3

10 1 1
                                    

        Sesampainya di rumah ku parkirkan motor ku di teras, dibawah pohon mangga yang di sampingnya terdapat tanaman bunga melati, Umi dulu sangat suka dengan aromanya yang wangi. Selain itu adapula bunga mawar di sebrangnya, dan masih banyak lagi tanaman hias di atas pot² berbagai ukuran yang dulu sengaja aku dan Umi tanam karena kami suka dengan tanaman hias.
"Assalamualaikum...," ucapku sambil membuka pintu.
"waalaikumsalam...," jawab abahku dari ruang tamu.
Ku cium telapak punggung tangan abah, sebelum duduk di sampingnya.
"Abah udah makan?, " tanya ku.
Abah hanya mengangguk.
"ya sudah kalau begitu Marwah kedalam dulu bah, " aku lekas berdiri, namun terhenti ketika abah mulai bertanya sesuatu padaku.
"marwah, berapa umurmu  sekarang?, " tanya abah. Aku sudah tau kalau abah menanyakan hal ini pasti ini berkaitan dengan diriku yang masih belum juga dipinang orang. Bukan karena tidak ada yang mau denganku, sebenarnya sudah ada beberapa keluarga yang datang untuk melamar tapi aku belum juga mendapatkan yang menurutku pas di hati. Aku juga bukan tipe orang yang pemilih, tapi ketika hatiku belum yakin sepenuhnya aku belum bisa untuk menerima mereka. Lagipula semua ku serahkan pada Allah, biarlah Allah yang membingbing akan kemana hati ini berlabuh, dan raga ini menetap.
"Abah kan tau, " aku menjawab sesukaku.
"Abah ini sudah semakin tua, Marwah. Abah mau lihat cucu abah, " ujar abah.
"kan setiap akhir pekan keluarga kak Ardan ke sini, jadi Abah bisa liat si Fikri, cucu abah, " sanggahku.
Aku memiliki satu kakak laki laki beda 4 tahun denganku. Kak Ardan sudah menikah sejak 3tahun yang lalu, dan sudah di karuniai seorang putra yang menggemaskan. Namun karena kak Ardan laki laki dan anak pertama di rumah ini, ia memilih untuk menyewa sebuah rumah bersama istrinya yang letaknya agak jauh dari rumah kami. Mereka rutin menjenguk abah setiap akhir pekanya, karena di hari biasa kak Ardan harus bekerja.
"cucu dari kamu yang abah maksud, "  jawab abah. Aku hanya diam, malas kalau harus terusan² berdebat dengan abah apalagi masalah yang satu ini.
"pokoknya nanti kalau ada yang melamar lagi tidak akan Abah tolak, " tegas Abah kepadaku.
"ya sudah kalau memang itu keputusan abah, Marwah tau pilihan abah pasti itulah yang terbaik buat Marwah," akhirnya aku mengalah. Aku melangkahkan kaki ku ke dalam kamar.

"haahhhh" aku menghela nafas pendek, ku baringkan sejenak tubuhku di atas kasur. Aku tau apa yang di khawatirkan Abah terhahadapku, tapi mau bagaimana lagi Allah belum mempertemukanku dengan tulang rusuku.
Sebenernya diriku sendiripun sudah mulai sedikit gelisah, yang akhir akhir ini mulai menjadi bahan perbincangan tetangga. Semoga saja Allah secepatnya mempertemukan ku dengan imamku. Aku hanya berharap yang akan menjadi calon imamku nanti adalah lelaki yang sholeh, taat beribadah, bertanggungjawab, dan juga dapat menerima keluargaku apa adanya. Maklumlah, Abah hanyalah seorang pensiunan dan aku hanyalah seorang guru TK. Hidup kami sederhana tapi berkecukupan. Entah mengapa tiba tiba bayangan ayah Safa terlintas di fikiranku, ia adalah abi yang begitu baik, di lihat dari nada bicaranya saja begitu lembut, santun, dan sepertinya tak di ragukan lagi kesholehanya.
"Astaghfirullah..., " sadar apa yang aku lamunkan, segera aku beristighfar. Sadar Marwah, sadar. Kenapa aku jadi membayangkan lelaki yang bukan mahromku?.
"haaaaaaahhh...," lagi lagi aku menghela nafas, kali ini lebih panjang. Ku lirik jam di atas meja rias sederhanaku, tak terasa sebentar lagi adzan dzhuhur berkumandang. Aku segera bangkit dan bergegas bebersih diri, mandi dan mengambil air wudhu untuk menunaikan sholat dzuhur berjamaah bersama Abah.

      Aku teringat akan janjiku pada Safa membuatkanya kue brownies. Segera setelah selesai makan siang bersama Abah, aku bergegas mengecek persedian bahan untuk membuat kue di dapur. Alhamdulillah semua masih lengkap masih bisa untuk membuat satu loyang kue. Ketika aku sedang mengaduk adonan dengan mixer, Abah masuk ke dapur.
"ada pesanan kue lagi?, " tanya Abah, sembari mengambil cangkir dari raknya. Aku hafal betul pasti Abah mau menyeduh kopi, segera ku tinggalkan mixer dan adonanku, ku ambil alih cangkir dari tangan Abah.
"ngga bah, ini buat  salah satu murid Marwah," jawabku, sambil menuangkan beberapa sendok kopi di susul gula kedalam cangkir.
Abah mengangguk faham, sambil berlalu dari dapur, setelah selesai ku seduh ku antar secangkir kopi ke teras. Biasanya Abah selalu ngopi di depan teras.
Kembali aku ke dapur menyelesaikan kueku untuk Safa.  Semoga saja ia akan menyukai brownies buatanya. Aku ingin melihat senyumnya yang manis mengembang kembali di wajah imutnya.


     🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Ukhibuka FillahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang