bisa mengartikan, mungkin menyambut, tapi cukup membuatku seolah terintimidasi, merasa tak ada keselarasan dengan Gus Ish yang mengulas senyum saat kumenolehnya. Kami pasangan beda usia. Tentu mengganggu suasana hati yang semakin carut marut.

Gus Berondong (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang