BAGIAN 5

469 18 0
                                    

Sore yang cerah membawa seorang pemuda tampan berambut panjang terurai, ke sebuah desa yang cukup ramai. Siapa lagi pemuda berbaju rompi putih kalau bukan Rangga, atau yang lebih dikenal berjuluk Pendekar Rajawali Sakti. Rangga melihat beberapa penduduk desa melirik ke arahnya dengan perasaan takut dan cemas. Tapi pemuda itu tidak peduli, kakinya terus dilangkah menuju sebuah kedai. Di dalam kedai sepi, hanya ada tiga orang berada di mejanya masing-masing.
Rangga memesan makanan kepada pemilik kedai sambil melirik ke arah tiga orang itu. Sepintas saja dapat diketahui kalau ketiga orang itu bukan penduduk desa biasa. Dengan senjata terselip di pinggang, mereka lebih pantas disebut orang-orang persilatan.
"Ha ha ha...! Pelayan, tolong sediakan lima guci tuak yang paling enak, dan segala hidangan terlezat di kedaimu ini!" teriak seseorang yang baru masuk ke dalam kedai.
Orang itu bertubuh besar dengan kumis lebat. Baju di bagian dadanya terbuka lebar, menampakkan otot-otot tubuhnya yang kekar dan berkesan kuat. Di pergelangan tangan kanannya, terlihat akar bahar yang melingkar seperti lilitan ular. Di belakang orang itu terlihat empat orang yang tertawa tergelak-gelak seperti sedang mabuk. Wajah mereka rata-rata seram. Melihat kelakuan mereka yang sembarangan, agaknya kelima orang itu memang bukan orang baik-baik. Salah seorang malah menendang sebuah bangku, hingga terpental menghantam dinding.
"Cepaaat..!" teriak laki-laki berkumis lebat
"I... iya, Den...."
Hidangan yang sedianya akan diberikan kepada Rangga, oleh pelayan dialihkan kepada mereka. Tentu saja Rangga yang merasa perutnya sudah keroncongan, tidak suka melihat kelakuan pemilik kedai itu. Meskipun dia mengerti kalau pelayan itu melakukannya karena rasa takut yang amat sangat
"Kisanak, aku lebih dulu memesan hidangan itu. Mengapa kau berikan pada mereka? Itu sangat tidak adil! Berikan padaku, perutku sudah lapar sekali," kata Rangga tenang, dengan suara agak keras.
"Ta..., tapi...."
"Kenapa? Kau takut kalau aku tak mampu membayar?"
Rangga mengeluarkan beberapa keping uang perak dari saku, dan menunjukkannya pada pemilik kedai.
"Ta... tapi, Tuan...."
"Apakah uangku kurang untuk membayar makanan itu?"
"Orang tua keparat! Apa aku menyuruhmu berlama-lama mengantarkan hidangan kami? Sini, cepat..!" teriak laki-laki berkumis lebat, tanpa mempedulikan ucapan Rangga.
"Ba... baik, Den...."
"Nanti dulu! Hidangan itu dipersiapkan khusus untukku, maka ke sinilah seharusnya kau melangkah!" ujar Rangga tenang, sambil menjulurkan tangan.
"Keparat!"
Brakkk!
"Bocah sial! Tak tahukah kau sedang berhadapan dengan siapa saat ini?! Seharusnya kau bersyukur tidak kuusir dari tempat ini!" bentak salah satu dari kelima orang itu. Sambil menendang sebuah kursi, dihampirinya Rangga.
"Hm.... Peduli apa pada kalian? Lagi pula, apakah kau pemilik kedai ini, yang bisa seenaknya mengusirku?"
Brakkk!
Wuuut!
"Uts!"
Dengan cepat, kepalan tangan laki-laki kasar itu menghajar meja di hadapan Rangga, hingga hancur berantakan. Kemudian tangannya berbalik, menghantam batok kepala pemuda itu. Tapi Rangga cepat mengelak dengan menundukkan kepala. Dan, kaki kanannya terayun cepat ke arah perut lawan.
Bugkh!
"Aaakh...!"
Laki-laki berkumis lebat itu memekik kesakitan. Tubuhnya terhuyung menabrak meja di belakangnya hingga porak-poranda, dan jatuh ke lantai. Ia berusaha bangkit dengan wajah gusar. Sebelah tangannya memegang perut yang sakit bukan main.
"Heh...?!"
Keempat kawan laki-laki berkumis lebat itu tersentak kaget, dan langsung bangkit menghampiri Pendekar Rajawali Sakti.
"Diamlah kalian! Biar bocah keparat ini kuberi pelajaran!" kata laki-laki berkumis lebat. Agaknya dia masih penasaran akibat pukulan Rangga.
"Kisanak, mengapa kau tiba-tiba memukul dan mengamuk?"
"Bocah keparat! Mampuslah kau! Yeaaa...!"
"Uts! Galak sekali kau rupanya!"
Tubuh Rangga melejit, melewati kepala lawan. Dan cepat melesat ke luar kedai. Saat itu, salah seorang dari laki-laki kasar itu mengayunkan golok ke batok kepalanya.
"Kau pikir bisa lari dari Lima Begundal Maut?!" dengus laki-laki berkumis lebat, langsung melesat mengepung Rangga bersama empat orang kawannya.
"Hm.... Jadi, kalian Lima Begundal Maut yang terkenal itu? Pantas, kelakuan kalian mirip kerbau...," ejek Rangga sambil tersenyum kecil.
Diejek begitu, tentu saja kemarahan kelima orang itu semakin memuncak. Tanpa mempedulikan keadaan lagi, mereka langsung menyerang Pendekar Rajawali Sakti.
"Yeaaa...!"
"Uts!"
"Modar!"
"Sabar.... Aku masih ingin hidup lebih lama," sahut Rangga sambil meliuk-liuk, menghindari sabetan golok lawan yang menderu-deru laksana sapuan angin.
"Bocah sial! Kau tidak akan sempat menyesal berurusan dengan kami. Karena sebentar lagi tubuhmu akan menjadi santapan anjing-anjing kurap!" bentak laki-laki berkepala botak.
"Kalian jangan suka mengada-ada. Mana mungkin anjing-anjing kurap itu suka dengan dagingku. Tubuh-tubuh kalian yang berbau busuklah yang sangat diincarnya!"
"Kurang ajar! Hiyaaa...!"
"Uts!"
Pertarungan antara mereka menjadi tontonan yang menarik bagi penduduk desa. Namun, di hati mereka terselip rasa cemas. Akan menjadi korban yang ke berapakah pemuda itu? Karena selama ini, Lima Begundal Maut tidak pernah main-main dengan ucapannya.
Para penduduk desa selama ini memang dicekam rasa takut dan waswas. Sejak kehadiran Lima Begundal Maut yang selalu berbuat sesuka hati, tak ada lagi kedamaian di sini. Orang-orang banyak yang mati di pinggir jalan akibat perbuatan kelima orang itu. Ketakutan pun merajalela. Setiap ada pendatang asing yang memasuki desa, sudah pasti akan menjadi sasaran kelima orang itu.
Bukan hanya itu, mereka pun suka mencari gara-gara dan membunuh orang seenaknya hanya karena tidak suka. Beberapa orang penduduk desa berusaha mengungsi, tapi kebanyakan dari mereka kemudian ditemukan tewas terbunuh. Semua menduga, kalau itu adalah perbuatan Lima Begunda Maut. Akibatnya, tidak ada seorang pun yang berani mencoba mengungsi dari desa ini.
Dan kini, kejadian yang sudah biasa kembali terjadi. Seorang pendatang asing, dikeroyok beramai-ramai oleh Lima Begundal Maut. Tidak lama lagi, mungkin pemuda berbaju rompi putih itu akan terkapar jadi korban yang entah ke berapa kali. Pemandangan itu sudah biasa bagi penduduk desa. Mereka hanya dapat menonton. Sesudah itu, masuk ke rumah masing-masing dan mengunci pintu rapat-rapat. Biasanya, kalau sedang kesal dan marah, kelima orang itu suka mencari gara-gara, dan yang menjadi sasaran adalah penduduk desa.
Tapi kali ini mereka melihat keanehan. Lima Begundal Maut tampak kesulitan meringkus Pendekar Rajawali Sakti. Walau dikeroyok, pemuda itu sama sekali tidak terdesak. Tubuhnya meliuk-liuk seperti orang menari.
"Hiyaaat..!"
Plak! Dukkk! Desss!
"Aaakh...!"
Terdengar pekik kesakitan yang disusul terlemparnya tiga dari Lima Begundal Maut. Senjata di tangan mereka terpental, dan dari sudut bibir meleleh darah segar.
"Keparat"
Dua orang dari Lima Begundal Maut memaki dan mengayunkan senjatanya secara bersamaan.
"Hiyaaa...!"
Rangga melompat ke atas sambil jungkir balik. Kedua kakinya menghantam pergelangan tangan mereka. Begitu menyentuh tanah di belakang mereka, kembali sebelah kakinya terayun, menghantam kedua punggung lawan dengan cepat.
Desss! Desss!
"Aaakh...!"
Kedua orang itu tersungkur ke depan dengan senjata terpental. Tapi, belum lagi mereka menguasai diri, tiba-tiba berkelebat sesosok tubuh yang langsung menghajar keduanya.
"Aaa...!"
"Aaakh...!"
Kedua orang itu terpekik sesaat, dan ambruk ke tanah dengan kepala pecah. Nyawa mereka melayang saat itu juga. Rangga yang tidak menyangka akan hal itu menjadi terkejut. Di depannya telah berdiri gagah seorang gadis cantik berambut panjang, dikepang dua dan diikat dengan pita merah. Gadis itu memandang sinis tiga orang dari Lima Begundal Maut.
"Begundal keparat! Hari ini, terimalah kematian kalian!"
"Gadis liar! Siapa kau?" bentak salah seorang dari mereka, tidak kalah garangnya.
"Ingatkah kau pada Ki Waskita dan istrinya, yang kau bunuh beberapa minggu yang lalu? Sayang, saat itu aku tak ada. Kalau tidak, kalianlah yang akan kubuat mampus!" dengus gadis itu, penuh dendam.
"Hm.... Orang tua busuk itu rupanya. Apa hubunganmu dengan mereka?"
"Mereka orangtuaku. Sekarang kau mengerti, untuk apa aku di sini, bukan? Bersiaplah menjemput ajal!"
Gadis itu agaknya tak mau berbasa-basi lebih lama. Saat itu juga tubuhnya melesat ke arah mereka, seraya mencabut pedang dari punggung masing-masing.
"Yeaaa...!"
Ketiga laki-laki kasar itu terkejut. Cepat-cepat senjata mereka dihunus, siap menghadapi segala kemungkinan.
Trang! Brettt!
"Aaa...!"
Tubuh gadis itu bergerak amat cepat. Salah seorang berhasil menangkis pedangnya, tapi senjata gadis itu terus bergerak ke samping dan menyambar dada seorang lawan. Kemudian, tubuhnya cepat melejit ke atas sambil bersalto ketika seorang lawan lain membabatkan golok ke pinggangnya yang ramping. Ujung pedang si gadis terus bergerak, menyambar leher seorang lawan. Dua orang menjerit seketika dan ambruk seperti ayam disembelih.
"Kini tinggal kau seorang!" geram gadis itu sambil mengacungkan ujung pedang ke arah lawan yang tinggal seorang.
"Huh! Kau pikir aku takut padamu? Majulah, kalau kau ingin mampus!"
"Hiyaaat...!"
"Uts!"
Trang! Desss!
"Aaa...!"
Orang itu menjerit kesakitan, ketika ujung pedang si gadis menyambar lehernya. Dengan cepat kepalanya ditundukkan, sambil goloknya dibabatkan. Tapi, gadis itu menangkis dengan pedangnya, dan bersamaan dengan itu, kaki kanannya menendang ke arah dada lawan dengan tenaga penuh. Tanpa ampun lagi, terdengar suara tulang rusuk patah dan menembus jantung. Nyawanya tak terselamatkan. Tubuh laki-laki kasar itu pun diam, setelah menggelepar-gelepar sesaat.
Trek!
"Hup!"
"Nisanak, tunggu!"
Selesai menghabisi lawan, gadis itu menyarungkan pedang dan terus berkelebat dari situ. Rangga tidak tahu, kenapa tiba-tiba berteriak memanggil gadis itu. Dengan cepat, disusulnya si gadis. Ada rasa penasaran di dalam hatinya, untuk mengenal gadis berilmu cukup tinggi itu. Terbukti, Lima Begundal Maut dalam waktu yang tidak terlalu lama dapat dikalahkannya. Kehebatan gadis itulah yang mendorong Rangga mengikutinya.
Kejar-mengejar di antara mereka berlangsung terus. Ilmu lari cepat gadis itu lumayan hebat. Semula Rangga bermaksud menyusulnya, tapi kemudian niatnya itu diurungkan. Kalau mau, bisa saja Rangga menyamai lari gadis itu, bahkan mendahuluinya. Tapi, terpikir olehnya. Ada urusan apa dia menyusul gadis itu?
Sikapnya yang berkesan misterius dan tidak peduli pada orang lain, membuat Pendekar Rajawali Sakti sangat penasaran. Siapa dia sebenamya? Kenapa begitu kejam sekali pada lawan? Ah, tadi telinganya sempat mencuri dengar. Soal balas dendam, karena Lima Begundal Maut telah membunuh kedua orangtuanya.
"Berhenti!"
"Ehhh...?!"
Rangga tergagap. Pikirannya tidak terpusat pada arah gadis itu berlari, hingga tiba-tiba dari sebuah cabang pohon, gadis itu melayang turun dan mengacungkan ujung pedang tepat di lehernya.
"Untuk apa kau mengikutiku? Apakah kau kawan mereka?"
"Eh, singkirkan dulu pedang ini. Benda itu berbahaya. Salah-salah bisa menggorok leherku...."
"Jawab pertanyaanku!" bentak gadis itu sambil menyorongkan ujung pedang hingga menempel di leher Rangga.
"Baiklah.... Aku bukan kawan mereka."
"Lalu, kenapa kau mengikutiku?"
Rangga terdiam, agak ragu untuk menjawab.
"Jangan berlagak bodoh!" gadis itu menekan ujung pedangnya hingga lebih ke dalam.
"Baiklah. Karena... karena kau hebat.
Hiyaaat..!"
"Yeaaa...!"
"Uts!"
Setelah berkata begitu, Rangga langsung membuang diri ke belakang. Tapi gadis itu sudah memburu dengan kelebatan pedangnya mengarah ke dada Pendekar Rajawali sakti begitu cepatnya. Rangga bergulingan menghindari sabetan pedang lawan. Dan saat tubuhnya melejit ke atas, ujung pedang gadis itu terus memburu seperti melekat dengan tubuhnya.
Rangga melompat ke cabang pohon, tapi ujung pedang gadis itu berputar-putar. Cabang pohon tempatnya berpijak terpotong menjadi beberapa bagian. Tubuh Rangga sendiri sudah melesat di belakangnya sambil tersenyum kecil.
"Nisanak, ilmu pedangmu hebat sekali. Tapi, di antara kita tak ada permusuhan. Kenapa kau ingin membunuhku?"
"Aku akan membunuh siapa saja yang kusuka. Terutama pemuda usil sepertimu! Yeaaa...!"
"Nisanak, sabar! Aku bukan musuhmu... uts!"
Ucapan Rangga terputus ketika ujung pedang gadis itu menyambar tubuhnya dengan serangan yang mematikan. Kalau saja dia tak buru-buru menghindar, pasti tubuhnya telah terpotong-potong beberapa bagian.
"Nisanak, tak bisakah kau sedikit ramah pada orang yang tidak memusuhimu? Apakah kau ditakdirkan menjadi gadis kejam dengan sifat sadis?"
"Tutup mulutmu! Aku tidak butuh ceramah dari pemuda ceriwis sepertimu!"
Rangga menggeleng-gelengkan kepala. Dengan memainkan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib', serangan gadis itu tak satu pun yang berhasil mengenai kulit tubuhnya. Rangga mulai bosan. Sebab, gadis itu keras kepala dan tidak mau peduli omongannya. Mana mungkin dia akan terus meladeni keinginannya. Lagi pula, apa kepentingannya dengan gadis ini? Satu-satunya alasan, hanya karena Rangga penasaran ingin mengetahui, siapa gadis itu sebenarnya? Maka, tanpa membuang buang waktu lagi, Rangga membentak nyaring.
"Nisanak, baiklah. Kalau memang kau tak suka melihat kehadiranku, aku akan mohon diri. Maaf kalau aku telah mengganggumu!" ucap Rangga. Dan setelah itu, tubuhnya melesat meninggalkan tempat itu.
"Kau pikir bisa lari dariku seenaknya saja? Huh! Karena mengusikku, kau harus tinggalkan sebelah telingamu!"
Gadis itu melesat, mengejar Rangga yang berlari di antara cabang-cabang pohon.
"Yeaaa...!"
"Heh?!"
Trak! Trak!
Breeet!
"Auw!"
Gadis itu terpekik nyaring, karena tiba-tiba saja Rangga berbalik dengan dua ranting di tangannya. Sebuah ranting menyerang ke arahnya, namun dengan tangkas gadis itu menyambar dengan pedangnya, membuat ranting itu terpotong-potong menjadi beberapa bagian kecil. Tapi gadis itu terkejut ketika ujung ranting satu lagi menyambar dan merobek bajunya di bagian pundak. Mulutnya tak henti-henti memaki. Tapi bayangan Rangga telah lenyap dari pandangan. Hanya sayup-sayup terdengar suaranya dari kejauhan.
"Gadis cantik sepertimu seharusnya menghiasi diri dengan budi pekerti yang baik, agar menjadi wanita sempurna. Kecurigaan dan sikap membabi buta, akan menyengsarakan diri sendiri. Lebih terpuji lagi jika menggunakan akal dan perasaan, serta naluri kewanitaan daripada menggunakan nafsu serta amarah...."
"Sial! Siapa dia sebenamya?" maki gadis itu sambil berpikir keras.
Sesaat dia berpikir, pemuda itu bukan orang sembarangan. llmunya tinggi dan kepandaiannya hebat. Ah, terlalu banyak sekali orang berkepandaian tinggi di dunia ini. Lalu, bagaimana mungkin aku bisa melakukan tugasku? Gadis itu bertanya dalam hati, sebelum melanjutkan langkahnya.

***

87. Pendekar Rajawali Sakti : Pusaka Goa NagaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang