BAGIAN 2

537 20 0
                                    

Aryadira semakin resah. Sudah beberapa hari ini, marah-marah terus. Dan kalau sudah begitu, murid-muridnya yang menjadi sasaran. Tentu saja hal ini membuat mereka cemas. Kemarahan Aryadira membuatnya ringan tangan dengan memukul murid-muridnya. Beberapa orang murid yang ketakutan, mengundurkan diri atau keluar dari perguruan secara diam-diam. Tapi, bila Aryadira mengetahui, mereka pasti tak akan selamat.
"Apa yang membuatnya belakangan ini sering marah-marah?" tanya seorang murid, berbisik-bisik pada kawannya.
"Mungkin kekalahannya dari Pendekar Rajawali Sakti."
"Dia tidak terima?"
Kawannya mengangguk.
"Orang sepertinya, seharusnya cepat mampus!"
"Hush! Hati-hati kau bicara."
"Aku sudah muak, dan bosan di sini! Sebagai ketua, kerjanya hanya marah-marah dan goyang-goyang kaki saja. Sama sekali, dia tidak menurunkan kepandaian yang dimilikinya. Kita hanya disuruh terus belajar dengan apa yang sudah kita pelajari dari Ki Tambak dahulu."
"Mana mungkin dia mau menurunkan kepandaiannya. Sifatnya serakah dan tinggi hati, serta menganggap diririya paling hebat Dan, tak mau disaingi siapa pun."
"Kebetulan, dia sedang tidak ada di tempat. Lebih baik, kita kabur saja dari sini!"
"Kau mau celaka? Sekarang, banyak murid-murid yang menjadi penjilat. Hingga kita tak tahu lagi, mana kawan dan mana lawan...."
Ucapan itu terhenti ketika di pintu gerbang terlihat Aryadira menunggang kuda. Wajahnya tampak kesal. Dan kalau sudah begitu, tak ada seorang pun yang berani macam-macam. Salah seorang murid mendekat, dan menggiring kudanya ke kandang. Aryadira memperhatikan murid-muridnya dengan tatapan tajam. Kemudian memberi isyarat, agar beberapa orang mendekat. Tujuh orang mendekat melangkah dengan takut-takut.
"Ke sini, cepat..!"
"I... iya, Ketua..."
"Yeaaa...!"
Plak!
Desss!
"Aaakh...!"
Tubuh Aryadira seperti terbang, berputar ke belakang. Kedua kakinya menyambar ketiga muridnya. Lalu dengan cepat melenting ke depan, menghajar empat orang murid dengan kepalan dan tendangannya. Ketujuh orang muridnya terhuyung-huyung sambil mengeluh kesakitan.
"Ayo! Kerahkan semua kemampuan yang kalian miliki! Lawan aku, seperti kalian menghadapi musuh besar!"
"Tapi, Ketua...," salah seorang murid ragu-ragu.
"Hiyaaat..!"
Aryadira tak mempedulikannya. Tubuhnya langsung bergerak, menyerang mereka. Terpaksa ketujuh muridnya itu melakukan perlawanan.
Plak!
"Uts!"
"Yeaaa...!"
Bugkh!
Desss!
"Aaakh...!"
Kali ini, ketujuh muridnya menjerit keras. Tubuh Aryadira bergerak cepat sekali, sulit diikuti mata mereka. Walau telah berusaha menahan dan berkelit, tapi tetap saja serangan Ketua Perguruan Ular Merah itu sulit ditahan.
"Huh! Apakah kalian kira aku tak mampu menghadapi Pendekar Rajawali Sakti?!" tanyanya gusar.
"Eh! Tentu saja Ketua mampu menghadapinya...," jawab salah seorang di antara mereka, ditimpali kawan-kawannya.
"Mulut kalian berkata begitu, tapi di belakangku mengejek!"
"Ti... tidak, Ketua. Mana berani kami mengejekmu...," sahut orang yang pertama bicara tadi.
Aryadira hanya mendengus sinis. Kemudian, melangkah lebar ke dalam rumah. Dua orang muridnya mengikuti ke dalam, dan duduk di depannya saling bersila.
"Sudah kalian dapatkan orang-orang yang kumaksud?"
"Kami menemui Ki Gempar Persada...."
"Si Dedemit Langlang Buana?" Aryadira memotong pembicaraan seorang muridnya.
"Betul, Ketua."
Aryadira mengangguk sambil tersenyum. Ki Gempar Persada selama ini memang dikenal sebagai tokoh kosen. Nama orang tua itu amat disegani tokoh-tokoh rimba persilatan.
"Kapan dia akan datang?"
"Beliau mengatakan akan ke sini, begitu kami tiba," jawab muridnya.
"Hm.... Bagus! Sudah kalian sebutkan syarat-syaratnya?"
"Sudah, Ki. Beliau begitu yakin bisa mengalahkanmu."
"Ha ha ha...! Sungguh gegabah orang itu, berani merendahkanku!"
"Ha ha ha...! Ki Aryadira, apakah kau merasa kecil hati kurendahkan?!"
"Heh?!"
Aryadira langsung melompat keluar, begitu mendengar tawa nyaring di luar. Dan sesampainya di luar, tampak berdiri seorang laki-laki tua berpakaian lusuh. Rambutnya putih dan panjang terurai. Bibirnya lebar, lebih-lebih saat tertawa. Tangannya menggenggam sebatang pedang, dengan warangka terbuat dari kayu yang kelihatan sudah lapuk.
"Selamat datang, Kisanak. Engkaukah Ki Gempar Persada?"
"Ha ha ha...! Tak salah. Kukira, Ki Aryadira yang bergelar Setan Ular Merah adalah orang tua keropos yang bau tanah. Tapi siapa sangka, ternyata masih semuda ini. Padahal, namamu sungguh menggelitik hasratku untuk membuktikannya."
"Kisanak, aku tak mau banyak berbasa-basi. Muridku telah memberitahukan hal ini padamu. Jadi, bersiap-siaplah!"
"Ha ha ha...! Anak muda memang selalu tak sabaran. Tapi, tak apalah. Kalau memang kau telah siap, silakan dimulai."
Aryadira membuka jurus dengan menggeser sebelah kakinya ke belakang. Ki Gempar Persada memperhatikan sorot mata pemuda itu, yang amat tajam menusuk seperti elang hendak menerkam mangsa. Sekilas terlihat, seluruh murid-murid Perguruan Ular Merah berdiri rapi di setiap sudut halaman, memperhatikan dengan seksama.
"Yeaaa...!"
Dengan satu bentakan nyaring, tubuh pemuda itu melompat dengan gerakan cepat. Hal itu tentu saja membuat Ki Gempar Persada tercekat.
"Hup!"
Plak!
Wuttt!
"Uts!"
Sungguh tidak disangka kalau Aryadira mampu bergerak cepat seperti bayangan melesat. Pukulannya kuat, menimbulkan desingan angin kencang yang menggetarkan dada. Menurut pengamatan Ki Gempar Persada, pemuda ini memiliki tenaga dalam yang kuat. Bahkan bisa jadi tenaga dalam lawan setingkat di atasnya.
Ketika salah seorang murid Perguruan Ular Merah datang ke tempat kediamannya, untuk menyampaikan maksud kalau Aryadira ingin berguru kepadanya, orang tua itu terkekeh. Dianggapnya Ketua Perguruan Ular Merah ingin bersaing dengan ketua-ketua perguruan silat lainnya.
Menurut dugaan Ki Gempar Persada, murid itu pasti orang yang sangat dipercaya. Sebab, menyampaikan berita demikian adalah sangat memalukan. Seorang ketua perguruan silat ingin berguru, adalah hal yang aneh. Tapi, ketika mereka menyampaikan amanat berikutnya, bahwa calon guru tersebut harus diuji langsung oleh Aryadira, orang tua itu mulai berubah pikiran. Dalam hatinya timbul pertanyaan, apa maksud Ketua Perguruan Ular Merah itu sebenarnya?
Sampai di sini, pertanyaan itu tidak terjawab juga. Yang diketahuinya sekarang, Aryadira yang tadi sempat diremehkannya ternyata bukanlah orang sembarangan. Bahkan terlihat dari serangannya yang mematikan, seperti sedang berhadapan dengan musuh besar.
"Ki Gempar Persada, bersungguh-sungguhlah! Aku akan berguru dan mematuhi perkataanmu, bila kau bisa mengalahkanku. Tapi jika sebaliknya, nyawamulah yang akan menjadi taruhannya!"
"Ki Aryadira, apa-apaan ini?!"
"Yeaaa...!"
Aryadira tak mempedulikannya, dan segera mengeluarkan jurus andalannya untuk mendesak lawan.
Ki Gempar Persada mulai kewalahan, hanya dalam beberapa jurus. Bahkan, dalam satu kesempatan, Aryadira berhasil menghajarnya.
"Akh...!"
Orang tua itu mengeluh perlahan, sambil mendekap dadanya yang terkena pukulan lawan. Matanya terlihat garang, karena kemarahannya mulai bangkit. Sesaat kemudian, disiapkan jurus-jurus serangan andalannya.
"Baik! Kalau itu kemauanmu, akan kuladeni. Coba kau tahan jurus 'Angin Puyuh Menggempur Gunung' ini!"
"Keluarkan segala kepandaian yang kau miliki. Aku tak akan setengah-setengah dalam pertarungan ini!"
"Yeaaa...!"
"Hup!"
Aryadira bersiap, begitu melihat lawan akan mengeluarkan jurus andalan. Pemuda itu pun sudah mempersiapkan jurus andalannya, yaitu 'Badai Pasir Mengguyur Gelombang'. Jurus ini diperoleh dari salah seorang gurunya.
Serangan Ki Gempar Persada kini terasa berat dan cepat. Dan ketika kepalan kiri lawan menyodok ke ulu hati, Aryadira memiringkan tubuh untuk menghindar. Tapi, saat itu juga kepalan tangan kanan lawan menghantam kepala, diikuti gerak menendang ke dada.
"Hiyaaa...!"
Tubuh Aryadira melompat-lompat menghindar sambil berputar. Sementara, orang tua itu terus mengejar dengan gencar. Tapi dalam satu kesempatan, ketika kepalan lawan menghajar muka, Aryadira menundukkan kepala sambil menjatuhkan tubuh dan menghajar lutut belakang lawan. Ki Gempar Persada merasa kalau ini adalah peluang terbaik baginya untuk menghajar lawan dengan mengerahkan satu pukulan maut ke bawah.
"Yeaaa...!"
Plak!
Dukkk!
"Akh!"
"Hiyaaat..!"
Desss!
"Aaakh...!"
Dua kali orang tua itu mengeluh kesakitan. Dan yang kedua, adalah hajaran di punggungnya. Aryadira menangkis serangan lawan dengan kedua tangan. Entah bagaimana caranya, tiba-tiba saja kedua kakinya melewati bagian bawah, langsung menghajar pinggang belakang. Ki Gempar Persada terdorong ke depan, dan tubuh pemuda itu langsung bangkit dengan sebelah kaki menghajar punggungnya.
"Cabut pedangmu!" kata Aryadira sambil memandang sinis.
Sring!
Ki Gempar Persada mencabut pedangnya sambil mendengus geram. Dua kali dia terkena hajaran pemuda itu tanpa bisa membalas.
"Dengan tangan kosong, kau mungkin bisa berbangga diri. Tapi, hati-hati menghadapi ilmu pedangku!"
Sebagai jawabannya, Aryadira malah berkelebat cepat menghantam lawan. Pedangnya digerakkan laksana kitiran yang membabat ke segala arah.
"Hiyaaat..!"
Trang!
Kedua senjata mereka beradu, menimbulkan percikan bunga api. Ujung pedang Ki Gempar Persada menyambar ke perut lawan, sedang tubuh Aryadira melejit ke atas. Orang tua itu terus mengejar dan menyabet kedua kaki lawan. Aryadira menangkis dengan senjatanya. Tapi, kali ini tak sekadar mengadu senjata. Pedang Aryadira bergulung-gulung bagaikan pusaran air ketika tubuhnya melesat ke bawah. Ki Gempar Persada kelabakan, terus melompat ke belakang menghindari kejaran lawan.
Trang!
Breeet!
"Aaa...!"
Ki Gempar Persada menjerit kesakitan, ketika ujung pedang lawan merobek perutnya. Tapi pada kesempatan terakhir, pukulan jarak jauhnya masih mampu dilepaskan ke arah Aryadira. Sayang, pemuda itu dengan mudah menghindarinya. Dan balas menghantam dengan pukulan jarak jauh yang menimbulkan desir angin kencang, hingga membuat tubuh Ki Gempar Persada terjungkal.
Ki Gempar Persada berusaha bangkit dengan bertumpu pada senjatanya. Tapi niatnya tak tersampai, karena pada saat itu ujung kaki Aryadira menghantam telak mukanya. Kembali orang tua itu terpental. Kali ini, dibarengi keluhan terakhir yang nengakhiri kematiannya.
Aryadira memandang sinis sambil mendengus, menatap tubuh Ki Gempar Persada. Setelah menyarungkan pedang, pemuda itu melangkah pelan ke dalam. Tinggal murid-muridnya yang langsung bergerak mengurus mayat Ki Gempar Persada.
"Orang seperti itu yang kalian pilih menjadi calon guruku? Huh, memalukan!"
Dengan wajah gusar, Aryadira memaki kedua orang murid kepercayaannya. Ditatapnya satu persatu wajah mereka dengan mata mendelik.
"Kami, tak tahu lagi harus mencari siapa, Ketua. Sepertinya, orang-orang yang selama ini terdengar hebat dan handal, ternyata tak berdaya melawan Ketua...," jawab salah seorang muridnya.
"Kalian jangan putus asa. Carilah orang sakti lain, yang betul-betul pantas sebagai guruku!"
"Tapi, ke mana lagi kami mencari, Ketua...?"
"Goblok! Aku tak peduli kalian mencari ke mana. Ke ujung dunia pun, harus kalian dapatkan!"
"Baik, Ketua!"
Kemudian, kedua murid itu pun berlalu. Aryadira berdiri dan melangkah ke jendela. Dari situ, diperhatikan sekeliling halaman depan. Tapi sebenarnya pikirannya menerawang jauh. Kini, sudah beberapa orang tewas di tangannya. Mereka itu adalah calon-calon gurunya.
"Heh?!"
"Eh! Maaf, Ketua. Di luar ada seorang pengemis yang ingin bertemu...," ujar seorang muridnya yang baru masuk.
"Pengemis? Mau apa dia ke sini? Suruh keluar!"
"Tapi, Ketua. Dia membawa berita yang Ketua butuhkan..."
"Berita? Berita apa?"
"Dia tak mengatakannya. Katanya, hanya berita itu yang dibutuhkan Ketua. Dan bila berkenan, dia meminta imbalan..."
"Hm.... Suruh dia masuk. Tapi ingat! Bila aku tidak berkenan dengan berita yang dibawanya, maka kepalanya akan tinggal di sini! Katakan hal itu padanya!"
"Baik, Ketua....!"
Aryadira menunggu beberapa saat setelah muridnya keluar ruangan. Dan tak berapa lama kemudian, muridnya itu telah kembali bersama seorang pengemis kumal berusia sekitar tiga puluh tahun. Kulitnya hitam, tubuhnya penuh dengan koreng yang telah sembuh dan yang masih berdarah.
"Silakan masuk, dan berdiri saja di situ! Langsung katakan, berita apa yang kau bawa?!" tanya Aryadira setelah menyuruh muridnya keluar dari ruangan itu.
"Namaku Kempeng...."
"Langsung katakan, berita apa yang kau bawa!" bentak Aryadira kesal.
"Baiklah. Kudengar dari beberapa orang murid, Anda mencari seorang tokoh sakti untuk dijadikan sebagai guru. Yang akan kusampaikan, bukan tentang seorang tokoh, melainkan warisannya yang pasti akan kau suka...."
"Warisan apa?"
"Pernahkah Kisanak mendengar tentang Goa Naga?"
"Hei!"
Mata Aryadira berbinar-binar mendengar kata-kata terakhir pengemis itu. Menurut kabar yang pernah didengarnya, Goa Naga adalah suatu tempat yang dahulu dihuni oleh seorang tokoh sakti yang tak terkalahkan. Banyak orang yang mencari goa itu. Namun, sampai saat ini tak ada seorang pun yang tahu tempatnya.
"Tahukah kau, di mana goa itu berada?"
Pengemis itu menggeleng.
"Aku tidak tahu di mana letaknya. Tapi, tahu bagaimana caranya agar Kisanak bisa ke sana. Tokoh yang dulu tinggal di goa itu memiliki keturunan seorang gadis. Tapi gadis itu pun tidak tahu, di mana tempat itu berada. Yang diketahuinya, ada sebuah peta yang menunjukkan letak goa itu. Caranya, dengan melihat tato yang tergambar di seluruh tubuhnya. Tapi tidak sembarangan orang bisa melihatnya, kalau tidak mempunyai hubungan dekat dengannya. Gadis itu agaknya tak mampu menterjemahkannya. Akibatnya, letak goa itu belum ditemukan hingga sekarang. Jadi, kalau Kisanak bisa mendekatinya dan mampu menafsirkan peta di tubuhnya, Kisanak akan menjumpai gua itu, dan mendapatkan Pusaka Goa Naga yang dikejar banyak tokoh persilatan," jelas pengemis itu panjang lebar.
Bukan main girangnya hati Aryadira mendengar kata-kata si pengemis. Setelah pengemis itu memberitahukan di mana gadis itu berada, Aryadira memberikannya beberapa keping uang emas. Dan, sampai pengemis itu berlalu, bibirnya masih terus tersenyum.

***

87. Pendekar Rajawali Sakti : Pusaka Goa NagaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang