♜06♜

139 27 21
                                    

Dalam gertak sembilu, terdengar jeritan pilu. Riangmu terkurung dalam batu, yang ditumpahi darah baru.

♚♚♚

Hujan deras.

Sejak dari aku memperhatikan keluar jendela, menatap rinai air yang berjatuhan dari muka langit. Ada dorongan kuat untuk berlari keluar, tertawa di bawah derasnya hujan.

Tetapi, wajah khawatir Ibu membayangi pikiranku, membuatku mengurungkan niat untuk pergi hujan-hujanan.

Ah, aku bahkan sudah lupa kapan terakhir kali aku hujan-hujanan.
Percuma saja rasanya menanti hujan begitu lama, ujungnya aku tidak berbuat apa-apa. Kalau hanya menatap derasnya air yang bergulir, kenangan masa lalu bisa-bisa ikut-ikutan meluncur deras.

Mengingat kenangan membahagiakan tidak selalu menyenangkan. Terkadang, itu membuatku sakit hati. Aku … aku jadi rindu merasa bahagia.

Aku mendesah pelan, bosan. Aku mengalihkan pandangan pada kasurku. Jika berlama-lama menatap hujan, rasa rindu akan masa kecil makin menggebu.

Tidak, aku tidak mau jatuh lagi.

Aku menggeleng sambil menggigit bibir, mencoba mengeyahkan pikiran yang membuat hatiku semakit pahit.
Aku akhirnya memilih untuk kembali ke kasur dan bergelung dalam selimut tebalku yang lusuh.

Mendadak, sepotong ingatan meluncur bebas di kepalaku. Itu tentang beberapa hari kemarin, tentang pembicaraanku dengan Bagas, dan juga ... tentang Elma.

♚♚♚

[Flashback]

"Gas!"

Pulang sekolah, aku mencegat Bagas. Aku sudah tidak tahan lagi. Rasa penasaran itu seperti menggerogoti kepalaku. Terlebih setelah percakapan kami dengan Ghea.

Apa-apaan itu?

Bagas menatapku sedikit tidak rela, ia paham maksudku mencegatnya. Ia tampak gusar, tapi akhirnya mau membuka suara.

"Sebenarnya, Elma sudah meninggalkan Pontianak dua tahun lalu."

Aku menatap Bagas tidak percaya.

"Apa maksudmu?" cicitku.

Bagas mendesah pelan. Sepertinya dia sudah menduga keterkejutanku. Dengan sedikit tidak enak hati, Bagas mulai menjelaskan.

"Sepupunya sakit parah, jadi Elma bersama orang tuanya pindah. Mereka memilih untuk menemani bibi Elma untuk menjaga anaknya.

"Paman Elma sudah meninggal, jadi ibu Elma tidak tega melihat kakaknya menjaga anaknya sendirian."

Aku melongo. Hatiku rasanya sakit. Apa itu berarti aku tidak akan bertemu Elma?

Bagas kembali menatapku dengan sorot wajah yang lebih baik dari sebelumnya. Seakan mengerti arti tatapanku, Bagas kembali bicara.

"Jangan khawatir, Ra. Sebenarnya, ke kota Bandung ini lah Elma pindah. Kita akan menemuinya pekan ini. Aku sudah membuat janji dengannya."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 09, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Berjuanglah, Arvia!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang