PROLOG

51 9 2
                                    


Nampak seorang anak kecil yang jatuh terduduk di rerumputan samping rumahnya. Sedangkan sang ayah hanya berteduh dan memandang sang anak dengan pandangan yang sulit di artikan. Rintik air mulai menguyur tubuh anak itu membasahi tubuhnya. Udara mulai mendingin hingga dapat membuat siapa pun menggigil kedinginan. Dirinya mencoba bangkit dan bergerak menuju sang ayah.

"Kau hanya menyusahkan saja."

"Aku...Aku"

"Cukup. Kau harusnya bisa lebih kuat dari ini."

"Tapi.."

Saat melihat benda itu mulai di gapai oleh sang ayah, bocah itu hanya bisa bergerak mundur dan menggelengkan kepala. Berusaha meninggalkan tempat itu tapi sang ayah sudah mencengkram tangannya erat hingga menimbulkan bekas kemerahan di sana.

"Arrghhhhh....."

Suara itu menggelegar ke penjuru rumah, beberapa pelayan hanya bisa menatap kasihan sang tuan muda sedangkan keluarganya nampak acuh dan tetap melanjutkan aktifitas mereka masing-masing. Sang ayah beranjak masuk ke rumah tanpa memperdulikan kondisi sang putra yang penuh dengan luka.

Setelah mendengar titah sang ayah yang tidak memperbolehkan dirinya masuk, anak itu hanya bisa meringkuk dan memeluk dirinya guna menghalau rasa dingin yang mulai menusuk kulit.

Air hujan mulai turun semakin deras dan angin berhembus kencang hingga bagian teras juga ikut terkena air. Sang anak hanya bisa menenggelamkan kepalanya di antara lutut sembari bergumam 'Aku lemah.' Berulang kali hingga dia jatuh tertidur.

Suara burung berkicau. Matahari mulai bergerak naik menerpa sang anak dan membuat dia terbangun dari tidurnya. Namun, baru saja duduk kepalanya mulai berdenyut, hawa panas melingkupi tubuhnya tanda bahwa dia demam.

Berfikir sejenak apakah dia akan masuk atau tidak. Tetapi, perutnya tidak bisa di ajak berkompromi. Dia lapar. Apalagi semalam dia tidak mendapatkan jatah makan malam hingga membuatnya merasa sangat lapar pagi ini. Memasukki rumah dengan langkah pelan dan menaiki tangga untuk segera menuju kamarnya untuk sekedar mandi dan bersiap untuk pergi ke sekolah.

Masuk ke kamarnya dan menutup pintu pelan agar tak menimbulkan suara. Huft...bernafas lega karena dapat masuk ke kamarnya dengan selamat. Tanpa adanya pukulan atau bentakan. Mengingat pukulan, dia menatap ke arah luka-lukanya yang nampak jelas saat ini. Berjalan pelan menuju lemari dan segera menuju kamar mandi untuk membersihkan diri.

Tak berselang lama, dia telah selesai bersiap. Luka-lukanya juga sudah dia tutup dengan sempurna. Hingga tidak akan menimbulkan tanda tanya bagi orang. Menyiapkan peralatan sekolah dan mengenddong tasnya menuju lantai bawah untuk makan.

Namun,baru saja dia menginjakan kaki di anak tangga teratas dia sudah mulai mendengar sayup-sayup suara tawa beberapa orang. Memantapkan hati dan tetap berjalan menuruni tangga hingga dia sampai di lantai bawah. Suara itu semakin jelas. Berusaha berfikir positif sebelum sang envy memenuhi hatinya. Berusaha mengalah dan menerima semua dengan lapang dada. Melangkahkan kaki pelan menuju meja makan untuk sarapan.

Keluarganya langsung diam saat melihat kedatangan anak itu. Suara tawa yang tadi ada seketika lenyap dari pendengarannya. Mereka mulai sarapan dengan hikmat. Mendudukan diri di kursi yang agak jauh jaraknya dengan keluarganya. Mengambil nasi goreng dan telur dan menyantapkan dengan diam. Berusaha agar hawa keberadaannya tak menggangu keluarga itu.

Apakah masih pantas dia panggil keluarga? Saat mereka tak pernah memberimu kasih sayang mereka kepadamu? Atau dirinya yang terlalu egois dan serakah? Bukankah manusia itu memang serakah? Seketika dia menggelengkan kepalanya kuat. Menepis segala pikiran aneh yang sedikit demi-sedikit mengikis kadar kejiwaanya.

REFLECTIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang