BAGIAN 8

501 19 2
                                    

Setan Ular Merah terkejut dan cepat-cepat melepaskan gadis itu ketika seseorang menegurnya dari belakang. Terlihat seorang pemuda tampan berambut panjang terurai berbaju rompi putih. Dari balik punggungnya, tampak tersembul sebatang pedang bergagang kepala burung. Setan Ular Merah tersenyum lebar, ketika mengetahui siapa pemuda itu.
"Pendekar Rajawali Sakti! Pucuk dicinta ulam tiba!"
"Aryadira, apa yang kau lakukan dengan gadis itu? Apakah itu perbuatan orang hebat, yang namanya belakangan ini menggetarkan rimba persilatan? Apakah kemampuanmu hanya menaklukkan gadis-gadis yang tak berdaya?"
"Pendekar Rajawali Sakti, jangan banyak bicara kau! Hari ini aku akan membalas kekalahanku setahun yang lalu!" dengus Aryadira.
Pendekar Rajawali Sakti tersenyum tipis. Diliriknya sesaat gadis yang tadi dipeluk Setan Ular Merah. Rangga tersenyum kecil. Gadis itu sedikit terkejut. Pemuda yang baru datang ini adalah orang yang pernah dikenalnya beberapa hari lalu.
"Hm... Diakah Pendekar Rajawali Sakti yang terkenal itu?" gumam gadis itu, tanpa disadari.
"Kisanak, kedatanganku ke sini bukan untuk urusan dendam atau apa pun yang kau katakan. Aku hanya ingin memperingatkanmu. Apa yang kau lakukan selama ini sangat biadab, dan tidak berperikemanusiaan. Kau membunuh orang tanpa sebab, dan hal itu tidak bisa dibenarkan."
"Jangan berceramah di depanku! Kalau memang kau tak senang, majulah untuk menemui kematian!"
"Tidak bisakah kita bicara baik-baik? Apakah naluri manusiamu tidak dapat menilai, kalau kelakuanmu selama ini lebih buruk dari kelakuan binatang?"
"Diam kau! Cabutlah pedangmu, dan hadapi aku!"
Rangga tersenyum kecil. "Agaknya hatimu telah dipenuhi nafsu hewan yang menyesatkan, Aryadira. Kau bukan manusia yang beradab, tapi setan yang tak beradab!"
Bukan main kalapnya Aryadira mendengar kata-kata yang dilontarkan Pendekar Rajawali Sakti. Tanpa memberi peringatan lagi, tubuhnya langsung berkelebat menyerang lawan. Rangga bersiap dan sedikit kaget karena lawan mampu bergerak cepat. Suatu peningkatan penuh dari Aryadira yang pernah dihadapinya setahun lalu. Aryadira memang mengalami kemajuan pesat dalam setahun ini, tak sia-sia kepandaian pemilik Goa Naga diwarisinya. Pendekar Rajawali Sakti menduga akan hal itu, sehingga tidak berlaku ceroboh menghadapinya. Pertarungan antara keduanya begitu seru dan berjalan cepat.
Pada saat mereka sedang bertarung, beberapa tokoh persilatan muncul di tempat itu. Bahkan, di antaranya langsung memberikan pertolongan pada gadis itu. Di antara mereka terlihat Ki Sentanu dan murid-murid Perguruan Tombak Kilat. Agaknya, secara diam-diam mereka mengikuti jejak Rangga. Seperti menyaksikan tontonan yang menarik, dalam sekejap saja tempat itu telah dipenuhi banyak orang. Hal itu memang tak mengherankan. Tempat pertarungan antara kedua tokoh itu memang tidak jauh dari sebuah desa yang cukup ramai.
Kedua tokoh itu belakangan namanya sama-sama menanjak. Pendekar Rajawali Sakti malang-melintang membasmi tokoh-tokoh beraliran sesat yang berilmu tinggi, tanpa terkalahkan. Sedang Setan Ular Merah namanya baru menanjak dan ditakuti semua golongan. Ilmunya tinggi dan sulit diduga. Lebih dari lima belas tokoh kelas satu tewas di tangannya.
Tempat itu kini betul-betul menjadi arena tontonan yang ramai sekaligus mematikan. Mereka membentuk lingkaran, dalam jarak lebih kurang dua puluh tombak dari pertarungan kedua tokoh itu.
Sementara, pertarungan antara keduanya telah mencapai tingkat tertinggi. Setan Ular Merah mengerahkan jurus 'Cakar Naga' yang dahsyat dan sangat beracun. Kedua tangannya sebatas siku telah berwarna hitam kebiru-biruan. Wajahnya yang keras berubah kaku, memancarkan kesan pembunuh kejam. Mereka terdiam beberapa saat, lalu saling berpandangan.
"Hari ini adalah kematianmu, Pendekar Rajawali Sakti. Berdoalah agar setan-setan di neraka tidak menyeretmu untuk menemani mereka!" dengus Setan Ular Merah.
Rangga terdiam. Pedang pusakanya telah tercabut dan memancarkan cahaya kebiru-biruan, menerangi tempat itu. Pandangannya tajam menusuk. Wajahnya yang tampan berubah kelam dan kaku bagai patung. Terlihat kesan angker di wajahnya. Tangan kirinya mengusap-usap batang pedang yang didekatkan ke muka. Tak berapa lama, terlihat telapak tangan kirinya berwarna biru bercahaya. Pendekar Rajawali Sakti telah siap mengerahkan aji 'Cakra Buana Sukma' untuk menghadapi lawan.
"Yeaaa...!"
"Hiyaaat..!"
Trang...!
Blarrr!
"Hup!"
"Yeaaa...!"
Bumi tempat mereka berpijak rasanya berguncang, ketika dua tokoh sakti itu berteriak mengerahkan tenaga dalam yang kuat. Mereka yang mempunyai tenaga dalam rendah langsung ambruk dengan sekujur tubuh mengeluarkan darah. Kedua senjata mereka bertemu sehingga menimbulkan pijaran bunga api.
Pendekar Rajawali Sakti sedikit terkejut. Sebab, pedang pusakanya yang selama ini tak tertandingi, dan mampu memutuskan baja terkuat sekalipun, kini menjadi sebatang pedang biasa saja. Bahkan, tangannya sedikit kesemutan. Pedang di tangan lawan, pastilah bukan senjata sembarangan. Batangnya berwarna hitam kebiru-biruan dan berkilat-kilat, ketika Setan Ular Merah mengerahkan tenaga dalamnya.
Tapi Rangga tak sempat memikirkan lebih lanjut, karena telapak tangan kiri lawan menghantam dengan menimbulkan suara menderu. Pendekar Rajawali Sakti membalas dengan mengerahkan aji 'Cakra Buana Sukma'. Terdengar ledakan dahsyat, disusul pijaran bunga api membubung ke angkasa. Bumi bergetar dan angin berhembus kencang bagai badai topan. Dan, beberapa batang pohon terlihat tumbang dengan daun-daun berguguran.
Kedua telapak tangan mereka bertemu. Aryadira menghantamkan pedang untuk membabat leher lawan, tapi Pendekar Rajawali Sakti cepat menangkis. Adu tenaga dalam pada jarak dekat ini, sangat menguras tenaga mereka. Terlihat dari sudut bibir keduanya meleleh darah kental.
Wajah Aryadira berkerut, begitu juga Rangga. Kedua kaki mereka melesak ke dalam tanah, sebatas mata kaki. Tapi perlahan-lahan kedua kaki Aryadira melesak lebih dalam dari Pendekar Rajawali Sakti. Juga, dari mulutnya mengalir darah kental yang terus berlelehan, bahkan sempat memerciki wajah Rangga.
"Yeaaa...!"
"Heh?!" Crasss! Brettt!
"Aaa...!"
Setan Ular Merah menjerit keras ketika sebuah bayangan melesat menyambar tubuhnya. Terdengar kulit tubuhnya yang robek karena cakaran. Tubuh pemuda itu meliuk-liuk, dan berguling-guling menahan rasa sakit yang tidak tertahankan.
"Hari ini adalah saat kematianmu, Pemuda Keparat! Ini pembalasanku. Dan kini, terimalah hukuman leluhurku, atas apa yang kau perbuat dengan warisan ilmu silatnya!"
"Sekartaji?! Ja..., jangan...!"
"Yeaaa...." Crab! "Akh...!"
Aryadira hanya dapat mengeluh pelan. Kepalanya terkulai lemah, ketika kesepuluh cakar bayangan yang ternyata milik seorang gadis berwajah cantik, menancap di dada kirinya. Sekujur tubuh pemuda itu hitam kebiru-biruan. Namun, gadis itu seperti tak mau melepaskan cengkeramannya, sampai tubuh Setan Ular Merah hancur berantakan laksana tebing runtuh.
Gadis itu baru menghentikan perbuatannya, saat tubuh Aryadira sudah tidak karuan lagi bentuknya. Ditariknya napas panjang-panjang, kemudian pandangannya beredar ke sekeliling tempat dengan sorot mata tajam.
"Kisanak semua! Perkenakanlah aku mengenalkan diri. Namaku Sekartaji, ahli waris pemilik Goa Naga. Tempat itu adalah milik leluhurku. Setan Ular Merah datang padaku secara baik-baik, dan kami telah berjanji untuk hidup bersama. Tak pernah terbersit sedikit pun dalam benakku untuk mencemarkan nama leluhur dengan berbuat keonaran, setelah kami mempelajari warisan leluhurku itu. Tapi, Setan Ular Merah mengkhianatiku, setelah mencelakakanku dengan mengurungku di dalam goa itu. Atas nama leluhur, aku memohon maaf pada semua tokoh persilatan, karena perbuatan Setan Ular Merah yang sadis dan biadab. Hari ini semuanya telah berakhir...."
Setelah berkata demikian, Sekartaji mengangkat tangan kanannya ke atas kepala. Sedangkan, tangan kiri diletakkan di depan dada. Tampak kedua tangannya itu telah menghitam sebatas siku.
Rangga terkejut. Apa yang hendak dilakukan oleh gadis yang kelihatan putus asa itu telah dimengertinya. Tubuhnya langsung melompat ingin mencegah.
"Nisanak, tahan!"
Prakkk!
Crab!
"Akh!"
Rangga dan semua orang yang berada di situ sangat terkejut. Kedua tangan gadis itu bergerak cepat. Satu tangan dihantamkan ke batok kepalanya hingga remuk, dan yang satu lagi menembus jantung. Sekartaji hanya sempat mengeluh sejenak, sebelum tubuhnya ambruk tak berdaya di pangkuan Rangga.
Nyawa gadis itu sudah tak tertolong lagi. Tubuhnya dengan cepat menghitam, terkena pukulannya sendiri. Tempat ini menjadi sepi beberapa saat lamanya. Semua orang yang tadi menonton pertarungan, mendekati Pendekar Rajawali Sakti.
"Terima kasih, Pendekar Rajawali Sakti. Kau telah melenyapkan salah satu kezaliman di muka bumi ini...."
"Ki Sentanu...," ucap Rangga lirih ketika punggungnya ditepuk orang tua itu. "Bukan aku yang berjasa, tapi gadis ini. Aku sama sekali tidak mengenalnya...."
"Gadis itu hanya mempercepat saja...."
Rangga terdiam. Dan, meminta beberapa orang untuk mengubur mayat Sekartaji. Beberapa tokoh persilatan mendatanginya, dan menjabat tangan Pendekar Rajawali Sakti. Bahkan banyak di antara mereka yang mengundang berkunjung ke tempat kediamannya. Tapi, Rangga menolak dengan halus.
"Maaf, Kisanak semua. Aku sama sekali tak bermaksud menolak kebaikan kalian. Tapi, masih banyak persoalan yang harus kuselesaikan," jelas Rangga sebelum berlalu dari tempat itu.
Baru saja Pendekar Rajawali Sakti berjalan sepuluh langkah, tiba-tiba gadis yang tadi nyaris menjadi korban nafsu Aryadira menghampirinya dengan kepala tertunduk.
"Kisanak, aku ingin mengucapkan terima kasih atas pertolonganmu. Kalau kau tak cepat datang, entah apa yang terjadi padaku...," kata gadis itu dengan suara lirih. Rangga tersenyum lirih.
"Sudahlah. Semua telah berlalu."
"Aku..., aku mohon maaf karena pernah berlaku kasar padamu...."
"Soal maaf, rasanya aku pun pernah berbuat kesalahan. Setelah kupikir-pikir lagi, akulah yang lebih dulu berbuat salah padamu. Nah, maafkan aku."
"Kisanak..."
"Kau boleh memanggilku Rangga."
"Ng.... Namaku Mega...."
"Nah, Mega. Aku harus cepat-cepat pergi. Ada yang harus kukerjakan...."
"Ng.... Sudikah kau menerima undanganku? Aku bermaksud mengundangmu ke tempat kediamanku."
"Mungkin di lain kesempatan aku tidak menolak. Tapi, kali ini urusanku amat mendesak. Sampai bertemu di lain waktu, Mega."
Selesai berkata begitu, Pendekar Rajawali Sakti melangkah pelan sambil melambaikan tangan. Gadis itu pun melambaikan tangan dengan hati kecewa. Begitu sombongkah pemuda itu? Atau, dirinya yang terlalu perasa?
Mega tidak tahu, Pendekar Rajawali Sakti lebih mementingkan keperluan orang banyak. Pendekar muda digdaya itu tidak sombong. Hanya masih banyak tugas-tugas kemanusiaan yang membutuhkan uluran tangannya.

***

TAMAT

87. Pendekar Rajawali Sakti : Pusaka Goa NagaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang