6th File

43K 5.4K 718
                                    

"You're awake."

Fanny yang baru saja keluar dari kamar mandi setelah selesai dengan urusan mandi dan berganti pakaiannya, mendapati Ryan kini tengah duduk di tepi tempat tidur sambil mengancing kemejanya.

Ryan mengangkat wajahnya dan tersenyum. "Morning."

Dasar pria jelmaan dewa-dewa Yunani. Bangun tidur aja nggak ada jelek-jeleknya sedikitpun. Fanny membatin dalam hati sambil mendudukkan dirinya di sofa. "Wanna get some coffee? Gue mau room service."

"Udah gue pesenin," jawab Ryan. "Two set breakfast. They said it'll be ready in 30 mins," lanjutnya lagi seraya berdiri. "Kalau makanannya datang, makan duluan aja gak papa."

"Emang lo mau kemana?" tanya Fanny.

"Mandi. Bau gue kayak bebek dibandingin lo yang udah wangi surga." Ryan memasang tampang meringis sebelum akhirnya keluar dari kamar Fanny.

Selang tiga puluh menit kemudian, bunyi ketukan di kamar Fanny diikuti dengan sosok Ryan versi yang udah seperti biasanya—baca : udah ganteng paripurna—dengan t-shirt berwarna biru muda dan jeans navy serta tentu saja wajahnya yang udah luar biasa segar. Aroma Tom Ford Noir—it's impossible for Fanny not to recognize it even at their first meeting with each other—seketika menyeruak ketika pria itu berjalan masuk ke kamar.

"Haven't you eaten?" tanya Ryan sambil mendudukkan dirinya di samping Fanny. "Sorry, harusnya lo makan aja nggak usah nungguin gue."

"Yeah, demi sopan santun di pagi hari aja sih, Yan," jawab Fanny santai sambil meraih cangkirnya yang berisikan black coffee. Namun keningnya terangkat ketika ia melihat Ryan tengah memasang ekspresi serius akan hal lain. "What's wrong?"

"Parfum lo apa?"

"Hah?" Meskipun bingung dengan pertanyaan Ryan yang mendadak, Fanny tetap memberikan jawabannya. "Candy Night-nya Prada. Why?"

"I like the sensation of vanilla and caramel's fragrance that you have. Bener kan? Oh and orange?"

"Bahkan sampai parfum cewek pun lo handal, ya."

"Some nicknames were given with certain reasons. 'Womanizer' salah satunya." Ryan tersenyum dengan sebelah keningnya yang terangkat sambil meraih cangkir kopi. "Telepon, Han."

Tatapan Fanny yang sejak tadi terarah ke Ryan berpindah ke handphone-nya yang tergeletak di atas meja dalam mode silent. Benar saja, di layar sudah terpampang incoming video call dari seseorang yang sudah sangat ia kenal. Stacya Leirena Halim.

Ryan menggeser duduknya tanpa suara ketika Fanny menjawab video call itu agar dirinya tidak tampak dalam frame. Keningnya terangkat ketika melihat siapa yang tengah berbicara dengan Fanny.

"Where are you, Kak?"

"Ubud. Tumben kamu nelepon pagi-pagi gini."

"Did you just say Ubud?? Ugh, I'm so damn envy with you!"

"Come home and I'll give you a flight ticket to Ubud," timpal Fanny sambil tersenyum. "So, what's going on?"

"That's a promise from you, ya. Akan aku tagih begitu aku ke Jakarta." Suara di seberang—begitu pula ekspresinya—berubah menjadi super excited. "Kak, I need your help. Do you understand about international trade policies? Gue ada tugas, case-nya tentang advance restriction and regulation for investing in China stocks, comparing to other nation stocks. I have few of problems that left unanswered padahal deadline-ku malam ini, sebelum kelasnya mulai besok pagi. Ini aja udah mau mati nyari kemana-mana tapi nggak nemu-nemu makanya I'm calling you as my last hope."

Requisition (PUBLISHED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang