6

4 1 1
                                    

Hari ini hari Jum'at jadwalnya senam bersama anak anak. Seluruh murid sudah berkumpul di halaman sekolah mengenakan kaos olah raga masing masing. Bu Dewi tampak sibuk merapikan barisan, mengurutkan dari yang paling pendek di depan dan yang berbadan tinggi mengikuti di belakangnya.
"ayo anak anak rentangkan kedua tanganya!," aku berseru di depan microvon yang telah di sediakan juga ada speaker dan dvd untuk memutar musik senam agar anak anak lebih bersemangat.
Bu dewi memimpin senam di depan, sedangkan aku berada di belakang barisan anak-anak. Walaupun belum lincah namun mereka mengikuti gerakan dari bu Dewi dengan semangat. Aku yang melihatnya dari belakang kadang senyum senyum sendiri melihat gerakan mereka yang kaku namun justru terlihat lucu di mataku. Sembari senam sesekali bu Dewi mengajak mereka bersorak sorai agar lebih bersemangat lagi.
Anak anak beristirahat sebentar setelah senam usai. Aku berjalan menuju ruang kantor untuk mengambil air minum dari dispenser yang telah di sediakan oleh pihak sekolah.
"bu Marwah," tiba-tiba dari belakang seseorang menepuk bahuku pelan, hampir saja aku tersedak di buatnya. Aku menengok kebelakang sambil berusaha menelan air yang telah kuminum. Ternyata bu Dewi yang hampir saja membuatku tersedak.
"iya, bu Dew," ucapku, sambil meletakan kembali gelas ke atas meja.
"nanti bu Marwah jaga piket sendiri gpp ya, soalnya saya kebagian tempat arisan nanti siang bu," bu Dewi menjelaskan.
"iya bu, ngga papa. Kan memang jadwal saya piket jaga hari ini bu," jawabku. Di sini memang setiap harinya selalu bergantian piket untuk menemani anak anak yang mungkin saja orang tuanya telat menjemput.
"tapi kan kemarin bu Marwah udah nemenin saya piket, saya jadi ngga enak," ucapnya.
"ngga masalah bu," jawabku sambil tersenyum untuk meyakinkan bu Dewi, bahwa hal seperti ini tidak merepotkanku sama sekali.
"bu Marwah ini baiknya ngga ketulungan," pujinya padaku. Aku hanya tersenyum mendengarnya, karena bagiku sudah menjadi kewajiban untuk saling tolong menolong apalagi hanya sekedar menemani saja.
"o, iya bu yang kemarin itu ayahnya Safa ya?," lanjut bu Dewi.
"aaaa iya, yang kemarin jemput Safa ya?," aku bertanya kembali pada bu Dewi untuk meyakinkan siapa gerangan yang ia maksud.
"iyaaa, yang ganteng banget itu lho bu," jawab bu Dewi dengan semangat. Benar saja bu Dewi memuji paras Abinya Safa, karena memang ketampananya mampu membuat kaum hawa tak henti untuk memandang wajahnya.
"iya itu Ayahnya Safa," jawabku sekenanya. Aku jadi malu pada diriku sendiri jika harus mengingat kejadian kemarin di halaman TK di bawah guyuran hujan bersama Abinya Safa.
"wah pasti istrinya sangat cantik ya bu," ucap bu Dewi. Aku hanya tersenyum karena aku sendiri tak pernah tau mengenai istrinya. Tapi aku yakin pasti almarhum istrinya adalah wanita yang sangat cantik dan sholehah.
"tapi bu, yang saya tau ibunya Safa itu sudah meninggal ya, kasian," lanjut bu Dewi sedikit iba mengetahui kondisi Safa. Lagi-lagi aku hanya mengangguk. Kemudian aku izi pamit pada bu Dewi untuk kembali menuju ruang kelas anak anak karena pelajaran selanjutnya akan segera di mulai. Sebenarnya aku takutnya nanti malah jadi ghibah kalau terus menerus meladeni obrolan bu Dewi.

Kegiatan belajar mengajar hari inipun selesai. Tidak ada notif dari wa group TK itu tandanya tidak ada wali yang telat menjemput anak-anaknya. Bararti hari ini aku bisa pulang lebih awal kalau begitu sekalian mampir ke pasar membeli keperluan masak dan menyetok kembali bahan bahan untuk membuat kue, buat persedian kalau ada pesanan kue mendadak.
Ku lihat bu Dewi sudah pulang, meja kerjanya di kantor sudah rapi. Akupun segera merapikan miliku juga dan bergegas pulang. Aku tidak mengunci pintu kantor karena sudah ada pak udin juru kunci sekaligus juru kebersihan di sekolah ini. Aku segera melenggangkan kakiku menuju parkiran tapi langkahku terhenti ketika melihat Safa tengah berbincang bersama seorang laki laki dewasa yang mengenakan setelan serba hitam dan aku yakin betul itu bukan pak Hasan Abinya. Jangan jangan penculik? Pikirku dalam hati. Aku ngga boleh panik. Aku harus segera menolong Safa. Bismillah... Aku setengah berlari menghampiri Safa. Segera ku tarik tangan Safa yang hendak di gandeng oleh lelaki tersebut. Sontak lelaki tersebut kaget bukan main. Ku tarik Safa agak menjauh darinya.
"anda siapa?!, " tanyaku dengan nada yang tinggi. Lelaki tersebut tidak menjawab ia hanya melihatku dari ujung kepala sampai kaki. Sontak ku tarik jilbabku kebawah memastikan dadaku sepenuhnya tertutupi. Aku menelan ludah, ku akui aku sedikit takut.
"anda pasti penculik!, saya sudah tau niat buruk anda! Pergi dari sini atau saya laporkan kepolisi!," ancamku. Tapi bukanya pergi ia malah tampak kebingungan.
"bu guru, tenang bu guru," pekik Safa, aku jadi terheran heran bagaimana bisa dia menenangkanku disaat dirinya sendiri akan di culik orang?!.
"Safa..., " belum selesai aku berbicara tiba tiba di potong oleh Safa.
"bu, om ini om Malik temenya Abi," Safa menjelaskan dengan sangat tenang. Betapa terkejutnya aku mendengar penjelasanya.
"Safa deket sama om Malik bu, jadi bu guru ngga usah khawatir," lanjut Safa. Aku tidak tau harus berkata apa ku lihat Safa dan lelaki itu bergantian. 'Mana yang benar? Mana yang harus aku percaya? Bisa saja Safa di hipnotis oleh orang itukan?. Ya Allah bantu Marwah...,' jeritku dalam hati.
Di saat aku benar benar panik dan kebingungan ku lirik ia tengah menelfon seseorang. Entah siapa yang sedang ia coba hubungi. Tak lama setelah itu ia menyodorkan ponselnya tepat di telingaku.
"Assalamualaikum, bu Marwah," samar samar ku dengar orang di sebrang telfon mengucapkan salam, dan orang itu tau namaku. Ku tajamkan lagi indra pendengaranku dan entah mengapa suara laki laki itu tidak asing di telingaku.
"bu Marwah, ini saya Hasan, Abinya Safa,"
'Hasan? Abinya Safa?, Astaghfirullah.... Jadi benar apa yang di bilang Safa,'
Ku tarik nafas perlahan, ku beranikan mengambil alih ponsel dari tangan lelaki itu.
"Assalamualaikum benar ini pak Hasan, abinya Safa?," tanyaku memastikan.
"iya, bu Marwah," jawabnya.
"jadi begini, saya hari ini ada rapat mendadak jadi tidak bisa menjemput anak saya, dan saya tidak punya supir. Makanya saya minta tolong sama laki laki yang bersama bu Marwah saat ini untuk menjemput Safa, dia temen dekat saya, Safa juga sudah sangat dekat denganya," dari sebrang pak Hasan menjelaskan dengan sangat detail.
'Astaghfirullah... Brarti aku sudah su'udzon sama laki laki ini,' aku jadi sangat malu dan merasa bersalah pada lelaki ini.
"aaa... eeee. .. Oh baiklah kalau begitu pak, Assalamualaikum.., " ucapku terbata bata. Pak Hasan menutup telepon setelah menjawab salam dariku.
"saya benar-benar minta maaf atas ketidak sopanan saya terhadap bapak, "  aku segera memohon maaf pada lelaki tersebut, aku benar benar menyesali kelancanganku.
"udah ngga papa tapi lain kali jangan menuduh orang sembarangan," jawabnya.
"sekali lagi saya minta maaf," ucapku sambil sedikit membungkuk.
"emmm... Bisa saya ambil kembali hp saya?," tanyanya sambil melirik hp yang ku genggam, ternyata aku lupa belum mengembalikanya.
"Astaghfirullah... Maaf, ini saya kembalikan," ucapku sambil mengembalikan ponselnya. Aku mengalihkan perhatianku pada Safa untuk menutupi rasa maluku yang begitu besar.
"Ya sudah,  Safa pulangnya hati-hati ya," ucapku pada Safa.
"iya bu guru, Safa pulang dulu ya, Assalamualaikum...," ucapnya berpamitan tak lupa Safa mencium punggung tanganku.
"waalaikumsalam.. " jawabku.
Kemudian ia berjalan sambil menggandeng tangan lelaki tersebut meninggalkan ku menuju mobil.

Aku benar benar merasa malu, bisa bisanya menuduh orang seperti itu. Kurasa lelaki itu pasti sakit hati dengan ucapanku tadi apalagi sikapku yang tidak ada sopan sopanya sama sekali. Di sepanjang perjalanan pulang aku menggerutu, mengutuk diri ku sendiri yang begitu gegabah.

       🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 22, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Ukhibuka FillahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang