BAGIAN 6

454 19 0
                                    

Rangga menghentikan langkah. Jarak mereka telah terpaut jauh. Tak mungkin rasanya gadis itu mampu mengejarnya. Lagi pula, Rangga jadi tersenyum sendiri. Perbuatannya tadi sungguh tidak pantas. Tapi, kalau tidak dilakukannya mungkin gadis itu akan terus mengejar. Walaupun dalam ilmu lari cepat kemampuannya lebih tinggi, tapi dengan cara tadi tentu lebih cepat lagi. Gadis itu tidak akan dapat mengejarnya, karena kerepotan membenahi bajunya yang sempat dirobek ranting kayu. Rangga tersenyum kecil sambil melangkah pelan. Pikirannya masih tertuju pada gadis tadi. Siapa dia sebenarnya?
"Tolong...!"
"Heh?!"
Rangga cepat berpaling, dan melihat seorang laki-laki tua tengah sekarat di bawah sebatang pohon. Cepat-cepat dihampirinya orang tua itu.
"To..., tolonglah aku, Anak Muda...."
"Kisanak, apa yang terjadi padamu?"
Rangga terkejut menyaksikan keadaan orang tua itu. Seluruh tubuhnya hitam kebiru-biruan. Di dadanya terlihat guratan seperti terkena cakaran binatang buas. Darah yang meleleh dari sudut bibirnya pun berwama hitam kebiru-biruan. Orang tua itu berusaha menahan gerak racun yang ada di tubuhnya, agar tidak segera menyerang jantung.
"A..., Aryadira.... Se... Setan Ular Me... Merah...."
"Aryadira?" desis Rangga perlahan. Pendekar Rajawali Sakti berusaha mengingat nama itu. Peristiwa setahun lalu, tiba-tiba melintas dalam benaknya. Seorang pemuda berbaju merah menantangnya, dan begitu bernafsu ingin membunuhnya. Meski samar-samar, Rangga ingat pemuda itu menyebutkan namanya.
"Hm.... Jadi, pemuda itu yang membunuh orang tua ini. Tapi, apa masalahnya? Apakah soal balas dendam?" gumam Rangga, bertanya pada diri sendiri.
Setelah menguburkan orang tua itu, Rangga melanjutkan perjalanan. Tujuannya kini adalah Perguruan Ular Merah. Tapi tempat itu amat jauh dari sini. Memakan waktu satu atau dua hari perjalanan, bila ditempuh dengan seekor kuda yang sehat dan mampu berlari cepat.
Sepanjang perjalanan, banyak didengarnya cerita tentang Aryadira yang membuat teror di mana-mana. Yang menjadi korban kebanyakan tokoh-tokoh persilatan berilmu tinggi yang selama ini namanya amat disegani. Kenyataan ini semakin membuat Rangga bertekad menemui Aryadira.
Malam telah tiba, ketika Rangga sampai di sebuah desa. Tempat ini sepi sekali, seperti di kuburan. Di depan tiap-tiap rumah, hanya ada sebuah pelita kecil yang nyala apinya sangat redup. Pemuda itu agak ragu, apakah di tempat seperti ini ada penginapan. Satu-satunya bangunan besar yang terlihat, ditutup tembok tinggi. Di pintu gerbangnya terdapat tulisan PERGURUAN SILAT TOMBAK KILAT. Pendekar Rajawali Sakti melangkah ragu, dan mengetuk pintu sebuah rumah yang tidak jauh dari situ.
"Permisi. Selamat malam...!"
Tidak terdengar sahutan dari dalam. Namun, pendengarannya yang tajam mendengar derit panjang, disusul langkah halus ke arah belakang.
"Kisanak, aku seorang pengembara yang kemalaman di tempat ini. Sudikah kau menolongku, untuk numpang menginap semalam saja?"
Rangga melangkah lesu. Setelah menunggu beberapa saat, tidak terdengar tanda-tanda penguni rumah ini mau membukakan pintu baginya. Dengan mengerahkan ilmu 'Tatar Netra', dilihatnya seorang laki-laki tua berdiri di dekat pintu dengan sebilah golok di tangan. Orang itu tentu menyangkanya bermaksud tidak baik, sehingga bersiap-siap menyambutnya dengan tebasan golok kalau pemuda itu berani menerobos masuk. Baru saja Rangga berjalan lima langkah, tiba-tiba dua sosok tubuh berpakaian hitam berkelebat menyerang.
"Yeaaa...!"
"Uts!"
"Mampus!"
Rangga terkejut. Mendadak saja, dua orang yang bersenjatakan tombak menyerang ganas. Melihat gerakan mereka yang gesit dan cepat serta bertenaga kuat, Pendekar Rajawali Sakti yakin kalau kedua penyerangnya itu bukan orang sembarangan.
"Kisanak, ada apa? Kenapa kalian tiba-tiba menyerangku?"
"Orang asing keparat! Jangan berpura-pura bodoh! Kau tentu kembali untuk menghabisi kami semua, bukan? Tapi jangan harap niatmu itu akan terlaksana. Kau tak akan bisa pergi sebelum meninggalkan jiwamu di sini!" bentak salah satu dari kedua orang itu.
"Kisanak, aku semakin tak mengerti apa yang kau bicarakan!"
"Huh! Tak perlu kau bertanya segala. Saat ini adalah hari kematianmu!"
Rangga mencoba menegaskan. Yang barusan berbicara adalah seorang pemuda bertubuh kekar. Rambutnya pendek, diikat oleh sehelai kain hitam. Sementara kawannya bertubuh lebih kecil dan kurus.
"Kisanak, barangkali ini adalah kesalahpahaman belaka. Di antara kita tidak ada urusan apa-apa," Rangga mencoba menjelaskan.
Tapi kedua orang itu tak menyahut. Mereka langsung mendesak Pendekar Rajawali Sakti dengan serangan-serangan kilat. Kedua tombak mereka silih berganti menyerang bagai kitiran, menyambar ke mana saja tubuh Rangga bergerak menghindar.
"Hentikan...!"
"Heh?!"
Sesosok tubuh berdiri di antara mereka. Kedua penyerang itu menghentikan serangannya, dan memberi hormat pada orang tua bertubuh kecil yang baru tiba.
"Paman Guru! Syukur Paman segera datang. Kami telah menemukan orang yang telah membunuh Eyang Guru...," kata pemuda berikat kepala hitam.
"Sukri! Dan kau, Bagala. Kalian terlalu ceroboh, menyerang orang tanpa dasar yang kuat. Tahukah kalian, siapa orang yang sedang kalian hadapi ini?"
"Paman Guru. Dia..., dia...."
"Dia bukan Setan Ular Merah yang telah membunuh guru kalian. Pemuda ini adalah Pendekar Rajawali Sakti," jelas orang tua itu.
"Heh...?!"
Kedua pemuda itu terkejut mendengar nama yang disebutkan paman guru mereka.
"Pendekar Rajawali Sakti! Namaku Ki Sentanu. Dan atas nama murid-murid keponakanku, menghaturkan maaf atas kelancangan mereka padamu...."
"Ki Sentanu, kau terlalu melebih-lebihkan dengan menghormat begitu. Aku bukan apa-apa. Memang, sejak tadi aku berusaha menjelaskan bahwa ini hanya kesalah-pahaman belaka, namun mereka berkeras menyerangku. Tak apalah. Aku bisa mengerti hal ini. Tadi, kudengar mereka berurusan dengan Setan Ular Merah. Apa yang telah terjadi di sini?"
"Rasanya kurang hormat bila kami tidak mempersilakan tamu masuk. Padahal, pintu gerbang berada di depan mata. Silakan, Pendekar Rajawali Sakti. Perguruan Tombak Kilat mengundangmu bertamu ke tempat kami. Hari pun telah larut malam. Kami akan merasa dihormati, bila pendekar besar sepertimu berkenan meneduh selama semalam atau dua malam," ujar Ki Sentanu.
"Terima kasih, Ki."
Kemudian, mereka berempat segera melangkah menuju Perguruan Tombak Kilat yang terletak tidak jauh dari situ. Tampak murid-murid perguruan itu sedang berjaga-jaga dalam keadaan berkabung. Guru mereka tewas pagi tadi bersama beberapa murid perguruan. Yang menjadi biang malapetaka adalah Setan Ular Merah.
Sayang, ketika hal itu terjadi, murid tertua perguruan ini, yaitu Sukri dan Bagala tidak berada di tempat. Mereka baru saja pulang setelah mendapat tugas dari gurunya. Dan ketika mendengar ciri-ciri pembunuh guru mereka masih muda, keduanya langsung curiga dan menyerang Pendekar Rajawali Sakti yang disangka sebagai Setan Ular Merah.
"Jadi begitulah ceritanya, Pendekar Rajawali Sakti. Kami harap, kau tidak sakit hati atas kelakuan murid-murid keponakanku tadi," ujar Ki Sentanu mengakhiri ceritanya. Saat itu mereka telah berada di ruang utama perguruan.
"Ah! Tidak mengapa, Ki. Aku bisa memaklumi hal itu. Aku pun turut berduka cita, atas kematian Ketua Perguruan Tombak Kilat ini. Sebenarnya, perjalananku ini untuk mencari pemuda itu..."
"Setan Ular Merah?" tanya Ki Sentanu.
Rangga menganggukkan kepala.
"Apakah kau pun mempunyai ganjalan dengannya?"
Pendekar Rajawali Sakti menggelengkan kepala.
"Barangkali dialah yang mempunyai ganjalan denganku...."
"Kenapa bisa begitu?"
Rangga lalu menceritakan peristiwa setahun lalu, saat pertemuannya dengan Aryadira yang bergelar Setan Ular Merah.
"Jadi, untuk urusan itukah kau hendak menemuinya?"
"Bukan. Perbuatan orang itu sungguh keterlaluan. Dalam waktu singkat, lebih dari sepuluh tokoh-tokoh persilatan berilmu tinggi tewas di tangannya. Sekadar membuktikan, bahwa dia seorang tokoh yang tak terkalahkan...."
"Kudengar pemuda itu memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi. Dia mewarisi ilmu silat penguasa Goa Naga...," jelas Ki Sentanu sambil menggelengkan kepala.
"Goa Naga?! Nama itu pernah kudengar. Kabarnya, dahulu tempat bersemayam tokoh-tokoh persilatan dan berbagai kalangan. Sayang, jatuh ke tangan yang salah...."
"Harus ada orang yang menghentikan sepak terjang Setan Ular Merah. Kalau tidak, dia akan mengganggu ketenteraman semua orang. Aryadira haus akan ketenaran dan kekuasaan. Korban akan terus berjatuhan, begitu mendengar ada tokoh yang dianggapnya hebat. Kalau saja saat itu aku berada di tempat, dia pasti akan membunuhku...," kata Ki Sentanu geram.
"Apakah Aryadira ke tempatmu juga, Ki?"
Ki Sentanu menganggukkan kepala. "Entahlah.... Aku juga tidak bisa menduga, sampai di mana ketinggian ilmu silatnya. Kalau saudara seperguanku tidak mampu dan tewas di tangannya, bagaimana mungkin aku bisa menahan jika tiba-tiba dia datang ke sini...?"
"Paman Guru, rasanya mustahil kalau kita semua tidak mampu membinasakan orang itu!" sahut Sukri dengan nada gusar.
Ki Sentanu menggeleng lemah. "Kau tak tahu kepandaian orang, Sukri. Orang seperti kita ini, tidak ada artinya bagi Setan Ular Merah. Kalau dia telah mampu membinasakan tokoh-tokoh persilatan berilmu tinggi, maka dua puluh orang sepertimu bukan apa-apa baginya."
"Jadi kita harus bagaimana? Apakah mendiamkan saja kematian Eyang Guru, tanpa terbalas?" tanya Bagala.
Ki Sentanu terdiam beberapa saat lamanya, dan menghela napas panjang. Kemudian diliriknya Pendekar Rajawali Sakti.
"Barangkali kau lelah dan mengantuk, Pendekar Rajawali Sakti? Muridku akan mengantarkan ke kamarmu."
"Belum, Ki Sentanu. Tapi, kalau memang ada pembicaraan yang sifatnya pribadi, ada baiknya aku tak ikut mendengarkan."
"Tidak. Kami tidak sedang membicarakan persoalan pribadi," sahut Ki Sentanu sambil menggelengkan kepala.
"Ki Sentanu. Sebenarnya alasan bertemu dengan Setan Ular Merah bukan karena soal pribadi. Harus ada orang yang menghentikan sepak terjangnya yang berbau maut. Aku sama sekali tidak menganggap diriku sebagai malaikat penyelamat. Meskipun tak memiliki kepandaian tinggi, tapi kita harus berusaha. Karena, cepat atau lambat Aryadira akan mencariku untuk membalaskan sakit hatinya...," jelas Rangga.
"Jadi kau akan bertarung dengannya?"
"Jika semua jalan untuk membujuknya tak berhasil, mungkin itulah satu-satunya jalan terakhir."
"Pendekar Rajawali Sakti, bila kau membutuhkan pertolongan, tenaga tuaku ini siap membantu. Begitu juga dengan semua murid-murid Perguruan Tombak Kilat!" ujar Ki Sentanu bersemangat.
Rangga tersenyum sambil menggeleng lemah. "Ki Sentanu, aku tidak meremehkanmu dan semua murid-murid yang berada di sini. Tapi sudah menjadi kebiasaanku bekerja sendiri. Pasti jika aku memerlukan tenaga kalian, aku akan ke sini memberitahukannya," sahut Rangga.
Mendengar jawaban itu, Ki Sentanu terpaksa menerima sikap Pendekar Rajawali Sakti. Dalam hati, orang tua itu percaya kalau Rangga berilmu tinggi. Sepak terjangnya belakangan ini telah membuktikan hal itu. Tapi, menghadapi Setan Ular Merah yang mewarisi kepandaian seorang tokoh sakti tak terkalahkan di zamannya, apakah dia sanggup?
Ki Sentanu tidak bisa menjamin. Yang pasti terbayang di benaknya, dua orang tokoh muda rimba persilatan akan bertemu. Tidak bisa dibayangkan, bagaimana serunya jika mereka jadi bertarung. Saat ini, nama keduanya memang amat disegani, karena sama-sama memiliki ilmu silat serta ilmu olah kanuragan yang tinggi!

***

Kedua orang tua itu berlari cepat, menyusuri pinggiran hutan. Dari cara mereka bergerak, agaknya bisa diduga bahwa keduanya memiliki ilmu lari cepat yang tidak sembarangan. Tubuh mereka bergerak bagai sapuan angin saja. Yang seorang bertubuh bungkuk, membawa sebatang tongkat baja di tangannya. Sementara yang seorang lagi berkulit merah dengan mata tajam dan bulat hampir keluar. Di punggungnya terdapat sebatang golok besar, yang kedua matanya bergerigi.
"Adik Palang Gerigi. Apakah kau yakin kalau si keparat itu berada tidak jauh di depan kita?" tanya orang tua bungkuk itu.
"Aku yakin, Kakang Sembung Sedura."
"Kali ini, dia tidak akan lolos dari tanganku!" geram laki-laki bungkuk yang bernama Sembung Sedura.
"Tanganku pun sudah gatal ingin menggorok lehernya," sahut kawannya yang bernama Palang Gerigi.
"Coba dengar! Sepertinya ada suara pertarungan!" desis Sembung Sedura sambil menghentikan larinya.
Ki Palang Gerigi pun menghentikan larinya, dan menajamkan pendengaran.
"Betul! Agaknya tak jauh dari sini. Mudah-mudahan dia si jahanam itu!"
"Mari kita ke sana!"
Keduanya berlalu dari situ. Tidak berapa lama kemudian, mereka melihat seorang pemuda berbaju merah berhadapan dengan seorang laki-laki tua berkepala botak yang didesak habis-habisan. Kedua tangan pemuda itu tampak hitam kebiru-biruan sampai sebatas siku. Persis ketika mereka tiba di tempat itu, si orang tua berkepala botak memekik kesakitan sambil berkelojotan. Dadanya telah tercakar pemuda berbaju merah itu.
"Aaa...!"
Seluruh tubuhnya cepat menghitam kebiru-biruan. Ketika sampai ke jantung, orang tua itu hanya sempat mengeluh sesaat. Napasnya putus saat itu juga.
"Ha ha ha...! Orang tua busuk, kau pikir kali ini berhadapan dengan siapa? Setan Ular Merah bukanlah orang sembarangan yang bisa kau jatuhkan begitu saja. Ha ha ha...! Tak ada seorang pun di dunia ini yang mampu mengalahkanku!"
"Setan Ular Merah keparat! Hentikan sesumbarmu! Hari ini kami yang akan mencabut kesombonganmu itu!" bentak Ki Palang Gerigi sambil melompat ke hadapan berbaju merah itu. Ki Sembung Sedura pun telah berada di sebelahnya.
"Siapa kalian?" tanya pemuda itu dengan tatapan mata tajam.
"Kau tak perlu tahu siapa kami. Tapi, bersiaplah menerima kematian!" dengus Ki Sembung Sedura sinis.
"Huh! Kalian pikir, punya derajat untuk bisa berhadapan denganku? Aku tak sudi berurusan dengan keroco-keroco busuk yang tidak punya nama seperti kalian! Pergilah, sebelum kesabaranku habis!"
"Setan Ular Merah! Beberapa hari yang lalu kau telah membinasakan Ki Sempalan Ungu alias Pendekar Lembah Duka. Kami adalah saudaranya yang akan membalas sakit hatinya!" sahut Ki Sembung Sedura.
"Hm, boleh juga. Orang tua itu memiliki kepandaian yang tidak rendah. Sebagai saudara seperguruan, kalian tentu memiliki kepandaian serta nama yang cukup lumayan. Cukup pantas untuk mampus di tanganku," sahut Setan Ular Merah tenang.
"Keparat! Anak muda sombong, hati-hati dengan bicaramu! Kau pikir kepandaianmu sudah hebat sekali?!" dengus Ki Palang Gerigi yang agaknya sudah tak sabar ingin menghajar pemuda itu.
"Kenapa kau, Orang Tua? Apa sudah tidak sabar ingin cepat-cepat mampus? Ke sinilah cepat"
"Keparat! Yeaaa...!"
Mendengar jawaban itu, Ki Palang Gerigi langsung melompat menyerang pemuda itu dengan kecepatan tinggi. Tanpa tanggung-tanggung lagi, senjata andalannya langsung dicabut. Ki Palang Gerigi memang mengaku kalau lawan berilmu tinggi. Itulah sebabnya, dia tak mau setengah hati menempurnya, dan langsung menggunakan senjata dengan jurus-jurus pamungkas untuk menyerang pemuda itu.
Apa yang diperkirakannya memang tidak salah. Setan Ular Merah dengan tenang menghindar dari setiap serangan dan sabetan senjatanya. Dan hal itu berlangsung terus sampai dua jurus terlampaui. Sepertinya, lawan sengaja berbuat begitu untuk mengetahui sampai di mana kehebatan ilmu silat yang dimilikinya. Dan pada jurus ketiga, pemuda itu mencabut pedangnya, siap membalas serangan lawan.
"Orang tua bersiap-siaplah menerima kematianmu! Yeaaa...!"

***

87. Pendekar Rajawali Sakti : Pusaka Goa NagaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang