BAB 4 ( babak #kedua )

12 2 4
                                    

🅰
•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°

Malang pukul 17.00 WIB

Rona jingga sore hari memang sebuah candu. Pantas saja, banyak yang  mengabadikannya; entah puisi, lagu, foto atau yang lainnya.

Tuhan, lukisan mu indah sekali.

Enak kali ya? Kalau diawan-awan itu ada manusia-manusia mini bersayap, yang mengulurkan tangan-tangan mungilnya, mengajak ku mengelilingi sang mega. Melihat hiruk-pikuk manusia dibawahnya sembari melayang-layang di udara.

"Nggak mau pulang Al?" Aissh-- siapa yang berani merusak fantasi ku. "Udah sore lo ini. Bentar lagi juga buka puasa, mau tutup toko nya." Dihh, ngusir.

"Cepet amat tutupnya? perasaan biasanya tutup jam 8," cuma disini aku bisa dapat kelegaan yang selama ini dicari-cari. Setidaknya, lega, meski sejenak sebelum kembali sesak.

"Itu kan cuma perasaanmu," Barangkali, iya. "Toko ini biasa tutup, menjelang isya', bukan jam 8."

"Kan, aku baru sebentar disini mbak, nanti aja tutupnya. Seperti hari biasa," Lagian di rumah, teman ku cuma sunyi, yang setia dan entah sampai kapan. Yang rasa-rasanya bisa menghujam ke palung kalbu terdalam. Bagaimana bisa disebut rumah, jika kehangatan cuma sekedar angan-angan? Seharusnya rumah adalah tempat paling nyaman yang aman. Memang aman, dengan penjagaan satpam di depan. Tapi pikiran lebih sering dicuri keheningan. Dibawa berkelana hingga tersesat dalam kepiluan. Jika sudah seperti itu, rasanya tidur yang harusnya nyenyak pun terasa sesak,

"Sedari jam 8 pagi, sampai sekarang jam 5 sore, sebentar kamu bilang?" Terasa sekejap menurutku, atau aku yang terlalu asyik sendiri? Entahlah,

"Ndak bisa lah, kan udah diatur sama yang punya toko. Mbak kan cuma pegawai, ndak bisa seenaknya Al," Pelit amat yang punya toko. "Please lah mbak, izin aja sama Mas Juna, dia kan nggak bisa nolak kalau mbak yang minta, ya? Pleaseee," konon katanya, pemilik toko ini ada something sama pegawai nya, jatuh cinta sekaligus patah saat itu juga. Kalah sebelum sempat melangkah, barangkali.

"Emang kamu mau ngapain sih, di toko tanaman sendirian? Mau curhat lagi sama yang anteng di dalam pot-pot itu?" Kok dia tahu sih?

"Mbak suka ngintipin aku ya? Hayo, ngaku! Mbak nguping kan?" Rasanya malu, tapi juga kesal. Bisa-bisanya ada orang lain saat aku tengah merintis dunia ku, yang siapapun tidak diperkenankan memasuki nya. Ah, terlanjur. Emangnya kamu bisa apa Al? Memutar waktu, mencuri kesenggangan kala itu? Waktu tidak untuk diputar mundur.

"Siapa yang tidak dengar, jika nadanya cukup keras dan terkesan mengancam? Mau dibanting segala karena diam saja, heh itu benda tak dapat bicara, ya akan tetap diam meski kamu ancam," Dia terkekeh, yang menambah tingkat kekesalan ku.

"Jadi, ada yang dengar selain mbak?" jangan sampai, "Untungnya, tidak." Untung.

"Mbak udah dengar apa aja?" Nggak pa pa dia tahu, asal jangan orang lain. "Sayangnya, mbak cuma dengar bagian itu. Sayang sekali ya?" bagus. Memang lebih baik tidak mendengar apa yang ku katakan waktu itu. Duniaku, masih aman. "Nah, sekarang saatnya pulang. Udah, pot nya balikin ke tempat semula! Kasian tanaman disini, mendadak semua pengin mati karena kamu datang." Apa-apaan? "Memangnya aku virus tanaman gitu?" Ku kembalikan ke tempat asalnya, pot yang sedari tadi ku pegang. Tentunya disertai kekehan kebahagiaan dari orang yang menyuruhku tadi, karena telah berhasil mengerjaiku, lagi. Namanya Sabita, yang sering ku plesetkan menjadi, "Dasar, mbak Sapi nyebelin," cepat-cepat aku berlari keluar untuk menghindari cubitan mautnya. "Wleee." Ejekku padanya yang kali ini tumben cuma geleng-geleng kepala.

---- ✍ ----

Suara adzan maghrib memanglah surga untuk yang menanti waktu berbuka.

Alhamdulillah.

"Untung, mbak baik hati. Sudah berkenan memberi makan orang yang kelaparan ini," ujarku pada Mbak Bita ( Sabita ) . "Biar nggak berulah kan harus dipakanin," kalimatnya tengil, se-tengil ekspresi nya. "Emang aku binatang peliharaan, apa?" sarat ejekan, namun membangun kehangatan;  yang akrab tak berjarak, semoga erat tak bersekat.

Dukk - -

"Awwww . Pintu!! Kenapa mangkal sembarangan sih?! Kan sakit." Ku elus kening malangku, yang menjadi korban kekerasan. Kekerasan pintu,,

"Pintunya emang dari dulu disitu kali, Al. Jangan lebay deh, nuduh pintu ngelakuin kekerasan ke kamu, pintu kan emang keras," Idih matanya sok-sok an diputar,
"Mbak ini cenayang ya? Perasaan selalu tahu isi kepala ku." Selidikku penuh curiga.

"Husshh.. suudzan mulu deh. Cuma nebak aja. Tapi bener kan?" Ya ya ya.. rese'

Astaghfirullah, perasaan sering banget aku ngatain orang. Karena dia nya sih, re-- . Upss, tahan Al. Jangan nambah dosa lagi. Oke.

"Buruan mbak, buka pintunya. Udah nggak tahan nih." Duh lama banget sih,,

"Mau ngapain emang?" Kurebut saja kunci rumahnya. Ini sedang urgent, tak bisa bila tidak buru-buru.

Hueek.. Hueek..

Diwastafel dapur, ku keluarkan yang sedari tadi mendesak minta keluar. Untung tidak keluar di tempat yang tidak seharusnya. Atau nanti aku akan kerepotan sendiri bila iya.

Mendadak suasana berubah horor, ditambah tangan siapa yang nangkring di leherku tak minta izin dulu?

Jika ini hantu, yang benar saja. Masa iya tidak takut dengan kegarangannya Mbak Bita. Ya Allah, enyahkan dia dari sini, jauhkan hamba dari godaan untuk tidak menyemburnya dengan--

Hueek..

Kan muntah lagi. Gara-gara hawa dia yang menyelimuti sekeliling ku pasti.
Kurapalkan do'a - do'a serta ayat-ayat pendek yang kuhapal, kupejamkan mataku dengan mulut sibuk membaca Kalamullah. Eh tapi tunggu, kok perlahan berubah menjadi pijatan kecil yang aku rasakan.

"Sudah enakan, Al?" Kaget sontak saja aku teriak. "Kamu ini kenapa sih, Al, teriak-teriak?"

"Ah, mbak Bita ngagetin aja deh. Kebiasaan. Aku pikir kan--"

"Memedi maksudmu?"

Dengan antusias kuanggukan kepala. Pletak.
Rupanya kali ini aku gagal melindungi keningku kawan-kawan. Ishh,, sakit.
"Kamu ini suka kebiasaan deh, Al. Negatif mulu mikirnya." Omelnya padaku.
"Ya, tapi, nggak harus sentil keningku juga kali Mbak. Sentimen sekali kayaknya kalau menyangkut diriku. Penuh penghayatan banget nyentilnya, kan sakit."

Aku hanya membuntutinya yang menuju ruang keluarga. Dia pun tengah asyik mencari sesuatu yang entah apa itu, dilaci dekat televisi.

🕸️

Nah loh, apa yang lagi dicari?

Halo teman-teman👋
Masihkah ingat dengan cerita ini? Atau malah sudah lupa, karena jeda yang terlampau lama.

Apapun alasannya, terima kasih sudah berkenan membaca💐

Senandika Angkara Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang