Tersenyumlah sebentar. Kalau sukar, hatimu harus dipugar.
♚♚♚
"Bagassss! Yang bener bawa sepedanya!"
Aku kembali menjerit tertahan. Bagas memang berniat mencelakakanku sepertinya. Sejak tadi dia tidak membawa sepeda dengan benar, oleng beberapa kali.
"Berat, Ra!" keluh Bagas.
"Berhenti! Aku turun saja kalau begini," kataku.
Besok-besok aku tidak mau dibonceng Bagas lagi.
"Duh, Ra. Jangan turun dong!" kata Bagas.
Aku menatapnya malas.
"Katanya berat," balasku.
"Tapi 'kan jangan turun juga."
Aku menghiraukan Bagas dan memilih berjalan saja. Bagas akhirnya mengalah dan mengekoriku di belakang bersama sepedanya.
"Nanti kamu pegel lho, Ra!" tegur Bagas.
"Bodo amat! Sudah dekat ini," jawabku.
"Duh, kamu aja deh yang naik sepeda. Aku yang jalan," bujuk Bagas.
"Berisik, Gas!"
Akhirnya mulut Bagas berhenti bercicit. Baguslah, aku juga sudah enggan berdebat. Dua menit kemudian, kami sampai.
"Parkir saja sepedamu di bawah pohon itu, Gas."
"Oke, Ra!" jawabnya.
Aku tersenyum. Bagas masih sama seperti dulu, sebelum aku pindah. Dia memang kekanakan. Tapi sikapnya kembali membuatku merasa hangat.
Sekali-kali bahagia tidak salah, 'kan?
"Oi, Ra! Ayo masuk. Haus nih," seru Bagas.
Aku tersentak. Uh, barusan aku melamun?
"E-eh iya, yuk masuk!" jawabku.
Aku mencoba membuka pintu. Terkunci. Ah, ibu belum pulang rupanya. Aku mengambil kunci dalam tas lalu membuka pintu. Bagas kusuruh masuk dan duduk, lalu aku pergi mengambil minum ke dapur.
"Ibu mu belum pulang, Ra?" tanya Bagas.
Aku menggeleng lalu menjawab, "Kalau sekarang belum pulang, berarti ibu pulang kisaran jam 7. Masih lama."
"Lho, kamu di rumah sendirian dong?"
Aku mengangguk.
"Padahal aku mau ngobrol sama ibu-mu, sudah lama tak ketemu."
"Maaf ya, karena aku."
"Kok karena kamu?" ujar Bagas heran.
"Biaya tranfusi darah mahal, makanya ibu kerja keras buat cari uang. Kan sama saja salahku," jawabku pelan.
Wajah Bagas melunak.
"Ra, jangan begitu. Kamu ga salah kok, jangan menyalahkan diri kamu. Ibu sayang kamu, makanya mau kerja keras."
Aku tersenyum tipis menanggapinya.
"Kalau ayahmu kemana, Ra?"
Tubuhku menegang seketika. Aku diam, tidak mau menjawab.
KAMU SEDANG MEMBACA
Berjuanglah, Arvia!
BeletrieArvia lelah dengan hidupnya. Seringkali, gadis itu merasa ingin menyerah. Bahkan, rasa ingin melakukan percobaan bunuh diri sempat terbesit di pikirannya. Segumpal sesak sering berkumpul di rongga dada, meremas erat jantung Arvia, dan membuatnya ing...