Pagi hari dengan terik yang tak begitu menyorot, kugerakkan tungkaiku lebih cepat ketika sadar waktuku sudah terlambat untuk datang ke butik tempatku bekerja.
Aku tidak boleh mengumpat mengenai penyebab mengapa aku harus lari-larian mengejar bus pagi ini. Dari pertama kali mataku terbuka, aku harus mengurus banyak keperluan––dan tentu bukan hanya keperluanku saja.
Ketika bus sudah berhenti di depan halte, aku langsung bergerak cepat untuk masuk dan mencari tempat duduk. Sejenak, aku menarik nafas dalam dan merilekskan betisku yang kesakitan dibawa berlarian. Aku merogoh ponsel di dalam tas dan langsung mengirimkan pesan pada adikku.
[Jihye: Woo-ya, tolong setelah pulang sekolah temani ibu di rumah sakit sampai aku pulang. Aku ada panggilan hari ini dari atasanku untuk datang ke butik.]
[Kyongwoo: Iya, Kak. Jangan lupa camilannya. Sebagai upah:)]
Aku sempat tersenyum melihat balasan pesan dari adikku. Andai dia berada di sini, pasti sudah kupukul kepala bulatnya itu.
Mataku melirik ke samping jendela, melihat pemandangan jalanan yang nampak mulai ramai dipenuhi orang-orang yang mulai melaksanakan aktivitas sehari-hari.
Mengingat sesuatu, aku langsung menghela napas pelan. Lelah sekali rasanya seperti ini, beban di atas pundakku semakin berat saja.
Pagi sekali, dokter dari rumah sakit mengabari bahwa kondisi ibuku mulai tidak stabil. Dan hari ini mungkin adalah hari terakhir ibuku berada di rumah sakit, sebab uangku pun tidak lagi cukup untuk membayar administrasinya. Maka dari itu, aku memutuskan untuk merawat ibu di rumah saja.
Keadaan ekonomi keluargaku semakin hari semakin surut saja. Ayahku sedang bekerja merantau ke luar kota, dan bulan ini ia sudah mengirim uang padaku untuk kebutuhan selama sebulan. Tapi itu sudah kugunakan untuk membayar tagihan rumah sakit kemarin.
Ditambah lagi adikku yang harus membayar iuran sekolah tiap bulannya, ibuku juga sakit-sakitan perlu biaya berobat. Belum lagi kebutuhan sehari-hari kami. Kepalaku terasa ingin pecah rasanya memikirkan ini seorang diri.
Aku sadar aku sudah besar dan dewasa berpikir, menjadi tulang punggung keluarga bukan beban yang ringan dipikul olehku yang memiliki tubuh lemah ini.
Seharusnya, aku sudah seperti teman-teman sebayaku yang menikmati hidup tanpa beban. Tapi bagaimanapun, aku harus bersyukur atas apa yang aku dapat dan alami sekarang. Tidak boleh mengeluh.
Ini berawal ketika umurku menginjak 23, perusahaan ayahku mengalami kebangkrutan hingga membuat kami sekeluarga harus pindah ke rumah yang lebih kecil untuk meminimalisir pengeluaran. Aku sebagai anak sulung sudah pasti mengerti keadaannya saat itu, hingga terpaksa harus menjadi tulang punggung keluarga.
Aku bekerja di salah satu butik milik orang tua temanku, Ahn Sora. Sudah selama tiga tahun aku bekerja di sana. Akan tetapi, hari ini ibu Sora memanggilku untuk datang ke butiknya, dan aku tahu alasannya kenapa. Pasti karena aku mengambil cuti terlalu banyak dengan alasan mengurus ibuku yang sakit.
Namun benar, aku memang mengurus ibuku yang kembali kumat dengan sakitnya. Aku yakin setelah ini, aku akan ditegur oleh ibunya Sora. Jadi aku sudah menyiapkan mental sejak wanita itu menghubungiku.
Bus akhirnya sampai di tempat tujuan. Aku langsung turun dan melangkahkan kakiku cepat melintasi trotoar jalan, tinggal beberapa meter lagi aku akan sampai di butik milik keluarga Ahn itu. Sejenak, aku menarik nafas pelan ketika sudah sampai di depan pintu berlapis kaca ini. Aku membuka pintunya dengan pelan dan mendapati salah satu pegawai di sana menyuruhku untuk segera masuk ke ruangan ibu Sora.

KAMU SEDANG MEMBACA
Killer King
ФанфикPark Jihye dan Jeon Jungkook telah menjalin hubungan sejak keduanya duduk di bangku kelas 1 SMA. Akan tetapi, menjelang ujian sekolah Jihye mendadak menghampiri Jungkook dan mengakhiri hubungan mereka dengan alasan 'bosan'. Lagi pula, siapa yang tid...