Hubungan antara Wakalu atau Aryadira dengan Sekartaji semakin intim saja sejak malam itu. Bahkan, bukan lagi sekadar antara guru dan murid, tapi lebih mirip hubungan suami istri. Sekartaji semakin hari semakin percaya pada pemuda itu. Hingga ketika melihat segala kepandaiannya telah diturunkan pada pemuda itu, Sekartaji mulai membicarakan soal penting yang selama ini selalu dirahasiakan.
"Kakang Wakalu...," katanya pada suatu malam.
"Hm...."
"Kau mungkin heran melihat sekujur tubuhku penuh tato, bukan?"
"Ya.... Tapi aku tak peduli, meski tubuhmu bagaimanapun keadaannya."
"Gambar tato ini bukan sembarangan, Kakang...," lanjut Sekartaji.
"Bukan sembarangan? Lalu apa...?" tanya Aryadira dengan wajah heran.
"Ini adalah peta yang menunjukkan suatu tempat..."
"Suatu tempat? Aku semakin tak mengerti."
"Hm.... Kau memang tak mengerti, karena kau tadinya bukan orang persilatan. Kakang Wakalu, peta ini menunjukkan suatu tempat yang bernama Goa Naga. Leluhurku adalah pemilik tempat itu. Pada zamannya, ia merupakan salah seorang tokoh persilatan yang tiada tandingan. Tapi karena sulit melihat tato yang berada ditubuhku ini, sampai sekarang aku belum menemukan tempat itu...."
"Ada perlu apa kau ke sana?"
Sekartaji tersenyum sambil menggelengkan kepala.
"Apa kau belum mengerti juga, ke mana arah pembicaraanku?"
Aryadira menggeleng.
"Tidak inginkah kau menambah kepandaian ilmu olah kanuraganmu, Kakang?"
"Tentu saja mau."
"Nah, bisakah kau membantuku untuk menafsirkan peta yang berada di tubuhku ini?"
"Kalau itu membuatmu senang, tentu aku suka sekali membantunya. Nah, bukalah bajumu."
Sekartaji membuka seluruh bajunya, hingga terlihat jelas gambar tato di bagian depan dan belakang. Aryadira mengamatinya agak lama sambil berpikir keras. Bola mata pemuda itu berbinar-binar dan hatinya bersorak girang. Berkali-kali dia menghubung-hubungkan beberapa buah garis dan titik, serta gambar-gambar Iain yang merupakan lambang. Sesaat kemudian, pemuda itu tersenyum gembira.
"Bagaimana, Kakang? Tahukah kau, di mana kira-kira letak goa itu?"
"Sepertinya tak terlalu susah. Tapi aku masih heran, mengapa kau harus ke sana."
"Bukan aku yang akan ke sana, tapi kita."
"Kita?"
Sekartaji mengangguk.
"Kakang, ketahuilah. Leluhurku meninggalkan warisan berupa pelajaran ilmu silat tinggi di sana. Kalau kita bisa mempelajarinya, tentu akan hebat sekali. Nah, tak inginkah kau menjadi orang yang disegani?"
"Oh. Tentu saja aku suka sekali."
"Nah. Kalau begitu, besok pagi-pagi sekali berangkat mencari tempat itu.
"Kau bersungguh-sungguh?!"
"Tentu saja! Kenapa tidak?"
"Aku tidak tahu, bagaimana caranya mengucapkan terima kasih. Kau telah banyak sekali membantuku."
"Kakang, perlukah seorang kekasih mengucapkan terima kasih, kalau itu dilakukannya karena perasaan sayang dan kasih yang tulus? Kau hanya perlu menyayangi dan selalu berada di sisiku setiap saat."
"Tentu saja, Sekar. Mana mungkin aku meninggalkan kekasih yang amat kucintai?"
"Oh, Kakang. Aku bahagia sekali mendengar kata-katamu!" Sekartaji memeluk erat tubuh pemuda itu.
"Aku pun bahagia dicintai gadis secantikmu...."
"Betulkah kata-katamu itu, Kakang?"
"Apa?"
"Kau mencintaiku sepenuh hati?"
"Kenapa tidak?!"
"Tidakkah kau merasa malu melihat tubuhku yang penuh tato?"
"Sekar, harus berapa kali kukatakan? Aku mencintaimu dan tak peduli dengan keadaan tubuhmu yang penuh tato. Bahkan, itu menambah keindahan tubuhmu."
"Kau hanya menghiburku, Kakang..."
"Aku bicara apa adanya, bukan sekadar menghibur."
"Sudahlah, Kakang. Lebih baik kita tidur agar besok pagi bisa bangun dengan tubuh segar. Mungkin perjalanan kita akan jauh dan makan waktu lama..."
Aryadira mengangguk. Setelah mencumbu gadis itu, mereka tidur saling berpelukan. Masing-masing dengan mimpinya. Sekartaji merasa bahagia dan aman menemukan pemuda yang mencintainya. Angannya melayang jauh, membayangkan kebahagiaan mereka kelak. Berumah tangga, mempunyai anak, bercanda ria, dan sebagainya. Tapi yang dipikirkan Aryadira lain lagi. Selangkah lagi impiannya akan tercapai, menjadi orang yang akan menjagoi rimba persilatan. Tidak ada seorang pun yang akan menandinginya.***
Perjalanan ke tempat tujuan memakan waktu dua hari dua malam. Tapi, rasa lelah mereka terobati ketika melihat tanda-tanda yang ada di tempat itu sama dengan yang tergambar di tubuh Sekartaji.
"Tapi lembah ini luas sekali, Kakang. Bagaimana kita dapat menemukan letak goa itu?"
"Ingat, Sekar! Goa itu tidak akan ditemukan begitu saja. Ada tanda khusus yang akan membuat goa itu terbuka. Jadi, selama tak ada yang menemukan pembuka goa, maka goa itu akan terlihat seperti dinding saja," jelas Aryadira.
"Jadi, kita harus menemukan batu tebing yang menonjol seperti tanduk kerbau?"
"Betul!"
Keduanya terus menyusuri tebing terjal di lembah itu.
"Kakang, lihat!" seru Sekartaji.
Wakalu alias Aryadira menoleh ke arah yang ditunjuk Sekartaji. Di sana dilihatnya dua bongkah batu sepanjang setengah jengkal, saling bertolak belakang. Bentuk batu itu seperti ulekan sambal, disamarkan oleh tonjolan-tonjolan batu sebesar kepalan tangan.
"Mari kita lihat dan coba!" ajak Aryadira.
Kemudian, mereka melangkah mendekati batu yang berbentuk aneh itu. Setelah mengamat-amati secara seksama, Aryadira memutar kedua batu itu secara bersamaan ke arah kiri dan kanan. Sehingga ujung-ujung bagian atasnya hampir bersentuhan.
"Kakang, lihat! Tebing ini bergeser perlahan-lahan!" seru Sekartaji sambil menunjuk dinding tebing yang bergeser membentuk sebuah pintu.
Melihat itu Aryadira semakin bersemangat memutar kedua batu ke kiri dan kanan. Lubang itu semakin membesar, hingga berhenti ketika cukup untuk dimasuki dua orang.
"Inikah Goa Naga itu?" tanya Aryadira dengan wajah girang, sambil melangkah hati-hati.
"Kakang, awas!"
"Uts!"
Cras! Cras...!
Aryadira cepat melompat ketika empat ekor ular dengan ganas menyerangnya. Dengan segera pedangnya dicabut, dan membabat keempat ular itu hingga menjadi beberapa potong.
"Di dalam sangat gelap, Sekar. Aku tak tahu, berapa banyak ular lagi yang akan ditemui. Sebaiknya kita membuat api agar ular tidak berani menganggu," usul Aryadira. Kemudian, matanya beredar ke sekeliling tempat itu. Tampaknya ia tengah mencari-cari sesuatu.
"Di sebelah sana ada pohon damar. Getahnya bisa kita buat obor!" seru Sekartaji sambil menunjuk ke satu arah.
Keduanya langsung melompat dan mematahkan beberapa ranting kayu untuk dijadikan obor. Setelah mengolesi dengan getah damar secukupnya, Aryadira langsung membuat api dengan bantuan dua buah batu pemantik. Dengan dua buah obor yang menyala-nyala, mereka masuk ke dalam goa sambil bersiaga dengan pedang masing-masing.
Di mulut goa, banyak sekali ular-ular yang berserakan dan bergelantungan di dinding-dinding ruangan. Namun dengan bantuan obor, ular-ular tersebut dapat mereka halau ke tepi, hingga keduanya dapat masuk lebih ke dalam dengan aman.
Ruangan di dalam goa tidak kalah gelapnya. Ada beberapa lorong yang harus dipilih, ketika tiba di tengah-tengah goa. Mereka tidak melanjutkan ke lorong-lorong yang ada di situ, karena yang dicari ternyata ada di ruangan ini.
"Kakang, lihat! Inilah kitab-kitab pusaka peninggalan leluhurku!" seru Sekartaji sambil memperlihatkan setumpuk kitab yang tersusun rapi dalam rak batu.
Aryadira melihat beberapa tumpukan kitab, dan membukanya satu persatu. Wajahnya semakin berbinar-binar, membaca pelajaran ilmu silat tingkat tinggi serta ilmu olah kanuragan lainnya.
"Zzzsss...!"
"Kakang, awas!"
Aryadira cepat melompat dan bersiap dengan pedang di tangan. Terlihat seekor ular sebesar paha, dengan panjang lebih dua tombak, mendekat ke arah mereka. Tapi sikap ular itu tidak menunjukkan akan menyerang. Ular itu terdiam, ketika jarak mereka tinggal empat langkah lagi. Matanya tajam menatap Sekartaji dengan lidah sesekali terjulur ke luar. Terlihat berkali-kali kepalanya direndahkan sedikit ke bawah, seperti memberi hormat pada gadis itu.
"Agaknya binatang ini mengenalimu sebagai pewaris pusaka-pusaka yang berada di goa ini," gumam Aryadira.
Sekartaji terdiam. Wajahnya masih terlihat pucat karena keterkejutannya tadi. Tapi hatinya mulai sedikit lega melihat sikap ular itu.
Ular tersebut memalingkan kepala dan menjauhi mereka, sambil sesekali berpaling seolah ingin menunjukkan sesuatu kepada mereka. Keduanya mengikuti dengan langkah hati-hati. Di sudut ruangan yang agak remang-remang, terdapat sebuah altar batu setinggi lima jengkal. Di atasnya terdapat sebuah guci yang permukaannya agak lebar. Ular itu melingkar mengelilingi altar. Dengan hati-hati, sambil sesekali melirik ke arah ular, mereka melihat isi guci itu.
"Cairan apa itu?" tanya Sekartaji heran.
Aryadira memperhatikan dengan seksama. Ketika bermaksud menciumnya, bau yang menyengat menerpa hidungnya. Dengan terkejut, kakinya melangkah ke belakang.
"Astaga! Cairan itu adalah bisa-bisa ular yang paling mematikan...!"
"Apa? Bisa ular yang mematikan? Apa maksud ular itu menunjukkan cairan ini pada kita? Apakah dia bermaksud menyuruh kita bunuh diri?"
"Jangan berburuk sangka dulu...."
Aryadira tidak meneruskan kata-katanya, karena ular besar yang melingkari altar bergerak kembali dan mendekati rak berisi kitab-kitab pelajaran ilmu silat. Dan, diam di situ beberapa saat lamanya, sambil memandang mereka bergantian.
"Apa lagi maksudnya?"
Aryadira berpikir. Kemudian, kakinya melangkah mendekati ular itu, dan memeriksa beberapa buah kitab yang ada di rak batu.
"Hm.... Aku mengerti...," katanya sambil tersenyum kecil.
"Apa maksudnya?"
"Cairan bisa ini merupakan unsur yang membentuk jurus 'Cakar Naga'. Kita harus menyerap cairan itu pada saat pemantapan ilmu telah mencapai puncaknya," jelas Aryadira, mengutip kalimat dari kitab yang sedang dibacanya.
"Oh! Apa tidak berbahaya?"
"Tentu saja tidak, kalau kita mengerti caranya."
"Kakang. Untuk apa lagi kita lama-lama di sini? Ayo kita buka kitab-kitab itu dan mempelajarinya."
"Ya, ya.... Kau benar."
Sementara mereka membaca dan mempelajari kitab-kitab yang berada dalam rak batu, ular besar tadi kembali bergerak ke dekat altar dan melingkarinya. Sepasang matanya yang merah, seperti mengawasi setiap gerak-gerik Sekartaji dan Aryadira.***
Tak terasa, hari berganti minggu dan bulan berganti tahun. Kedua muda-mudi itu terus berlatih di dalam Goa Naga. Lebih dari setahun mereka berada di tempat itu, tanpa diketahui seorang manusia pun. Letak Goa Naga memang tersembunyi dan jarang dilalui manusia. Pintu goa pun dapat ditutup dari dalam, sehingga dari luar terlihat seperti tebing curam saja.
Menjelang subuh, Aryadira tampak mengendap-endap menuju pintu goa. Matanya sesekali melirik ke arah Sekartaji, yang masih tertidur pulas. Semalam mereka baru saja selesai menguasai jurus 'Cakar Naga'. Ternyata, tidak semudah dibayangkan. Untuk menyedot bisa ular dari dalam guci berbentuk ceper, diperlukan pengerahan tenaga dalam dan hawa murni penuh.
Akhirnya, mereka berhasil melalui semua ujian. Aryadira gembira karena mereka telah mengakhiri semua pelajaran yang ada dalam kitab-kitab di dalam goa ini. Dan sebentar lagi dia tentu akan menguasai rimba persilatan.
Sekartaji pun gembira karena mereka akan kembali hidup normal dan menikah. Aryadira memang telah berjanji padanya. Kini terlihat gadis itu sedang tertidur lelap setelah seharian penuh berlatih.
"Ohhh...!"
Gadis itu menggeliat, berusaha memeluk Aryadira yang tadi tidur di sampingnya.
"Kakang...?"
Kelopak mata Sekartaji terbuka perlahan-lahan. Dan ketika tidak melihat Aryadira di sisinya, bergegas dia bangkit. Sekartaji melayangkan pandangannya ke sekeliling goa yang diterangi beberapa obor.
"Kakang Wakalu...!"
"Hup!"
Trak!
"Kakang Wakalu!"
Sekartaji melompat ketika melihat sebuah bayangan mencelat keluar. Dan mematahkan palang pintu goa.
"Yeaaa...!"
"Akh!"
Sekartaji tidak salah lihat! Bayangan itu adalah Aryadira, kekasih yang akan menjadi calon suaminya. Tapi, apa yang terjadi? Dan kenapa tiba-tiba saja melancarkan pukulan jarak jauh bertenaga kuat ke arahnya? Tubuh Sekartaji terbanting ke dalam goa, dengan luka dalam yang cukup parah. Dari mulutnya, tak henti-hentinya meleleh darah segar.
Sambil menahan sakit yang luar biasa, gadis itu berusaha berdiri. Kemudian, melangkah tertatih-tatih menuju pintu goa, yang perlahan-lahan menutup kembali.
"Kakang Wakalu.... Apa yang kau lakukan padaku...?"
"Ha ha ha...! Mampuslah kau di dalam, Gadis Tolol! Kini, aku tidak membutuhkanmu lagi!" teriak Wakalu sambil tertawa lebar dari luar pintu goa yang telah tertutup.
"Kakang Wakalu...!"
"Kakang Wakalu telah mampus. Yang ada hanya Aryadira alias Setan Ular Merah. Akulah yang akan merajai dunia persilatan. Ha ha ha...!"
"Aryadira...?" Sekartaji bergumam lemah.
Nama itu memang tidak terlalu mengejutkannya, tapi Sekartaji tahu betul, siapa orang itu. Berita mengenai dirinya telah tersebar luas. Sekartaji hanya dapat menyesali diri sendiri yang bodoh dan tidak mengenali orang.
"Jadi.... Jadi, kau yang bernama Aryadira, pembunuh guru sendiri dan menduduki jabatannya sebagai ketua perguruan?"
"Ha ha ha...! Kau benar. Tapi, sudah terlambat!"
"Aryadira. Jadi, tujuanmu ingin menguasai pusaka yang berada di Goa Naga ini, hanya untuk menambah kepandaian. Dan menjadi orang yang tidak terkalahkan?"
"Ha ha ha...! Setelah terkurung beberapa saat, ternyata otakmu mulai terpakai lagi."
"Jadi, kau tidak sungguh-sungguh mencintaiku...?" tanya gadis itu, terdengar lemah dan putus asa.
"Mencintaimu? Ha ha ha...! Jangan mimpi, Gadis Tolol. Untuk apa aku harus mencintaimu, apa lagi mengawini gadis sepertimu? Masih banyak gadis-gadis cantik lainnya yang memiliki tubuh bagus. Kenapa aku harus mencintai gadis tolol, dan memiliki cacat di tubuhnya?"
"Keparat kau, Aryadira! Ternyata kau memperalatku selama ini. Aku bersumpah akan membunuhmu nanti!"
"Bawalah sumpahmu ke akhirat sana. Kau tak akan mampu keluar dari goa ini. Saat ini, kau terluka parah. Mana mungkin, kau mampu menjebol dinding pintu yang tebalnya lima jengkal. Ha ha ha...! Kau boleh mampus bersama angan-anganmu!"
"Keparat kau, Aryadira!"
"Ha ha ha...! Kini tak seorang pun yang mampu menandingiku. Aku akan menguasai dunia persilatan. Selamat tinggal, Gadis Tolol! Bersenang-senanglah menerima kematianmu! Ha ha ha...!" Aryadira tertawa keras, dan berkelebat cepat meninggalkan tempat itu.
"Kau tak akan lepas dariku, Keparat! Ke mana pun kau pergi, akan kukejar! Aku bersumpah akan mengambil jiwa iblismu!" teriak Sekartaji kalap, sambil memukul-mukul dinding goa.
Tapi akhirnya gadis itu terjatuh. Napasnya terasa sesak dan dadanya nyeri. Sambil merayap-rayap, dia kembali ke dalam ruangan untuk mengatur pernapasan dan mengobati luka dalam yang dideritanya. Gadis itu kembali memuntahkan darah segar. Pikirannya tidak dapat terpusat. Hatinya geram memikirkan perbuatan Aryadira. Kepercayaannya telah dicampakkan begitu saja, setelah pemuda itu memperoleh manis dirinya. Hatinya yang semula berbunga-bunga, perlahan-lahan layu. Kemarau garang membakar, menimbulkan nyala api dendam kesumat kepada pemuda itu.
"Awas kau, Aryadira! Aku bersumpah akan membunuhmu!" geram Aryadira sambil mendengus garang.***
KAMU SEDANG MEMBACA
87. Pendekar Rajawali Sakti : Pusaka Goa Naga
ActionSerial ke 87. Cerita ini diambil dari Serial Silat Pendekar Rajawali Sakti karya Teguh S. Dengan tokoh protagonis Rangga Pati Permadi yang dikenal dengan Pendekar Rajawali Sakti.