Kurapatkan jubah, mengurangi hawa dingin yang menusuk. Pagi-pagi sekali aku sudah dijemput satu kompi pasukan untuk berkumpul di istana. Pasti ada sesuatu yang sangat penting dan mendesak sampai-sampai aku tidak diperkenankan untuk mandi.
Sampai di ruang rapat, aku mendapati beberapa pejabat tinggi sudah duduk pada kursi masing-masing. Tampaknya, aku orang terakhir yang datang.
“Selamat malam, Tuan-tuan!” sapaku kepada mereka.
“Selamat pagi, Hanz!” jawab Sukwan sambil terkekeh. “Tampaknya, kau masih belum lepas dari pelukan istri. Hahaha!”
Semua yang berada di ruangan tertawa, kecuali aku. Aku tidak suka mereka menyinggung istriku. Mereka tahu, Haiva adalah keturunan pengikut klan Violin. Meskipun negara tidak melarang kami menikahi keturunan para pemberontak, tetapi aku merasa tidak nyaman.
“Santailah, Hanz!” Sukwan menyiapkan kursi untukku. “Kau tahu aku tidak pernah serius kecuali ketika sedang berperang.”
Sukwan adalah panglima perang. Pangkatnya satu level di bawah Panglima Prajurit. Sudah selayaknya aku memberi hormat kepadanya, namun ia tidak pernah mau tampak formal pada setiap kali pertemuan. Siapa saja yang belum mengenalnya, akan mengira ia pejabat rendahan. Siapa pun yang belum melihat sepak terjangnya, tidak akan percaya bahwa seperempat wilayah baru Javadip berkat kehebatannya memimpin penaklukan. Di samping karena penampilannya sederhana, juga karena ia tak pernah serius.
Aku mengangguk kepada Sukwan. “Terima kasih, Panglima!”
Kembali, semua yang ada di ruangan tertawa. Mereka tahu aku sedang membalas candaan Sukwan. Mereka tahu panglima perang tidak suka diperlakukan secara formal. Mereka juga terbiasa memanggil panglima perang dengan menyebut nama.
“Baiklah, Tuan-tuan!” Khudri membuka suara. Ia adalah asisten pertama perdana menteri. Penampilannya berbanding terbalik dengan Sukwan. Ia orang yang kaku, jarang senyum, dan anti kelakar. “Atas nama Perdana Menteri, aku buka pertemuan ini. Tuan Loyo menyerahkan kendali pertemuan ini kepadaku.”
Beberapa orang kasak-kusuk. Wajah kesal mereka seakan ingin protes kenapa pertemuan sepenting ini dipimpin asisten perdana menteri. Mungkin mereka sama kesalnya denganku.
“Perdana Menteri sedang ada pertemuan khusus dengan Raja!” Khudri meninggikan nada bicara. “Harap maklum dan agar bisa mengikuti pertemuan ini selayak dipimpin Perdana Menteri. Ini pertemuan mendesak!”
Ruangan mendadak hening. Meskipun kecewa, kami tidak berani membantah karena walaupun jabatan Khudri tidak lebih tinggi dari kami tetapi ia sedang berbicara atas nama kepala pemerintahan. Hanya Raja yang berhak membatalkan keputusannya.
“Tuan-tuan, tadi malam Perdana Menteri mendapat laporan dari intelijen wilayah barat bahwa Javadip telah disusupi pemberontak. Mereka menyamar menjadi pedagang, rahib, penulis, pemusik, bahkan sudah menyusup ke istana!”
Pejabat yang hadir saling pandang. Aku memandang Sukwan. Orang yang kupandang hanya menunduk. Aku tahu, ia sedang menahan diri untuk tidak berkelakar.
Bagiku penjelasan Khudri sangat lucu. Isu penyusupan sudah ada selama belasan tahun. Juga laporan intelijen seharusnya masuk ke tim kami dulu sebelum sampai ke Perdana Menteri.
“Mungkin tuan-tuan berpikir penyusupan adalah isu biasa. Ini sering dibicarakan terutama dengan tim intelijen pusat. Tapi laporan dari intelijen wilayah barat adalah perkara mendesak, mengingat ini berkaitan dengan intelijen dari negara lain.” Khudri memandang satu persatu anggota pertemuan.Ketika pandangan Khudri sampai padaku, aku mengangkat tangan. “Bisa dijelaskan lebih rinci, Tuan Khudri? Kami tim intelijen pusat selalu berkoordinasi dengan tim intelijen negara sahabat. Sehingga tidak ada alasan untuk melangkahi kewenangan kami, kecuali Perdana Menteri sendiri yang menitahkan. Sampai sekarang, tim kami belum mendapatkan tembusan mengenai titah tersebut.”
“Tuan Hanz,” Khudri menegakkan badan. Pandangannya menusuk tajam. “Sudah kubilang ini persoalan mendesak. Itu dibenarkan undang-undang.”
Sukwan mengangkat tangan. “Tuan Khudri belum menjelaskan secara rinci seperti yang diminta Tuan Hanz.”
Kami tertawa mendengar Sukwan memberi penekanan kepada kata ‘tuan’ karena ia tidak terbiasa menyebut pejabat lain dengan sebutan itu, kecuali kepada Raja dan Perdana Menteri. Kami tahu, ia sedang menyinggung kekakuan Khudri.
Wajah Khudri memerah, seperti tersinggung atas ucapan Sukwan. “Tuan Sukwan, tanpa mengurangi rasa hormatku kepada pencapaian gemilangmu, aku mohon untuk bersikap layaknya negarawan. Kita sedang membahas persoalan penting!”
“Baik, Khudri,” Sukwan mengerling. “Silakan jelaskan secara rinci. Kami akan mendengarkan.”
Aku berusaha menahan tertawa. Yang lain juga tampak sepertiku.
“Intelijen wilayah barat berinisiatif untuk melaporkan langsung kepada Perdana Menteri karena mendapatkan beberapa bukti penyusupan ke dalam istana sudah sampai pejabat level 2. Apakah itu sudah cukup rinci?”
Kami saling pandang. Wajah Sukwan mendadak serius. Ia memandangku dengan sorot tak percaya. Level 2 adalah satuan pejabat satu tingkat di bawah kami. Kami yang sedang duduk dalam pertemuan ini disebut level satu. Di atasnya lagi adalah level tinggi di mana para menteri, jaksa, dan Panglima Keprajuritan berada di dalamnya. Dan level tertinggi dihuni Perdana Menteri, Panglima Hukum, dan Panglima Intelijen Negara.
“Bisa dijelaskan satuan mana saja yang sudah disusupi?” tanya Kartomo. Ia adalah pengawas pejabat level 2. Wajahnya tegang.
“Karena itulah kita duduk di sini!” ujar Khudri tegas. “Kita bicarakan bagaimana harus menyikapi permasalahan ini. Jangan sampai penyusup itu terlalu lama mengetahui seluk beluk istana.”
Kartomo menunduk lesu. Malam nanti ia akan sulit tidur nyenyak tampaknya.
***Matahari baru saja tergelincir ke arah barat. Teriknya cukup sukses membuat beberapa pedagang memindahkan dagangan ke bawah pohon-pohon, menjauh dari jalan. Mereka adalah pedagang keliling. Kebanyakan mereka menjajakan makanan ringan. Mereka berangkat pagi, pulang sebelum senja.
Siang ini terasa hampa tanpa kehadiran Viola. Ia sedang bertugas ke luar istana. Biasanya aku selalu menghabiskan waktu istirahat siang bersamanya. Kami duduk lesehan di atas akar pohon beringin yang rindang.
Di sini kami selalu memperbincangkan tentang peradaban periode milenium ketiga. Viola begitu paham dan bisa menjelaskannya secara jelas. Semakin banyak ia bercerita, semakin tidak masuk akal saja di nalarku. Bagaimana mungkin keadaan bumi waktu itu lebih indah dari gambaran nirwana yang sering kudengar dari orang-orang tua kami.
Pada zaman itu konon rumah bisa bertingkat sampai puluhan. Untuk mencapai bagian di atasnya, mereka menggunakan ruangan yang bisa naik turun sendiri, tanpa susah payah menapaki anak tangga. Yang lebih tidak masuk akal lagi adalah konon mereka bisa menaiki kendaraan yang bisa terbang seperti burung.
Semantara zaman sekarang, rumah-rumah terbuat dari tumpukan batu dengan atap terbuat dari papan dan rumbia. Kendaraan yang digunakan juga hanya kuda. Kereta kuda hanya dimiliki para pejabat tinggi.
Sebentar lagi waktu istirahat berakhir. Selepas ini aku akan ke ruangan Perdana Menteri. Barangkali ia ingin mengetahui sejauh mana hasil atas tugas yang ia berikan kepadaku.
Beberapa bulan ini, para pejabat disibukkan dengan isu penyusupan. Seperti pertemuan tadi pagi yang sudah menghasilkan perintah agar kami mewaspadai pemberontak yang kemungkinan sudah menyusup pada kementerian-kementerian. Informasi yang didapat dari intelijen wilayah barat menyebutkan ada dua penyusup, satu lelaki dan satu perempuan. Belum diketahui mereka masuk pada kementerian mana.
Para penyusup itu bisa berbahasa Inggris, sebuah bahasa yang dulu pernah dijadikan alat pergaulan dunia pada zaman kuno pada periode milenium ketiga. Kosakatanya mirip bahasa Britanica yang dipakai anggota klan Violin.
“Hormat, Perwira!” seorang prajurit membungkuk hormat kepadaku. “Tuan dipersilakan menghadap Perdana Menteri sekarang.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Biola Kristal [END]
FantasyTahun 2538 medan magnet bumi terbalik. Kutub utara bertukar tempat dengan kutub selatan, menyebabkan kekacaukan bumi secara besar-besaran. Kehidupan nyaris punah, hanya menyisakan sedikit makhluk hidup, termasuk manusia. Peradabaan mengalami kemundu...