Lips

5.9K 412 19
                                    

"Bibirmu indah."

"Huh?"

Hari itu pandangannya terkunci pada dua daging berwarna merah muda yang sangat lembab dengan warna yang sangat segar. Pandangannya sangat fokus seperti itu adalah pemandangan terindah yang membuatnya terpukau bukan main. Mereka tidak hanya berdua disini, tapi sangat banyak orang yang ada disini, tak sedikit pula orang-orang yang mendengar kalimatnya.

Tapi mereka tidak keheranan. Mereka malah tertawa dan membalas ucapan lelaki muda itu dengan tepuk tangan dan tawa gemas.

"Tuan Wang! Lihat putra tunggalmu ini! Dia sangat seperti dirimu!"

Tentu saja tak hanya 1 atau 2, berbagai macam kalimat pujian yang dilontarkan untuk pria mungil itu. Dia sangat hebat, dia sangat jeli, dia sangat teliti, dia sangat posesif, dia berjiwa emas, dia berotak bisnis, dia sangat berseni.

Padahal itu hanya kalimat sederhana yang diucapkan oleh seorang pria muda yang kebetulan lahir sebagai seorang anak tunggal dari sepasang konglomerat di negara ini. Dia hanya beruntung. Tapi bukannya keterlaluan kalau dia memuji 'bibir' orang lain sebagai calon penguasa ekonomi dunia?

"Kalian terlalu memuji, dia hanya berbicara sederhana saja. Tuan Liu, lihat anak lelakimu ini, dia bahkan menjuarai lomba piano se nasional tingkat SMP bukan?" Pria yang menjadi besar kepala tetapi sikapnya harus sok rendah itu hanya tertawa renyah sembari melempar balik pujian itu.

Tapi Tuan Liu hanya menggelengkan kepalanya, "A-Liu masih kecil, dia belum sehebat anakmu yang mewarisi gen dan darah milik Tuan Wang yang menguasai perekonomian dunia!"

Lelaki dengan blazer abu-abu gelapnya hanya diam saja. Tadinya ia sangat bersemangat saat melihat wajah mempesona di depannya. Insan mungil dengan blazer putih tebal tanpa dalaman kemeja itu, mengekspos leher pendeknya dan membuat pandangannya lari ke bibir segar itu. Ia sudah melihat lelaki ini dari jauh, tapi demi apapun dia mau pulang saja karena percakapan orang dewasa diatasnya ini membuat pendengarannya menurun.

"Aku mau keluar sebentar." Ujarnya sambil membungkuk kecil kepada kedua orang tuanya, dan sebelum ia berbalik badan ia menggerlingkan pandangannya kearah insan di depannya.

Dan insan itu juga sedikit tersentak sadar.

Ia melangkahkan kakinya menjauhi kerumunan orang-orang. Sepatu mengkilatnya membuat banyak orang secara otomatis menggeser tubuh mereka hanya dengan suara ketukan sepatu kaki itu. Tidak ada yang fokus lagi dengan acara mereka, bahkan sampai insan itu sampai mengilang dari ruangan itu, semuanya baru kembali riuh rendah.

"Kecoa."

Pandangannya sedikit menyendu saat pemandangan indah nan luas menghantam inderanya.

Sebuah taman seluas 2 hektar terpampang luas disana. Cahaya rembulan yang lembut menyinari semua objek yang ada di bawahnya. Bagaikan lukisan itu membuat tubuhnya bergerak mendekati pagar selasar dan bersandar disana. Nafasnya yang tertekan hebat tadi sekarang bisa terhembuskan dengan teratur lagi.

Dia benci dengan acara seperti itu. Receh baginya.

Tapi dia juga perlu ke tempat seperti ini. Kalau tidak, bagaimana dia bisa menjadi penerus bisnis ayahnya? Di umurnya yang sudah 15 dan kata sang Ibu dia akan diberhentikan sekolah saat umurnya 16 nanti, dan akan dilanjutkan dengan sekolah+bisnis.

Chain - YiZhan - [Bahasa Indonesia]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang