♜01♜

267 55 84
                                    

Tidak ada salahnya berharap, tapi kadang ada benarnya juga berhenti mendekap.

♚♚♚

"Via, ayo kita makan dulu."

Aku tidak menjawab ajakan Ibu. Entahlah, aku hanya merasa tidak ingin makan. Kurasa air mata sudah cukup untuk membuat kenyang.

"Via, ayo makan dulu. Dari tadi pagi kamu belum makan, nanti sakit, lho."

Aku diam saja. Kenangan tentang Ayah menggebrak keluar dari kotak memori, berputar-putar layaknya kaset rusak.

Dadaku sesak. Aku rindu ayah.

"Via ...," panggil ibu.

"Vi-via kangen ayah, Bu." Aku berbisik dengan suara parau.

"Sayang, sudah hampir dua bulan kamu begini. Nanti kamu tambah sakit bagaimana? Besok kamu harus transfusi darah, tidak boleh sampai sakit."

Aku tidak berniat membalas perkataan ibu, hanya diam meringkuk di atas kasur reyotku. Transfusi darah? Untuk apa? Aku mau mati saja, menyusul ayah.

"Via, kamu masih ingat pesan Ayah?"

Aku menggumam pelan sambil sesenggukan. Dadaku sakit, seperti ada pedang tak kasat mata yang menikamnya, mencipta rongga luka yang cukup dalam.

"Via, Ayah kan sudah pernah bilang kalau setiap manusia itu punya batas akhirnya di dunia. Nanti mereka akan pergi meninggalkan dunia. Ayah juga begitu, sayang. Tidak bisa hidup abadi."

"Ta-tapi Via ka-kangen ayah. Via ma-mau nyusul ayah saja!" bisikku.

Ibu menatapku sedih.

"Kalau Via nyusul Ayah, Ibu sama siapa nanti? Via tega ninggalin Ibu?"

"Kalau gitu kasih tau Via, Bu! Kenapa? Kenapa Via sama Ayah sakit?" seruku pelan.

Ibu diam, tidak bisa menjawab.

Air mataku semakin tumpah. Sakit, sakit sekali. Kenapa?! Aku juga ingin hidup seperti anak-anak lain. Tidak bisakah?

"Tuhan udah ngasihnya begitu, syukuri saja ya? Via kan masih punya Ibu. Jadi jangan sedih, ya? Yuk, sekarang makan," jawab ibu akhirnya.

Aku diam. Bersyukur?

"Ibu suapin, mau?"

♚♚♚

"Via sudah siap? Kalau sudah, ayo kita berangkat."

Aku hanya bergumam pelan.

"Ayo sayang, kapan kamu akan sembuh kalau begini terus?"

Ibu bohong. Thalasemia tidak bisa sembuh. Meskipun transfusi darah tiap bulan, tetap saja akhirnya aku yang akan mati. Seperti ayah. Persis seperti ayah.

"Memangnya Ibu sudah punya uangnya?" tanyaku pelan.

Ibu tersenyum lembut lalu menjawab, "Jangan pikirkan itu, sayang. Ayo kita pergi."

Berjuanglah, Arvia!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang