MENGENAI SESUATU YANG TIDAK PERNAH HILANG

37 5 1
                                    

Bola bekel telah dilambungkan oleh si bocah gendut. Topi rajut berwarna merah yang dikenakannya begitu lepek, membuat kepalanya terlihat seperti kepala babi yang berdarah. Tangan gendutnya mencoba meraih semua biji bekel tersebut, tapi gagal kala lemaknya terlalu sulit di ajak bekerja sama.

     “Piglet kau kalah!” Seru seorang gadis kecil sebayanya, Esme namanya.

     Si bocah gendut protes, “Namaku John!” mereka kembar, tapi suka bertengkar.

     “Persetan, sekarang giliranku.” Balas gadis itu. Dia mengambil bola dan biji bekel, tapi sebelum memulai gilirannya, bocah yang —sekitar dua tahun—lebih muda, buta, dan tidak banyak bicara sedari tadi itu angkat suara.

     “Bukankah sekarang giliranku?” Esme menoleh kesal. Si bocah malah melanjutkan, “Apa ini akan menjadi nanti yang ke lima?”

     Emma membalas, “Kau menghitungnya?” John, dan dua orang anak laki-laki lainnya, Bruce dan Sam, juga satu orang anak gadis lainnya, Patricia, tertawa.

     Anak kecil yang buta itu sedikit menunduk, dia bingung, kenapa semuanya tertawa?

     “Begini, buta.—” Kata Esme. “—kenapa kau tidak pergi saja? Permainan ini membutuhkan mata, dan tampaknya kau lebih pandai menggunakan pikiranmu daripada matamu. Bukan begitu?”

     Semua tertawa. John melebih-lebihkan cara tertawanya. Ia berbaring, memukul-mukul tanah berpasir dan membuat banyak gerakan hingga menarik karpet cokelat tempat mereka bermain bekel. Bola bekelnya terlempar, karpet kecil itu berantakan.

     “Flynn.” Panggil Tresia.
    
     Anak yang buta itu menengadahkan kepalanya, menoleh mencari suara. Teman-teman nakalnya seketika urung dan kalem. Berbisik-bisik; “Apa itu ibunya?”, “Tidak, sepertinya kakaknya.”, “Ku dengar dia di adopsi!

     Tresia menghampiri Flynn dan mengangkat tangan Flynn. “Ayo pulang. Sudah hampir larut, saatnya mandi.”

     Flynn mengangguk dan mengikuti kemana Tresia menuntunnya. Setelah mereka sudah agak jauh, Tresia angkat bicara. “Mereka tidak memperlakukanmu dengan baik, ya?”

     Flynn mengangguk.

     “Apa kata mereka?” Tanya Tresia.

     “Katanya aku lebih pandai mengenakan pikiranku daripada mataku.” Adu Flynn.

     “Itu tidak buruk. Ambil saja poin bagusnya. Kau lebih pandai menggunakan pikiranmu. itu tandanya kau pintar!”

     Flynn terdiam, ia melepaskan genggamannya dari Tresia.

     “Hm.” Bibir Tresia merapat. Ia memeluk Flynn dan menggendongnya. “Hei, kalau begitu lupakan saja. Jangan bermain lagi dengan mereka, okay?”

     Flynn masih terdiam.

     “Kau suka Scone, kan? Bibi Nora membuat banyak Scone! Kau boleh mengambil jatahku.”

     Flynn masih tidak tersenyum.

     “Hey, sayang. Ayolah..” Tresia terdiam sejenak. “Oke, kita pulang saja. Aku yakin moodmu akan membaik setelah mandi dan makan Scone. Nanti akan ku bilang pada Akeela untuk memberikan dua Scone miliknya untukmu.”

Tresia mulai mengambil langkah lagi, membiarkan Flynn di gendongannya, menyandarkan kepalanya di bahunya. Dan setelah mereka sampai, Akeela sudah di depan pintu dengan sepiring Scone, menyapa Flynn dan Tresia.

     “Ayo tebak! Apa yang kubawa?” Akeela berlari ke belakang Tresia, menghadap wajah Flynn dan mendekatkan Scone hangat itu ke hidung Flynn.

MUTANT & PROUDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang