POV Gus Ish.
Aku dan mas Fatah duduk di gazebo samping rumah. Tempat ini cukup nyaman untuk menikmati waktu sore, semburat jingga di langit barat bisa terlihat dari celah pepohonan yang ada beberapa berjejer di pinggiran ndalem.
Ditemani 2 cangkir kopi, kami membahas banyak hal. Termasuk pernikahanku dengan Ning Tazkia.
"Aku masih nggak nyangka, Ish. Kamu bisa nikah sama Ning Tazkia," ucap mas Fatah, tatapannya lurus ke depan. Kami duduk bersila di bangunan berukuran 3×4 meter ini.
Aku tersenyum menanggapi. Pasti kakak sulungku ini masih tidak menyangka jika aku akan menikahi Ning Tazkia, begitu pun keluarga besarku.
Mataku menerawang jauh ke langit yang tengah memamerkan pesona indahnya. Aku mengingat kembali bagaimana abah dan umi, juga kakak-kakakku yang terkejut saat kuutarakan niat meminang Ning Tazkia.
Tepat dua bulan lalu, saat aku baru saja menuntaskan kuliah di Strata satu. Di mana waktu itu umi dan abah hadir di acara wisudaku.
Mereka rela datang dari Surabaya ke Sidoarjo demi melihat putranya memakai toga, berdiri bersama sarjana lain, merayakan puncak pencapaian setelah berkutat di setiap semesternya.
Di situlah awal aku berani mengutarakan keinginanku memperistri putri Kiai Dahlan. Masih ingat percakapanku dengan keluarga besar selepas acara wisuda. Kami duduk berkumpul di ruang tengah rumah Mbah Kakung usai shalat isya.
"Kamu yakin, mau menikah sama Ning Tazkia?" Abah tampak tak percaya waktu itu.
"Iya, Bah," jawabku mantap.
Ada mbah Kakung, mbah putri, juga mas Afif, kakak keduaku yang setelah menikah tinggal di sana. Mereka menatapku dengan tatapan bingung.
"Kamu jangan bercanda, Ish. Yakin kamu, Ning Tazkia seumuran, Mas, loh." Mas Afif menyela.
"Aku serius, Mas. Umur nggak masalah."
Rembukan yang memakan waktu cukup lama, bahkan hampir mirip rapat waktu di kampus. Akhirnya muncul keputusan yang melegakan. Abah bersedia meminang Ning Tazkia, terlebih orang tua Ning itu sahabat dekat abah. Insya allah akan lebih mudah, meski saat acara pinangan tersebut, aku tak bisa hadir karena pengajian pondok yang bersamaan.
Bukan tanpa alasan aku serius memilih Ning Tazkia sebagai istri. Sudah lama aku memang menaruh hati padanya. Pada mbak santri yang dikenal dengan sebutan 'Pengurus Killer' di masa menjabat kepengurusan di pesantren Al Huda Tuban kala itu. Setiap hari, sebelum berangkat atau sepulang sekolah Aliyyah, saat melewati asrama putri, pasti mata ini tertuju pada bangunan bertingkat itu.
Pemandangan yang selalu kunanti, melihat mbak yang punya mata tajam itu duduk di kursi depan asrama. Kadang dia menyadari bahwa aku memperhatikannya, membuat dia langsung beranjak dan pergi.
Awalnya, kupikir ini hanya cinta monyet, sebab saat jatuh cinta padanya, usiaku masih 15 tahun. Tapi seiring waktu, meski tak lagi bertemu karena aku kembali ke Sidoarjo setelah tamat Aliyyah, perasaan ini masih tumbuh subur. Hanya mencari kabar dari teman-temanku yang berada di sekeliling Ning Tazkia.
Salah satunya mas Hairul, kepala keamanan di pesantren milik Kiai Dahlan. Aku sering berkontak dengan lelaki yang merupakan saudara jauh dari umi, jabatan yang ia emban, memperbolehkan dia memegang ponsel sebagai perantara santri saat hendak menghubungi orang tuanya. Juga perantaraku menanyakan kabar Ning Tazkia.
"Sudah sore, Ish. Mau masuk waktu magrib, ayo ke dalam." Mas Fatah membuyarkan lamunanku. Aku mengangguk dan ikut beranjak.
Aku dan mas Fatah melangkah menuju ndalem, sampai di teras, terlihat Ning Tazkia dan mbak Wardah tengah duduk dan bercakap. Entah apa yang dibahas, tapi senyum terlihat dari dua wanita berhijab ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gus Berondong (Sudah Terbit)
RomanceNing Tazkia Thalita, Gadis berusia 29 tahun, dijodohkan dengan anak teman abahnya yang baru ia tahu saat khitbah masih berusia 23 tahun. Maulana Ishaq, atau disapa Gus Ish. Membuat ia sulit untuk cepat beradaptasi. Terlebih perbedaan usia yang kadan...