Aku menoleh pintu kamar mandi. Menanti Gus Ish keluar dari sana. Sampai beberapa menit, ia menyembul.
"Njenengan santri yang dihukum karena menyimpan ratusan surat cinta, bukan?" tanyaku seraya bangkit dari duduk.
"Njenengan ingat?"
"Iya."
"Berarti njenengan juga ingat, betapa kejamnya njenengan waktu itu, bersama pengurus lain. Saya hanya menerima surat tanpa membalas, mana bisa ditakzir juga."
Aku langsung diam, seolah tak bisa berkata lagi, terasa tercekat semua di tenggorokan. Aku kembali duduk, tidak tahu harus bagaimana melanjutkan. Sedang Gus Ish melangkah menghampiri dan kembali duduk di sofa sebelahku, membuatku beringsut membuat jarak. Tatapannya lurus menembus bola mata ini.
"Yang saya ingat, njenengan dan pengurus lain duduk manis, meneguk es teh sambil mengawasi mbak santri yang berdiri menerima hukuman. Sedang saya harus berlari sepuluh kali sambil ngos-ngosan. Menahan dahaga, panas. Sampai saya ndak tahu apa yang terjadi karena katanya saya jatuh pingsan."
Tubuh ini tiba-tiba gemetar, Gus Ish kembali beringsut dan menghadap, senyum miring ia ulas. Tatapannya serasa menghujam. Aku menduga ia masih tidak terima atas hukuman itu. Apa dia juga menganggap aku musuh? Sama seperti santri lain yang pernah dihukum?
"Njenengan dendam?" tanyaku menggeser menjauh.
"Kenapa harus dendam?"
"Bisa jadi."
Kami kembali bersitatap, saling diam, aku tidak tahu apa yang ada di pikirannya. Alasan menikahiku, apa sengaja membalas dendam? Pikiranku benar-benar kacau saat ini. Mulai dirasuki dugaan buruk tentangnya.
"Saya sudah bilang, Ning. Saya ke sini mencari tabib, yang bisa mengobati penyakit saya. Tabib itu njenengan, cara menyembuhkan juga, menikahi njenengan."
Gus Ish kembali beringsut, mendekat hingga posisi ini sudah terimpit pegangan sofa. Dada tiba-tiba bergemuruh saat bola mata itu seolah menusuk dan membuat tubuh terasa kaku.
Terdengar ketukan pintu yang berhasil menyelamatkanku dari tatapan itu. Sedang Gus Ish langsung menarik napas, membuang muka sambil beristigfar. Ia mengusap wajahnya dan beringsut mundur. Aku pun menarik napas lega, setelah sebelumnya seolah kehabisan oksigen ketika tatapan manik mata cokelat tembaga itu serasa mengunci. Aku berdehem dan beranjak, membuka pintu.
Ada Salma di sana, dengan senyum cengengesan seperti biasa.
"Ada apa?" tanyaku.
"Dipanggil umi, waktunya makan malam," jawab gadis yang celingukan mengarah dalam kamar.
"Cari apa, kamu?"
"Mas Ish. Diumpetin, ya? Ups! Aku ganggu ya, Mbak? Tegang banget muka sampean?"
"Bukan urusan anak kecil. Sudah sana, nanti, Mbak, nyusul."
***
Matahari sudah hangat menyapa. Gorden warna gold yang menjuntai menutup jendela kamar kusingkap. Sinar emas surya langsung menerpa wajah usai kubuka daun jendelanya, lalu menghirup segarnya udara yang menyerbu.
Pandanganku lurus ke depan, tertuju pada halaman ndalem yang memanjang sampai ke gerbang pondok. Ada Kang Andi di depan sana, supir pesantren yang sudah menyiapkan mobil, tengah mengelap kaca juga bodi kendaraan roda empat tersebut.
Pagi ini, Salma akan kembali ke pesantren. Semalam, abah dan umi meminta aku dan Gus Ish yang mengantar, sekalian sowan katanya. Hanya tinggal menunggu Gus Ish yang sedang kajian kitab kuning. Sepertinya, abah sudah mempercayakan beberapa kegiatan pondok kepada menantunya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gus Berondong (Sudah Terbit)
RomanceNing Tazkia Thalita, Gadis berusia 29 tahun, dijodohkan dengan anak teman abahnya yang baru ia tahu saat khitbah masih berusia 23 tahun. Maulana Ishaq, atau disapa Gus Ish. Membuat ia sulit untuk cepat beradaptasi. Terlebih perbedaan usia yang kadan...