Aku melempar tasku ke tempat tidur, meraih baju dari hanger, dan segera pergi ke kamar mandi. Kejadian yang baru saja tejadi padaku benar-benar membuatku kesal. Bagaimana tidak?
Jessie, gadis itu—kami membuat janji untuk bertemu hari ini. Setelah kemarin, secara mendadak ia memberitahuku kalau temannya yang bekerja di perusahaan penerbit ingin bertemu denganku secara pribadi. Ya, Jessie memberitahu temannya kalau aku punya beberapa naskah yang menarik dan menawarkanku untuk menerbitkan naskahku itu lewat temannya. Ia meyakinkanku untuk bertemu dengan temannya hari ini, membuatku membatalkan janjiku dengan Jonah.
Malam itu, aku memaksa Jonah untuk menunda janji yang telah kami buat. Aku masih ingat suara dan desah napas kecewa yang berusaha ia tutupi ketika aku menghubunginya. Aku tidak begitu menghiraukannya kemarin malam, karena yang kupikirkan hanya bagaimana aku harus segera bertemu dengan orang dari perusahaan penerbit itu. Tetapi sekarang, aku menyesal.
Setelah berhasil mengatasi rasa gugupku sejak bangun tidur, berangkat ke tempat tujuan saat hujan, dan menunggu selama 2 jam di tempat yang Jessie minta, ia tiba-tiba saja membatalkan janji kami secara sepihak. Ia bilang, ia perlu menghadiri sesuatu yang lebih penting—daripada naskahku tentunya—dan memintaku untuk mengatur ulang pertemuan kami.
Benar-benar egois.
Aku kembali ke rumahku dengan perasaan amat kesal. Apalagi saat melihat pesan teks dari Jonah ketika sedang dalam perjalanan pulang. Jonah menanyakan bagaimana pertemuanku dengan orang dari perusahaan penerbit dan pesan teks sebelumnya yang belumku baca, padahal sudah kuterima sekitar 3 jam yang lalu. Hal ini membuatku merasa bersalah.
Aku tidak punya jawaban untuk pesan teks dari Jonah. Ditambah lagi, aku tiba di depan rumah sebelum aku sempat memikirkan jawaban untuk Jonah. Sampai di rumah, aku memilih mandi dan mengganti pakaianku. Aku tidak ingin sakit hanya karena menggunakan pakaian yang separuh basah selama 2 jam. Aku lupa membalas pesan teks dari Jonah.
Aku keluar dari kamar mandi, selesai dengan mandi air hangat dan kembali dalam pakaian tidurku. Aku tidak akan pergi kemana-mana hari ini, karena aku sendiri membatalkan janjiku dengan Jonah.
Menggelungkan badanku kembali di tempat tidur dan meraih ponselku, aku mendapati 2 panggilan tak terjawab. Tepat saat aku hendak meneleponnya kembali, ia lebih dulu meneleponku.
"Babe?" ia mengawali percakapan. "Are you okay?"
"I'm fine," jawabku. "Just, um..."
"You didn't answer my texts and my calls," ujarnya. "What's going on? "
Aku menghela napas. "Sorry, babe. Just feel kinda sucks."
"Wait a second," selanya. "You sounds disspointed or it's just me?"
Aku menghela napas, lagi. "That's what I'm gonna say, actually," kataku. "I wish I decided to hang out with you instead of going to meet Jessie. I regret it."
"That's already happened, you don't have to regret anything," suaranya sedikit menenangkanku. "I can come if you need me. Tell me where are you at?"
"I'm home."
"Hold on, i'll be there in 15."
***
Aku keluar dari kamarku saat mendengar suara bel pintu. Membukanya, dan mendapati ia berdiri di sana dengan berlatarkan suasana hujan. Aku mengucap syukur saat mendapati dirinya tidak tersentuh air hujan.
"Gosh! You look so pale," tangannya langsung meraba pipi dan dahiku. "Don't say that you walked in the rain, didn't you?"
Aku tersenyum."You better come in first," aku menariknya masuk ke dalam.
Kami menempatkan diri di sofa. "Have you eat your breakfast?"
"Um..."
"Yeah?" alisnya mulai mengerut.
Aku menggeleng pelan. "I forgot to—"
Jonah menghela napas. "Want a soup? Or maybe fried rice? Tell me what do you want for breakfast."
"Sandwich?"
"Anything for you," ia hendak meraih ponselnya.
"No, no, no," aku mengentikannya. "You don't have to, I can make it by myself. You want some?"
"No, you won't. You better tell me where the ingredients at and I'll make it for you," ia mendahuluiku berdiri. "And for me."
Aku mengikutinya ke arah dapur, tetapi ia menghentikanku lalu menyuruhku duduk di meja makan dan memintaku untuk mendiktenya dari sini. Ia beralasan aku pusing, sakit kepala, dan sebagainya. Tentu saja ia melebih-lebihkan. Aku hanya sedikit pilek gara-gara terkena hujan.
Sementara aku mendiktenya tentang letak bahan-bahan dan bagaimana cara membuat roti isi yang baik, ia menanyakan apa yang terjadi padaku. Jadi, aku menceritakan apa yang terjadi padaku dari mulai A hingga Z padanya plus bagaimana aku merasa bersalah padanya.
Aku tahu, seperti Jonah yang biasa, ia hanya mengatakan kalau yang terjadi sudah terjadi. Sekarang aku sudah bersamanya, kami tidak perlu saling mengkhawatirkan lagi. Tapi tetap saja aku merasa tidak enak padanya. Kami sudah merencanakan hari ini sejak 2 minggu lalu, dan sekarang aku merusaknya.
"Hey, that's not your fault," ujarnya. "Don't blame yourself."
"It's better be her fault," aku tertawa disusul dengan suara tawa Jonah. "But I still feel bad to you, sorry."
"Shut up or I'll eat this sandwich both," ia selesai dengan roti isinya.
Aku mengangkat kedua tanganku. "Oops, okay I'm shut up."
Setelah selesai, ia membawa kedua sandwich tersebut ke hadapanku di meja makan kemudian duduk di depanku.
"How it taste?" ia bertanya.
"Pretty good for beginner," jawabku. "Only said that because I want to get this again in the other days."
Selesai dengan sarapan di waktu hampir siang hari, aku dan Jonah kembali bersantai di sofa. Atas permintaannya, aku membawa selimutku ke sofa dan menarik benda itu hingga sebatas pinggangku sementara Jonah meyakinkanku untuk bersandar padanya.
Aku meraih remote TV dan menyalakannya, mengoper-oper channelnya untuk mencari acara musik favoritku.
"Wait, wait, wait, go back," ia membuat jariku mengoper 2 channel ke belakang. "See? My potterhead soul won't wrong."
Aku berbalik untuk menatapnya. "But Jonah, we've watched this a hundred times."
"Hundred times? What a big lie."
"I wanna watch my favorite music show," protesku. "Oh, c'mon."
Ia mengambil alih remot TVnya dariku. "No, I saw this first."
"No," aku memberikannya tatapan sengit.
Ia mengerti.
"Rock, paper, scissors!" kami sepakat.
Setelah 3 kali kami melakukan batu-kertas-gunting dan terus mendapat hasil yang seimbang, kami berhenti karena aku terbatuk saat terlalu bersemangat menyerukan 'rock, paper, scissors.' Jonah tertawa tetapi—tentu saja—ia masih sempat membawakanku air minum.
"Okay, so?" aku berkata setelah berterimakasih pada Jonah.
"We're not gonna watch TV," ujarnya. "You better get a medicine and take a nap."
"Nope."
Giliran Jonah memberikan tatapan sengitnya padaku. "No rejection. Let me cuddle you."[]
[a/n]: first one baby!! sori kalo kurang uwu, kinda stuck:(
KAMU SEDANG MEMBACA
oneshots ❈ what is like to be you ❈
ספרות חובבים↬ just author's random thoughts ↬ but hopefully can remind you of him ↬ w r i t t e n i n b a h a s a ! raaifa, a day after jack's 21st bday.