♜02♜

141 31 10
                                    

Patah hati, salah satu pemicu hancurnya bungkusan memori

♚♚♚

Aku membuang napas dengan kasar. Gerbang sekolah menjulang didepanku, tapi kakiku enggan melangkah masuk. Padahal, sebentar lagi bel masuk berbunyi.

"Neng, tidak masuk?"

Aku tersentak lalu tersenyum sekilas pada satpam sekolah yang barusan menegurku.

"Mau upacara, Neng. Ayo masuk. Gerbangnya mau ditutup."

Aku mengangguk lalu berjalan memasuki gerbang.

Hari baru dimulai.

Setelah sekian lama libur, akhirnya aku kembali ke sekolah. Gugup rasanya ketika kembali bertemu teman-teman, guru, pelajaran, ulangan, dan sebagainya.

Aku buru-buru melangkah ke kelas, takut terlambat. Aku tiba di kelas tepat saat bel berbunyi.

"Perhatian! Siswa-siswi SMP Tunas Bhakti silakan berbaris di lapangan. Upacara akan segera dimulai."

Aku sedikit melempar tasku ke bangkuku, lalu pergi menuju lapangan sambil membawa topi.

Di lapangan para murid sudah berkumpul. Aku mempercepat langkahku lalu mataku sibuk mencari barisan kelasku.

"Duh, 9A baris dimana ya?" gumamku.

"Arvia, sini!"

Aku menoleh, mencari suara yang barusan menyerukan namaku pelan.

Tak jauh dari tempat aku berdiri, ada Ghea yang melambaikan tangannya. Aku berlari pelan menghampiri Ghea lalu berbaris di dekatnya.

"Kamu telat ya?"

Aku hanya nyengir tipis, menanggapi tebakan Ghea. Tepat sekali, batinku.

Upacara berjalan dengan khidmat, tapi sialnya sinar matahari terik sekali. Aku selalu mencoba menahan diri agar tidak jatuh sampai upacara selesai, tapi sialnya tidak pernah berhasil.

"Selamat pagi semuanya!"

"Selamat pagi, Pak!"

"Sekali lagi, SELAMAT PAGI SEMUANYA!"

"SELAMAT PAGI, PAK!"

"Nyiksa." Ghea mencibir di sebelahku. Aku tertawa pelan.

"Baiklah, tema upacara kita hari ini adalah---"

Perkataan Pak Tomo selanjutnya tidak kudengar. Kepalaku mendadak pening dan pandanganku mulai buram.

Kumohon, jangan sekarang!

Aku mencoba menahan, tapi rasa pusing itu makin menjadi-jadi.

"Via? Kamu kenapa?"

"A-aku---"

Tenggorokanku tersekat, aku gagal menjawab pertanyaan Ghea. Tolong! Ini sakit sekali.

Lalu, yang tersisa hanyalah gelap.

♚♚♚

Aku mengerjapkan mataku pelan. Tenggorokanku rasanya kering.

Ah, lagi-lagi. Pasti aku pingsan, seperti biasanya.

Aku mencoba mendudukkan badanku perlahan, tapi tiba-tiba pusing kembali menghantam kepalaku.

Berjuanglah, Arvia!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang