Tuan Loyo bergerak cepat. Ide untuk memproduksi biola secara masal langsung ia ajukan ke Dewan Rakyat. Hari ini ia menyerahkan mandat kepada 3 menteri untuk memaparkan rancangan undang-undang di hadapan para wakil rakyat. Aku diminta untuk mendampinginya. Namun karena bukan pejabat yang berkepentingan, aku tidak diperkenankan mengikuti sidang pleno.
Aku menunggu di bangku kayu panjang, dekat pintu masuk. Sejak pagi hingga siang hatiku gelisah. Aku berharap Dewan Rakyat akan segera mengesahkan undang-undang seperti yang diajukan pemerintah.
Jika undang-undang tersebut disahkan, semoga pelarangan menyimpan atribut atau segala sesuatu larangan yang berkaitan dengan biola ikut dicabut. Di dinding kamar anakku ada lukisan biola. Haiva juga mengaku bisa memainkan biola. Itu membuatku diliputi kecemasan selama dua hari terakhir. Aku tak mau keluargaku terkena masalah.
Pintu terbuka. Beberapa orang keluar. Mereka staf dari beberapa kementerian. Satu di antaranya Viola. Mendadak aku bersemangat.
“Perwira!” Wajah Viola tampak kusut. Sepertinya hari ini sangat berat baginya. “Tuan di sini rupanya?”
Dalam situasi banyak orang, Viola selalu formal. Bagaimanapun juga, levelku di atasnya. Sejujurnya aku lebih suka ia memanggil dengan menyebut nama saja.
“Aku menunggu Perdana Menteri,” jawabku. “Kau punya pekerjaan lain?”
Viola menggeleng. “Pekerjaan satu minggu sudah aku selesaikan dalam setengah hari ini. Aku bebas tugas sampai sore nanti. Cuma besok akan menjadi hari yang berat. Baru saja rancangan undang-undang disahkan dewan.”
Perasaan gembira seketika menjalari hatiku. Akhirnya ide Perdana Menteri mendekati kenyataan. Aku tidak sabar untuk mengetahuinya secara rinci. Sebenarnya ingin sekali aku bertanya banyak kepada Viola, namun waktunya kurang tepat. Aku harus tetap berada di sini ketika Tuan Loyo keluar dari ruang dewan nanti.
“Baik, Perwira. Aku pulang dulu!”
“Iya.”
Viola melirikku sekilas, lantas berlalu dari hadapanku. Sikapnya sedikit berbeda dari hari-hari sebelumnya. Ia tampak kurang bersemangat. Keceriaannya berkurang. Aku tidak tahu, apakah pekerjaannya sangat berat atau ini ada hubungannya dengan jawabanku padanya tadi malam.
“Perwira!” Seorang prajurit membungkuk hormat kepadaku. “Tuan ditunggu Perdana Menteri di dalam.”
Kubetulkan posisi jubah. “Ayo jalan, Prajurit!”
Prajurit menegakkan badan, menungguku bergerak lebih dulu. Aku berjalan, memasuki ruangan dewan.
***Aku baru melihat Tuan Loyo segembira ini. Ia sedang tertawa lebar, dikelilingi para menteri. Mereka melingkari sebuah meja bundar yang di atasnya terdapat berbagai macam hidangan berkelas.
Aku membungkuk, memberi hormat kepada Tuan Loyo.
“Hanz Mahardika!” Tuan Loyo berdiri, menyambutku gembira. Tangannya terulur mengarah kepadaku. Pandangannya beredar ke arah para menteri. “Tuan-tuan, dialah yang mencetuskan ide untuk memproduksi biola secara masal!”
Satu per satu para menteri berdiri. Mereka membungkuk, membalas hormatku. Aku merasa tersanjung sekaligus canggung. Menurutku ini sesuatu yang berlebihan mengingat mereka adalah para menteri, sedangkan aku hanya perwira.
“Silakan duduk, Perwira!” perintah Tuan Loyo.
Aku mendekati meja dengan dada berdebar-debar. Kududuki kursi kosong yang kebetulan posisinya tepat berhadapan dengan Tuan Loyo.
“Tadi Dewan Rakyat dengan suara bulat telah mengesahkan undang-undang pembuatan biola secara masal, sekaligus merevisi undang-undang pelarangan menyimpan biola,” beritahu Tuan Loyo. Ia masih terus memperlihatkan kegembiraan. “Ini adalah sejarah bagi bangsa Javadip. Kelak kita akan mendapati biola dijual bebas seperti buah-buahan!”
KAMU SEDANG MEMBACA
Biola Kristal [END]
FantasyTahun 2538 medan magnet bumi terbalik. Kutub utara bertukar tempat dengan kutub selatan, menyebabkan kekacaukan bumi secara besar-besaran. Kehidupan nyaris punah, hanya menyisakan sedikit makhluk hidup, termasuk manusia. Peradabaan mengalami kemundu...