Chapter 3: Haiva

21 10 0
                                    

Haiva adalah istriku. Ia perempuan bermata teduh. Tatapannya selalu menyejukkan. Senyumnya menenangkan. Sentuhannya menimbulkan kesan. Ia jarang mengucapkan sesuatu yang tidak penting. Tapi bukan berarti ia tidak bisa romantis. Ia pandai membuat hatiku berbunga-bunga hanya dengan kalimat sederhana. Pilihan katanya biasa, namun menyentuh dan tepat sasaran, seperti malam ini ketika aku pulang lebih awal dari malam-malam sebelumnya.

Kudapati Elfish --anak semata wayang kami—masih terjaga di kamarnya. Alih-alih tidur, ia sedang melukis dinding menggunakan tinta. Entah sejak kapan ia melakukannya, yang pasti dua sisi dinding telah berubah menjadi kanvas raksasa.

Kebanyakan ibu-ibu akan melarang anaknya mengotori rumah, tapi tidak dengan Haiva. Ia tersenyum bangga, alih-alih menjelaskan kepadaku apa yang sebenarnya terjadi. Aku paham, ia sedang membiarkan Elfish menuangkan imajinasi. Ia tidak ingin mematikan kreativitas buah hati kami meskipun ia tahu harga satu botol tinta setara dengan beras setengah karung.

“Lihatlah, Hanz! Elfish kreatif seperti ayahnya!” Haiva mengucapkannya dengan datar, tak ada mimik merayu, serius, dan seolah itu kalimat biasa.

Aku gagal menahan tersipu. Sungguh memalukan untuk seorang prajurit berpangkat perwira sepertiku. Tidak mengapa. Aku tidak perlu malu kepada istri sendiri, karena ia tampak bahagia bisa membuatku tersipu.

“Lihat, Ayah!” Elfish berteriak, merentangkan kedua tangan yang penuh noda hitam. Senyum kebanggaan sedang ia pamerkan.

Aku mengambil obor, mendekatkannya ke dinding. Dinding sebelah kanan tak ubah kanvas raksasa, melukiskan pemandangan gunung. Dinding sebelah kiri lebih kecil objek lukisnya. Sebuah benda berbentuk mirip tubuh perempuan dengan leher panjang, kepala kecil, dan pinggul seksi, tanpa kaki. Mirip dengan.....

Haiva tersenyum penuh arti. Sepertinya ia menangkap kebingunganku.

“Bagaimana bisa Elfish melukis biola?” Mendadak lututku lemas.

Haiva merengkuh bahuku. Ia membimbingku jauh-jauh dari kamar Elfish. Sepertinya ia ingin menjelaskan sesuatu.

“Kau bisa menjelaskannya?” desakku. Segala sesuatu tentang biola adalah musuh Negara. Jangankan melukisnya, mengucapkannya saja bisa dipenjarakan.

Seulas senyum mengembang dari bibir Haiva. Itu sedikit mengurangi perasaan khawatirku. Setidaknya aku yakin istriku menganggap ini bukan masalah. Atau setidaknya ia sedang ingin meyakinkanku semua akan baik-baik saja.

“Tanpa sengaja Elfish menemukan bendera klan Violin. Ia menyukai lambangnya. Tentu saja aku memintanya dan memberi pengertian kepadanya bahwa bendera itu dicari negara. Ia menyerahkannya. Setelahnya aku bakar.”

“Tapi ia bisa melukiskannya kembali dengan akurat. Ia anak berumur sembilan tahun, Haiva!”

“Hanz, yakinkan dirimu semua masih aman dan terkendali. Jangan sandarkan kekhawatiranmu kepada anak yang menuruni kecerdasan ayahnya.”

Kalimat Haiva sedikit menenangkanku. Ia berhasil meyakinkanku. Ia telah mengubah kekhawatiranku menjadi sedikit berbunga-bunga.

“Kau ingin aku membantumu mengganti baju dulu atau langsung menemanimu makan malam?” Jari-jari Haiva merambat lembut pada kerah jubahku.

“Aku sudah makan. Aku belum lelah. Aku ingin kau menemahiku di kamar.” Aku membimbing Haiva ke kamar.

Di dalam kamar, aku langsung mematikan obor. Kami duduk bersebelahan di atas dipan. Ada rahasia yang ingin aku bicarakan kepada Haiva. Tak boleh ada orang lain yang mendengarnya. Tak ada orang yang boleh melihat kami berbincang topik yang berbahaya. Sebagai seorang prajurit, aku terlatih untuk siaga.

“Haiva,” panggilku lirih.

Haiva merespon dengan melingkarkan sepasang lengan ke leherku.

“Aku tidak pernah peduli dengan masa lalumu dan asal usul keluargamu. Aku mengenalmu sebagai seorang Haiva yang sekarang. Kau tahu itu. Kau percaya, aku sangat menyayangimu dan tidak akan pernah percaya ucapan orang lain tentangmu. Maka aku ingin mendengar dari mulutmu sendiri tentang sesuatu yang selama ini membuatku penasaran.”

“Aku tak pernah berahasia denganmu, Hanz. Kau tahu aku anak seorang pemberontak. Kau juga tahu, cintaku padamu terlepas dari politik dan kenegaraan. Jadi, hal apa pada diriku yang masih ingin kau ketahui?”

Ucapan Haiva selalu tenang dan bertenaga. Kegugupanku sedikit berkurang.

“Tanyakanlah, Hanz. Jangan sampai rasa penasaran membuatmu tidak nyenyak malam ini.”

“Kau pernah melihat biola?”

Hening. Hanya terdengar desah napasku yang sedikit terengah akibat belum sepenuhnya terlepas dari kekhawatiran. Sementara, aku tak bisa melihat dengan jelas mimiknya. Sebenarnya memang tak perlu membaca perubahan wajahnya. Aku percaya, ia tak akan pernah berbohong kepadaku.

“Hanz, sebelumnya aku minta maaf jika selama ini tidak menceritakannya kepadamu. Kau terlalu takut dengan segala sesuatu tentang biola. Aku tak menyalahkanmu. Kau seorang prajurit. Kau terbiasa untuk mencium bahaya. Sehingga aku tak ingin membuatmu cemas.”

Aku menahan diri untuk bicara. Aku akan mendengarkan ucapan Haiva sampai selesai.

“Sekarang siapkan hatimu. Berjanjilah kau akan sanggup mendengarnya. Berjanjilah kau tidak akan menyimpan kekhawatiran berlebihan.”

“Aku berjanji!”

“Tidak ada satu pun anggota klan Violin yang pernah melihat biola, termasuk ayah dan ibuku. Mereka menganggap biola sebagai simbol keagungan. Bahkan mereka percaya biola adalah jelmaan leluhur yang disucikan. Sehingga, menyentuhnya dengan tangan telanjang adalah perbuatan dosa.”

Tiba-tiba telingaku terasa hangat oleh desah napas Haiva. Ia sedang menempelkan bibir ke telingaku.

“Aku pernah memainkan biola,” bisik Haiva.

Seketika dadaku berdebar-debar. Tanganku bergetar dan lututku terasa lemas. Pengakuan Haiva sangat mengejutkan. Tidak bisa aku pungkiri, sekarang rasa cemas sedang menguasai hatiku.

“Sekarang kau tahu kenapa aku tidak menceritakannya.” Haiva mempererat rengkuhannya. “Aku tak ingin kau cemas, Hanz!”

Dalam benakku terbayang bagaimana ngerinya jika ada yang tahu Haiva pernah memainkan biola. Negara akan memenjarakannya dengan tuduhan memberontak. Sementara bagi klan Violin, ia dianggap berdosa dan harus dihukum. Sungguh ngeri aku membayangkannya.

Sejak Hindische yang didukung klan Violin gagal menyerang Javadip, semua pengikutnya yang berada di negara ini diburu hidup atau mati. Bahkan segala sesuatu yang berhubungan dengan lambang bendera klan tersebut dianggap musuh.

Javadip adalah negara paling maju. Penduduknya terpelajar. Seni berkembang dengan pesat. Musik menjadi hiburan paling menakjubkan. Beberapa alat musik kuno diburu kolektor. Aku yang hanya seorang prajurit hanya tahu beberapa namanya saja, seperti gamelan, seruling, tamborin, harpa, gitar, dan biola. Untuk nama terakhir sudah pasti tidak akan mudah ditemukan di negara ini.

Meskipun tidak begitu paham tentang seni, tetapi aku kagum dengan alat musik zaman kuno yang lebih bervariasi dan menakjubkan. Berbeda dengan zaman sekarang yang hanya menggunakan seruling bambu, perkusi sederhana, dan beberapa alat musik pukul dari logam.

“Kau sudah berjanji, Hanz! Jadi, buanglah secara perlahan kecemasanmu. Kami akan baik-baik saja.” Kurasakan rambutku dielus-elus. Tiba-tiba, Haiva mengecup pipiku. “Izinkan aku mengurangi perasaan tidak nyaman dalam hatimu. Maukah anganmu kubuat melayang-layang sebelum tidur?”

Aku tersenyum, meskipun tahu Haiva tidak bisa melihatnya. Ia sedang sibuk melepas kancing jubahku satu persatu.

Biola Kristal [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang