Kriett...
Jihoon mendesah sebelum menaruh tasnya di atas meja. Serius tubuhnya sudah lemas sekali dengan kuliah dan tugas-tugasnya jadi langsung saja dia berbaring di sofa saking lelahnya.
"Kau baru pulang?"
Jihoon membuka matanya, dia menatap gadis dengan surai cokelat itu berdiri menatapnya.
"Aku sudah menyiapkan makan malam, mari kita makan!" ucap Jiheon sembari menunjuk meja makan.
"Kau ingin mencari perhatianku?" ucap Jihoon kemudian beranjak dari sofa dan berjalan mendekati Jiheon.
"Dengar, sampai kapanpun kau bukan siapa-siapaku. Jangan berlagak baik di depanku!" ucap Jihoon penuh penekanan di akhir kalimat.
"Aku tau, aku tidak pantas menjadi adikmu. Kau selalu membentakku. Aku perempuan dan aku masih gadis, aku masih membutuhkan kasih sayang. Sepertinya aku tidak butuh seorang kakak, berhenti memperlakukan aku seperti binatang!" bentak Jiheon.
"Kau berani denganku? Dengarkan aku, Jiheon-ya! Kalau bukan karena Ayahku mungkin kau dan ibumu sudah menjadi gelandangan di sana, berterima kasihlah pada Ayahku yang mau menikahi seorang janda."
Plakk...
Jihoon mematung di tempatnya, tangan kanannya terangkat untuk mengelus pipinya yang terasa perih. Jiheon baru saja menamparnya.
"Kau boleh membenciku tapi jangan pernah kau mengejek ibuku. Lagipula aku tidak meminta Ayahmu untuk menikah dengan ibuku." teriak Jiheon, bahkan kedua mata gadis itu sudah mengeluarkan air mata.
"Kau benar, sampai kapanpun kau bukan kakakku dan tidak akan pernah menjadi kakakku." sambung Jiheon.
"Aku akan pergi sampai Ayah dan Ibu kembali, itu yang kau inginkan?" Jiheon menarik dan mengeluarkan napasnya yang tersengal-sengal. Membentak Jihoon dengan cara seperti itu mungkin terlihat jahat. Tapi setidaknya dengan cara seperti itu, dia sedikit lega.
"Aa...Akh!"
Entah apa yang terjadi, tapi Jiheon mendadak memegangi dadanya, meremat pakainnya kuat-kuat. Satu tangannya berpegangan pada lengan Jihoon dan tubuhnya perlahan-lahan merosot.
"Jiheon!!"
"Pergilah!"
Dengan tubuh gemetar dan sisa-sisa tenaganya gadis itu berusaha untuk bangkit.
Jiheon berlari menuju kamar, kemudian membantinh pintunya dan menguncinya dari dalam, membuat Jihoon tersentak. Jiheon terduduk di lantai, memegangi dadanya yang sakitnya luar biasa. Jiheon ingin meraung, dia ingin berteriak kesakitan.
"JIHEON! BUKA PINTUNYA!!"
Itu suara Jihoon yang menggedor pintu dengan sangat keras hingga mungkin saja dapat menjebol grendel dari besi itu. Jiheon hanya meliriknya, tanpa berbuat apapun dan tak mempedulikan Jihoon.
Pintu berhasil didobrak hanya dengan sekali hantam oleh Jihoon, Jiheon kemudian merosotkan tubuhnya, pandangannya menjadi kabur, semuanya terlihat buram. Bahkan bagaimana saat Jihoon berlari ke arahnya dan kembali memanggilnya.
"Jiheon! Bertahanlah!"
Jihoon mengguncangkan bahunya kuat-kuat, membuatnya yang masih sesak napas, menggelengkan kepala. Gadis itu sudah tak kuat lagi mengeherakkan tubuhnya.
"Jiheon, bertahanlah! Aku akan membawamu ke rumah sakit, tunggu sebentar."
©WHEN WE 18©
Jihoon duduk di samping ranjang Jiheon yang masih tidur, gadis itu nampak sangat lemah.
Bunyi monitor di samping ranjang itu membuat Jihoon merinding, bau khas rumah sakit yang tajam membuatnya meremang. Jihoon tau bagaimana kondisi Jiheon, jantungnya sedang tidak baik dan Jiheon harus segera di operasi untuk mengangkat tumor yang ada di dalam jantungnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
When We 18
RandomPersahabatan adalah hal yang indah. Menjadi salah satu tujuan bagi mereka yang ingin menjalin sebuah hubungan dengan orang lain. Dunia akan menjadi lebih indah jika kisah persahabatan yang mereka jalani berlanjut hingga tahap dimana mereka berada p...