Chapter 10: Biola Buatan Tahun 2038

18 9 0
                                    

Wajah Tuan Loyo mendadak redup setelah kuutarakan niat Haiva untuk mengikuti sayembara. Kurasakan tubuhku seperti sedang tidak menapak tanah melihat perubahan mimiknya. Harumnya ruangan membuat dadaku sesak, alih-alih merasa nyaman. Bunga-bunga teratai yang tergantung di dinding tidak lagi indah. Dunia seperti berhenti. Hanya jantungku saja yang berdetak kencang, lainnya serasa mati.

Belum pernah sebelumnya aku merasa setakut ini. Lututku lemas. Badanku gemetar. Lidahku tercekat. Tenggorokanku kering. Pandanganku menjadi nanar, membayangkan hal-hal buruk yang bisa saja akan menimpa keluarga kami.

Perubahan mimik Tuan Loyo pasti memiliki sebab. Apakah ia mencurigaiku? Apakah ia akan melakukan investigasi seperti yang dilakukannya terhadap Sanjayit? Apakah aku akan mendapat hukuman? Pertanyaan-pertanyaan itu terngiang-ngiang di benakku.

Prok! Prok! Prok! Tiba-tiba Tuan Loyo tertawa sambil bertepuk tangan. Ia memandangku aneh. Aku menjadi bingung dengan sikapnya yang misteri. Semoga saja ketakutanku tidak terjadi.

“Dua kali kau mengejutkanku, Hanz!” Suara Tuan Loyo lantang, menggema ke seluruh ruangan. Tepukan tangannya berhenti. “Pertama, dulu kau menikahi keturunan pemberontak! Kedua, kau mengabarkan kalau istrimu akan mengikuti sayembara.”

Meskipun masih belum mengerti ke mana arah pembicaraan Tuan Loyo, tapi aku mencoba tenang dan memasang senyum.

“Kau tahu kenapa aku terkejut?” Tuan Loyo mencondongkan kepala ke arahku.

“Tidak, Perdana Menteri!” Lututku semakin lemas.

“Kau adalah perwira paling kupercaya. Dedikasimu luar biasa untuk Javadip. Puluhan pemberontak berhasil kau tawan. Kau selalu waspada terhadap segala sesuatu yang berhubungan dengan klan Violin. Dan tiba-tiba kau menjatuhkan hati kepada gadis yang lahir di antara panah dan pedang. Hahahaha!”

Aku menarik napas dalam-dalam, menunggu kelanjutan ucapan Tuan Loyo sambil berharap semua akan baik-baik saja.

“Sekarang tiba-tiba kau mengatakan kalau istrimu bisa memainkan biola. Bagaimana bisa seorang perempuan klan Violin berani menyentuh benda yang mereka anggap suci. Bagaimana caranya istrimu belajar memainkannya, sementara jangankan memainkannya, menyentuhnya saja dianggap berdosa! Hahahaha!”

Tuan Loyo tidak tahu soal gadis suci pada klan Violin. Jangankan ia, aku saja yang sering menyusup ke wilayah Hindische baru tahu. Jika terpaksa, aku akan menceritakannya agar ia tak salah paham.

“Jangan bilang kalau istrimu seorang pengkhianat klan Violin!” Tuan Loyo masih tertawa ngakak.

Saat ia sedang menikmati tawa, aku menggunakan kesempatan ini untuk menyela. “Mohon maaf menyela, Perdana Menteri.”

“Silakan, Perwira!” Tawa Tuan Loyo semakin berkurang.

“Aku serahkan jiwa raga untuk Javadip. Tak sekalipun aku mengkhianati negara. Istriku pemberontak, Tuan tidak mempermasalahkannya, bahkan merestui kala itu. Namun jujur, aku takut keikutsertaan istriku pada sayembara ini akan dianggap bentuk kekurangajaran kepada negara.”

“Hahahaha!” Tuan Loyo tertawa ngakak, lebih kencang dari sebelumnya.

Aku bergeming, tidak mengerti dengan sikap Tuan Loyo. Entah apa arti tawanya.

Setelah berhasil meredam tawa, Tuan Loyo memandangku lekat-lekat. Ekspresinya serius. “Justru ini kabar bagus buat Javadip, Perwira!”

Semua beban yang menyesakkan dada seketika lenyap. Lega rasanya hatiku. Namun aku masih merasa belum tenang sebelum percakapan ini berakhir.

Tuan Loyo adalah orang yang unik. Ia bisa menurunkan jabatan bawahannya sambil tertawa. Ia bisa marah sambil menangis. Anehnya lagi, ia bisa menangis dan tertawa secara bersamaan. Ia misterius, sulit ditebak.

“Klan Violin akan terpukul jika tahu pemain biola Javadip adalah perempuan dari kaumnya. Ini sesuatu yang luar biasa. Kemenangan negara berawal dari keluargamu. Hebat!” Tuan Loyo kembali bertepuk tangan.

Aku membungkuk hormat. “Terima kasih, Perdana Menteri. Mohon maaf, apakah Tuan merestui istriku untuk mengikuti sayembara ini?”

“Tentu saja!” jawab Tuan Loyo mantap. “Kau akan kunaikkan pangkat jika istrimu dinyatakan kompeten untuk menjadi pemain biola istana. Raja pasti akan memberimu banyak hadiah. Sekarang saja, aku sedang memikirkan akan menempatkanmu sebagai menteri apa.”

Anganku melambung tinggi. Perasaanku campur aduk antara senang dan cemas. Sulit kuuangkapkan bagaimana bahagianya hatiku saat ini.

“Jangan menunggu besok!” Tuan Loyo mendadak tegas. “Kereta kuda akan disiapkan untuk menjemput keluargamu sekarang.”

Bergetar tubuhku mendengar ucapan Tuan Loyo. Kalimatnya adalah perintah. Aku tak bisa membantah. Masalahnya, Haiva akan terkejut mendapat jemputan secara mendadak. Aku sendiri khawatir para penjemput itu akan mendapati lukisan biola di dinding kamar Elfish. Sungguh aku sedang mencium bahaya.

“Kau keberatan, Perwira?”

“Tidak, Perdana Menteri!” jawabku tegas, membohongi diri sendiri.

“Bagus! Aku akan perintahkan pasukan pengaman Raja untuk menjemput istrimu!” Selepas bicara, Tuan Loyo memberi isyarat kepada ajudannya untuk mendekat. Ia membisikkan sesuatu kepada sang ajudan.

Posisiku terjepit. Namun, aku masih akan melakukan berbagai cara untuk mengurangi resiko buruk terhadap keluargaku.

Ajudan pergi meninggalkan ruangan setelah Tuan Loyo selesai berbisik kepadanya.

“Maaf, Perdana Menteri! Jika diperkenankan, aku ingin mendampingi para prajurit yang akan menjemput keluargaku.”

“Kau tak usah khawatirkan keluargamu!” Tuan Loyo memotong tegas. “Mereka pasukan pengaman Raja. Mereka akan pertaruhkan nyawa selayak melindungi Raja!”

Aku menelan ludah. Tak ada lagi yang bisa kulakukan selain pasrah. “Terima kasih, Perdana Menteri!”
***

Tuan Loyo mengajakku ke sebuah ruangan khusus. Ruangan tersebut biasa digunakan untuk menyimpan dokumen dan benda-benda Negara. Hanya Raja dan Perdana Menteri saja yang boleh memasukinya. Sampai di depan pintu, aku berhenti.

“Kenapa berhenti, Perwira?” Tuan Loyo bertanya.

“Aku hanya perwira, Perdana Menteri,” ujarku.

“Kau bersamaku!” hardik Tuan Loyo, meyakinkanku. Ia memberi isyarat padaku untuk mengekornya, memasuki ruangan.

Aku mengekor Tuan Loyo dengan perasaan senang luar biasa. Perasaan ini cukup mengurangi kecemasan. Penjaga membuka pintu. Terkuaklah sebuah ruangan mewah yang sangat harum.

Aku takjub kepada ruangan luas yang berisi benda-benda seni bercita rasa tinggi. Beberapa benda antik zaman kuno tertata rapi, memanjang di sebelah kanan ruangan. Di sisi sebelah kiri terdapat beberapa rak yang kutebak sebagai penyimpanan dokumen rahasia.

Tuan Loyo langsung menuju pojok kanan. Pelan-pelan ia meraih sebuah alat musik yang kuyakin sebuah biola.

Mataku tak berkedip memandang biola di tangan Tuan Loyo yang seumur-umur baru kulihat bentuknya secara langsung. Selama ini aku hanya bisa melihatnya dari buku-buku dan atribut yang pernah kusita dari pemberontak klan Violin.

“Kau tahu apa ini?” Tuan Loyo mengangkat biola, menunjukkannya kepadaku.

“Itu biola,” ucapku ragu.

“Tentu saja kau tahu. Bertahun-tahun lalu kau menyusup ke Hindische. Tapi aku yakin kau baru melihatnya sekarang. Benar?”

“Benar, Perdana Menteri!”

Perdana Menteri mendekatiku sambil membawa biola. “Ini biola buatan tahun 2038, sebelum perang nuklir terjadi.” Ia menyerahkan biola kepadaku.

Tanganku bergetar menyentuh biola. Alat musik ini pasti mahal. Bentuknya masih bagus. Dawai-dawainya terpasang dengan baik. Hanya warnanya saja yang tampak kusam.

“Peganglah, jangan hanya menyentuh!”

Aku menuruti perintah Tuan Loyo. Kupegang biola dengan tangan gemetar. Mataku sulit berkedip melihat keindahannya. Reflek jari-jariku mengelus kayunya yang halus.

“Istrimu akan memainkannya!”

Aku menahan napas. Dadaku terasa sesak.

Biola Kristal [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang