Acara pengajian muslimat telah selesai. Sebelum pulang, aku dan jamaah menyempatkan shalat Asar di mushala kecil milik tuan rumah.
Harusnya Umi yang hadir, hanya saja beliau baru saja kembali dari ziarah, sudah pasti kelelahan. Jadi aku yang menggantikan, dan ini kali kedua.
"Mobil jemputan sudah datang, Ning."
Salah satu jamaah memberi tahu, aku yang tengah berbincang dengan beberapa ibu-ibu beranjak dari duduk di ruang tamu. "Oh, nggih," jawabku.
Usai berpamit, aku pun bergegas keluar. Langit tampak mendung dan kian pekat, sepertinya akan turun hujan seperti sore-sore sebelumnya. Musim penghujan sudah tiba.
Mobil warna hitam sudah terparkir di halaman, itu pasti Kang Andi. Tadi dia yang mengantar, sayang harus pulang untuk mengantar santri yang sakit ke klinik terdekat, sebab mobil satunya lagi dipakai Gus Ish yang juga memiliki agenda kegiatan sendiri.
Aku sedikit heran, biasanya Kang Andi akan sigap keluar dari mobil, membukakan pintu, tapi ini, kaca mobil justru tertutup rapat. Ah ya sudahlah. Aku mendongak, melihat langit yang kian gelap, sesegera masuk dan duduk di jok belakang.
Kusandarkan punggung juga kepala, mengembus napas sambil memejam. Membiarkan Kang Andi melajukan mobil, dan aku meluruskan punggung. Namun, beberapa menit, mobil tidak kunjung jalan, membuatku membuka mata, menegakkan punggung hendak menegur.
Namun kalimat itu tertahan saat tahu yang di balik kemudi bukan Kang Andi, tapi Gus Ish yang tengah mengamatiku. Aku mengernyit, heran.
"Gus? Kenapa di sini? Kang Andi mana?" tanyaku bingung dan celingukan.
Bukan menjawab, Gus Ish malah ikut celingukan, lalu kembali menolehku, mengulas senyum. "Mana Kang Andi?" Dia malah bertanya, membuatku mendengkus dan membuang muka.
Sesaat kemudian terdengar tawa kecilnya. "Kang Andi di pondok, saya minta dia di sana aja, biar saya yang jemput istri saya ini?"
Dari ekor mata jelas sekali senyumnya mengembang. "Memangnya, njenengan nggak ada kegiatan hari ini?" tanyaku menoleh akhirnya. Aku tidak terlalu tahu jadwal kegiatannya, sebab sudah dihandle Kang Hairul.
"Baru pulang tadi, terus liat Kang Andi mau jemput, ya sudah, saya yang gantiin."
Aku mengangguk paham. "Terima kasih," ungkapku. Meskipun aku sudah menerimanya, tapi belum seratus persen terbiasa dengan Gus Ish, sekali pun sudah mencoba. Ada banyak hal yang masih membuat canggung, termasuk ketika berdua, aku masih kaku.
"Saya kaya sopir beneran lo ini. Njenengan nggak mau pindah duduk di sebelah saya?" tanyanya.
"Sudah terlanjur," sahutku. Dia kini yang mendengkus. Lalu tiba-tiba membuka pintu, ia keluar dan terdengar handle pintu sebelahku ditarik. "Ayo, Ning." Ditariknya pelan tanganku, meminta turun.
"Gus?" Aku mengerut dahi, menolak dengan menggeleng. Membuatnya membungkuk menatap.
"Apa mau digendong?" tanyanya. Aku spontan kembali menggeleng. "Ya sudah ayo!"
Akhirnya aku menurut, membiarkan tangannya menarik keluar. Menjadi pusat perhatian beberapa ibu-ibu pengajian yang sebagian tersenyum dengan aksi kami. Bahkan beberapa remaja putri anggota muslimat terlihat cekikikan.
Gus Ish terus menggandeng tanganku, mengangguk dan tersenyum ramah pada mereka yang mengamati. Seolah abai dan terus menuntunku berjalan memutar. Entah, aku tak nyaman, tapi menolak dengan melepaskan tidak mungkin. Tidak mau juga terlihat tak menghargai suami.
Dibukakannya pintu samping kemudi, Gus Ish mempersilakanku masuk. Ia sendiri usai menutup kembali pintu segera kembali ke jok kemudi. Kali ini, mobil pun melaju.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gus Berondong (Sudah Terbit)
RomanceNing Tazkia Thalita, Gadis berusia 29 tahun, dijodohkan dengan anak teman abahnya yang baru ia tahu saat khitbah masih berusia 23 tahun. Maulana Ishaq, atau disapa Gus Ish. Membuat ia sulit untuk cepat beradaptasi. Terlebih perbedaan usia yang kadan...