BAGIAN 3

521 16 0
                                    

Pegunungan Kendeng berbaris rapi, bagai gelombang laut yang berkejar-kejaran. Dimulai dari puncak tertinggi, kemudian puncak kedua yang berada di bawahnya, lalu puncak ketiga yang lebih rendah, dan seterusnya yang lebih rendah lagi. Kembali pada puncak yang agak tinggi, kemudian lebih tinggi lagi. Di bagian lereng hingga terus ke kaki pegunungan, terdapat sebuah perkampungan yang agak sepi. Jarak rumah satu ke rumah yang lain cukup jauh.
Pagi ini cuaca terlihat cerah. Sang Surya bersinar lembut, menghangatkan suasana. Di sebuah telaga yang mendapat curahan air terjun di atasnya, terlihat seorang gadis tengah melakukan gerakan-gerakan silat yang teratur dan indah, seperti sedang menari. Rambutnya panjang terurai hingga ke pinggang. Wajahnya yang cantik dan berkulit putih, tampak kemerah-merahan diterpa sinar matahari. Dan peluh bercucuran dari kening hingga ke pipinya. Sementara pedang di tangannya, terus berkelebat ke sana kemari.
Setelah beberapa saat kemudian, gadis itu menghentikan latihannya. Dan, mulai mengatur pernapasan sambil beristirahat. Setelah itu, menyegarkan diri dengan mandi di air telaga. Melihat wajahnya yang cantik, orang tak akan percaya kalau di seluruh tubuhnya dipenuhi gambar-gambar tato. Mulai dari bagian depan tubuh hingga ke bagian belakang.
Sesaat kemudian, gadis itu telah rapi berpakaian dan melangkah pelan meninggalkan tempat itu. Tapi telinganya yang terlatih, tiba-tiba mendengar teriakan-teriakan pertempuran yang tak jauh dari situ. Cepat, didatanginya asal suara itu.
Sesampainya di sana, dilihatnya, seorang pemuda tengah dikeroyok beberapa orang laki-laki bersenjata tajam, dan berwajah seram. Pemuda itu tampak lemah sekali. Beberapa kali tubuhnya kena hajar, dan terdengar jerit kesakitan dari mulutnya.
"Berhenti...!" gadis itu membentak nyaring sambil melompat ke arah mereka. Serentak orang-orang itu menghentikan pertempuran.
"Eh, coba lihat! Siapa gerangan yang akan menjadi pahlawan hari ini!" tunjuk salah seorang dari kawanan itu.
"Gadis cantik yang bahenol! Bukan pahlawan, tapi makanan empuk untuk kita!" timpal kawannya, diikuti gelak tawa lainnya.
Mendengar olok-olok mereka, gadis itu tetap diam sambil menatap tajam. Diliriknya sejenak pemuda yang menjadi korban mereka. Tubuhnya tampak babak-belur, dan wajahnya meringis menahan sakit. Dia berusaha bangkit dengan tertatih-tatih.
"Siapa kalian, dan apa yang dikerjakan di sini?"
"Coba dengar! Gadis itu malah menanyakan kita. Apa tidak sebaliknya kita yang harus bertanya padanya?!" seorang yang wajahnya penuh ditumbuhi bulu-bulu lebat, menyahut dengan sikap merendahkan sambil berpaling pada kawan-kawannya.
"Sudahlah. Tinggalkan saja bocah itu di sini. Sekarang, kita sudah mendapat makanan baru yang lebih segar!" sahut kawannya yang bertubuh kurus.
"Ah, tidak bisa! Susah payah kita mengejar anak keparat ini, agar kelak di kemudian hari tak jadi biang penyakit. Mana mungkin kulepas begitu saja!" jawab si brewok cepat
"Kalau begitu, kita bunuh saja sekarang!" salah seorang kawannya yang bertubuh besar, langsung mendekati si pemuda sambil mengayunkan golok.
Tapi, sejengkal lagi mata golok akan memenggal kepala si pemuda, saat itu juga si gadis bertindak. Tubuhnya berkelebat cepat, menghantam pergelangan tangan orang bertubuh besar, hingga goloknya terpental jauh. Dan pemiliknya, meringis kesakitan.
"Huh! Kurang ajar! Kita harus meringkus perempuan liar ini dulu, baru membinasakan bocah itu!" sentak si brewok sambil mencabut golok dan bersiap menyerang gadis itu.
"Manusia-manusia bengis tak berguna! Ayo, majulah kalian semua. Ingin kulihat, sampai di mana kegarangan kalian. Jangan hanya berlagak di depan orang yang tak mampu melawan!"
"Heh, semakin sombong saja kau rupanya! Baik, jangan menyesal kalau kau kuringkus dan kutelanjangi!"
Si brewok berteriak nyaring, menyerang gadis itu dengan gerakan cepat. Dia berharap dalam waktu singkat akan dapat meringkus gadis itu. Tapi ternyata dugaannya keliru. Gadis itu memiliki gerakan yang lincah untuk menghindari serangan-serangannya. Tubuhnya bagai seekor walet yang terbang melayang ke sana kemari. Hingga, membuat si brewok semakin penasaran saja.
"Dolok, apa kau tak mampu meringkus gadis itu? Sehingga kami harus ikut turun tangan?!" teriak seorang kawannya.
"Tidak perlu! Sebentar lagi dia akan kutundukkan!"
"Yeaaa...!"
Plak!
Begkh!
"Aaakh...!"
Saat itu, si gadis telah melayangkan kepalan tangannya dengan cepat, menyambar rahang lawan. Si brewok yang dipanggil Dolok, mencoba mengelak sambil memiringkan tubuh. Tapi gadis itu telah berbalik, dan menghantamkan kepalan tangannya yang lain, menggedor dada Dolok. Lelaki itu menjerit kesakitan dan tubuhnya terjungkal mencium tanah.
"Kurang ajar! Agaknya perempuan liar ini betul-betul tak bisa diberi hati. Ayo serang beramai-ramai!" teriak Dolok kalap.
"Yeaaa...!"
"Hiyaaa...!"
Plak!
"Uts...!"
Tanpa diperintah dua kali, mereka langsung mengeroyok gadis itu. Tapi si gadis dengan tenang melayani mereka. Meski bertangan kosong, namun ujung golok lawan sedikit pun tak mampu menyentuh kulitnya. Tentu saja hal ini membuat mereka semakin kalap. Gadis itu agaknya mulai kesal melihat kelakuan mereka. Maka sambil berteriak nyaring, tubuhnya berkelebat cepat menghajar ke sana kemari tanpa bisa dihindari.
"Yeaaa...!"
Dukkk! Desss! Begkh!
"Aaakh...!"
"Aaa...!"
Para pengeroyok itu jungkir balik satu persatu secara beruntun. Agaknya si gadis tak mau bertindak kepalang tanggung.
Cring!
"Aku hanya berkata sekali. Selanjutnya, kalian kupastikan mampus di tanganku. Pergilah dari sini!" sentak gadis itu sambil menudingkan pedang ke arah lawanlawannya.
Dengan wajah takut, mereka berlalu dari situ. Si gadis kembali menyarungkan pedang, lalu menghampiri pemuda yang tadi dikeroyok.
"Kisanak, kini kau telah terlepas dari mereka. Nah, pergilah sesuka hatimu," katanya sambil membalikkan tubuh, hendak berlalu dari situ.
"Nisanak, tunggu!"
"Ada apa lagi?" gadis itu berbalik dan menatap tajam.
"Eh! Aku..., aku belum mengucapkan terima kasih atas pertolonganmu."
"Tak usah. Nah, pergilah!"
"Tapi, Nisanak. Mereka pasti akan mencegatku begitu kau pergi. Dan.... Ah! Nasibku memang malang, telah ditakdirkan harus mati sia-sia...," keluh pemuda itu, sambil duduk pada sebatang pohon yang telah tumbang dan keropos.
Gadis itu memperhatikannya dengan seksama sambil berpikir. Apa sebenarnya yang terjadi dengan pemuda ini, dan mengapa sampai dikejar-kejar untuk dibunuh? Semula gadis itu tak peduli, tapi entah mengapa kemudian dia menghampiri dan berdiri di depan si pemuda.
"Siapa namamu?"
"Eh. Aku..., namaku Wakalu...."
"Hm, Wakalu.... Mengapa kau sampai berurusan dengan orang-orang itu?"
"Mereka membunuh kedua orangtuaku...."
"Mengapa mereka membunuh keluargamu?"
"Entahlah! Aku pun tidak tahu persoalannya. Subuh tadi, mereka datang dan langsung menyerang kami. Sebenarnya aku tak ingin melarikan diri, tapi kalau aku mati, siapa yang akan membalas sakit hati orangtuaku? Sayang, aku tak memiliki kepandaian untuk melawan mereka...."
Gadis itu terdiam.
"Nisanak, siapakah kau sebenarnya? Kulihat, kau memiliki kepandaian silat yang hebat. Sudikah kau mengajariku? Aku akan menuruti segala perintahmu," pinta si pemuda dengan suara memelas.
"Hm.... Namaku Sekartaji, dan biasa dipanggil Sekar saja. Ilmu silatku tak seberapa, tapi sekadar menghajar keroco-keroco seperti mereka, mungkin bisa diandalkan. Tapi, itu tidak akan cukup untukmu. Lagi pula, aku tak berkenan mengambil murid."
"Tolonglah aku, Sekar. Asalkan bisa membalas kematian kedua orangtuaku, aku sudah merasa bersyukur."
"Hm...," gadis itu bergumam sesaat.
"Ah, nasibku memang buruk. Lebih baik aku mati saja, daripada menjadi anak yang tak berguna," keluh pemuda yang mengaku bernama Wakalu itu. Kemudian, diambilnya sebuah batu yang cukup besar, siap dihantamkan ke kepalanya.
Plak!
"Hentikan!" bentak Sekartaji sambil menghantam pergelangan tangan Wakalu, sehingga membuat batu di tangannya terpental.
"Kenapa kau menghalangi niatku? Sudah jelas aku anak yang tak berguna. Biarkan aku mati!"
"Baiklah. Aku akan mengajarkanmu satu dua jurus ilmu silat"
"Oh, benarkah?"
Sekartaji mengangguk.
"Eh, jangan begitu! Ayo, berdiri!" lanjutnya ketika melihat Wakalu hendak bersujud di kakinya.
"Aku mesti memberi penghormatan pada guruku."
"Tidak usah. Sekarang mari ikut ke pondokku."
"Baiklah."
Keduanya segera berlalu dari tempat itu. Dari kejauhan, terlihat orang-orang yang tadi mengeroyok Wakalu, memperhatikan dengan seksama.
"Agaknya, gadis itu berkenan pada Ki Aryadira," gumam si brewok yang bernama Dolok.
"Berhasil juga siasat Ki Aryadira," sahut kawannya.
"Sudahlah. Untuk apa kita berlama-lama di sini. Tugas kita telah selesai. Sebaiknya, kita kembali ke perguruan," kata kawannya yang lain.
Setelah melihat kedua orang itu berlalu, mereka pun meninggalkan tempat itu.

87. Pendekar Rajawali Sakti : Pusaka Goa NagaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang