Bagian 10

6.5K 386 12
                                    


Pov Gus Ish.

Acara bandongan kitab tengah berlangsung, diadakan di masjid selepas subuh. Bandongan, atau wetonan, sebuah kegiatan rutin yang dilakukan setiap hari, kecuali Jum'at, diikuti seluruh santri putra, dan putri dari semua tingkatan kelas.

Bandongan sendiri berasal dari kata 'ngabandungan' yang artinya memperhatikan dengan saksama. Tidak hanya mendengar, atau menyimak, tapi juga mencatat apa yang dibahas. Memaknai kitab yang dibaca pengajar.

Kitab Ta'lim Muta'alim adalah kitab yang dikaji dalam bandongan ini, kitab karangan Syeikh Al Zarnuji, kitab yang membahas tentang penuntut ilmu, adab dan tata caranya.

Semua santri menyimak, memaknai kitab mereka masing-masing saat kubacakan dan menerangkan. Kecuali santri yang masih anak-anak, atau kelas ibtidak, mereka boleh hanya mendengarkan dan menyimak.

Menengok jam dinding masjid yang menunjukkan pukul 06:34, kegiatan yang berlangsung lebih dari satu jam ini kusudahi. Berpamit undur diri, aku pun meninggalkan masjid menuju ndalem.

Mobil sudah siap di halaman ndalem. Tampak kang Andi sedang membersihkan bodi mobil, mengelapnya sebelum kupakai bersama Ning Tazkia. Pukul sembilan nanti, kami akan menghadiri acara pernikahan anak teman abah.

Sebenarnya acara ini mendadak. Abah semalam menelpon, memintaku dan Ning Tazkia mewakili ke acara tersebut, beliau misah dari rombongan jamaah ziarah yang harusnya tiba hari ini, beliau hendak berkunjung ke rumah saudaranya di Semampir.

"Eh, Gus." Kang Andi menghentikan pekerjaannya, mengelap tangan di baju bagian belakang saat menyadari keberadaanku, ia menyalamiku yang berdiri tak jauh darinya.

"Sampe kinclong itu mobilnya, Kang. Lalat aja kepleset lo."

Kang Andi terkekeh mendengar ucapanku. "Sudah tugas saya sehari-hari, Gus. Tapi alhamdulillah kalau kepleset, berarti mboten sia-sia mengelap," ucapnya. Kami tergelak. Ia pun meletakkan kanibo di bibir ember bawah kakinya. Ujung lengan bajunya tampak basah, mungkin terkena percikan air kran yang ia gunakan.

"Ngaso dulu, Kang," ucapku.

"Nggih, Gus."

Aku mengajak lelaki yang kuperkirakan seumuran mas Hairul itu duduk di kursi teras. Dia mengangguk dan mengikuti langkahku. Kami mulai mengobrol, membahas kehidupan kang Andi.

Menurut kang Andi, dia sudah hampir 10 tahun menjadi abdi ndalem. Hendak pulang tapi abah tak mengizinkan.

"Saya ini yatim piatu, Gus. 5 tahun lalu ibu saya meninggal dunia. Abah Yai meminta saya tetap tinggal di sini, mengabdi, dan beliau juga mencukupi kebutuhan saya, memberi saya pekerjaan selain menjadi abdi. Yaitu ngurus tambak lele di belakang pondok."

Aku mengangguk menanggapi cerita lelaki di sebelah. Sedikit kutahu tentang kang ndalem ini saat abah pernah menceritakan waktu itu, kurang ingat kapan tepatnya. Hanya saja, pinutur abah, beliau berniat mencarikan jodoh untuk kang Andi, membuatkan rumah kelak di dalam pesantren ini jika sudah berkeluarga. Ada rasa iba dalam diri abah sebab dulu bapak dari kang Andi adalah juga abdi di pesantren ini. Dibawah kepemimpinan almarhum kakek Ning Tazkia.

"Kopinya, Kang." Seorang mbak ndalem menyembul dari pintu, membawa nampan berisi secangkir kopi yang terlihat mengepul asapnya. "Kopinya Gus Ish saya taruh meja ruang tamu tadi," imbuh mbak ndalem tersebut menolehku.

"Bawa ke sini aja, Mbak," sahutku.

"Oh, nggih, Gus."

Tak lama mbak ndalem itu kembali membawakan kopi untukku. Lama mengobrol dengan kang Andi, mendengarkan tentang perjalanan hidup dan menyantrinya di sini. Aku pun berpamit masuk ke dalam, dan kang Andi pun hendak melanjutkan pekerjaan menyapu halaman.

Gus Berondong (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang