01.

84 16 6
                                    

Kebahagiaan itu muncul sangat dekat.
-

"Ajarin gue gitar dong, Lan," ujar Jelita sambil tangannya memetik asal senar gitar.

"Males."

"Lo itu ya, nggak cuma pelit duit tapi juga pelit ilmu."

Arlan menatap Jelita sekilas, lalu kembali sibuk dengan game cacing di ponsel nya yang akhir-akhir ini sedang booming. "Buat apa sih lo belajar gitar, mau ngamen?"

"Mulut nya suka nggak ada akhlak. Gue lempar gitar juga lo lama-lama."

"Iya, besok-besok gue ajarin gitar."

Jelita berdiri lalu pergi menyusuri kamar luas Arlan. Tempat favorite nya, tembok putih menghadap tempat tidur yang ditempeli banyak foto Jelita dan Arlan. Tidak lupa lampu-lampu kecil yang akan dinyalakan ketika malam hari.

Perempuan itu memandangi setiap foto yang ditempel. Ingatannya masih dapat memutar dengan baik setiap kenangan dalam foto-foto itu.

"Tiap hari gue kesini, masih foto gue aja yang ketempel," Jelita berkata prihatin.

Arlan diam saja. Dia tahu Jelita akan berkata kalimat yang sama setiap memandangi tembok itu.

"Ini juga. Frame foto isinya masih foto gue."

Sebuah frame foto kecil di samping tempat tidur diangkat oleh Jelita. Di dalamnya ada foto Jelita yang sedang tertawa dan digendong belakang oleh Arlan.

"Taruh." Kata Arlan singkat.

"Dih, kenapa?"

"Nanti pecah."

Jelita menurut saja. Dia sama sekali tidak tahu mengapa Arlan selalu melarangnya memegang frame foto itu terlalu lama. Alasannya satu, "nanti pecah."

"Laper nggak, Ta?" Arlan menghampiri Jelita yang sedang berguling-guling di kasur.

Sinyal kelaparan Jelita langsung aktif mendengar kalimat Arlan. Perempuan itu bangkit duduk dan mengangguk semangat.

"Ayo cari makan," ucap Arlan sambil berjalan ke lemari untuk mengambil jaket nya.

◽◽◽

Arlan menunggu Jelita mengunci pagar sambil duduk di atas motor besar nya.

"Ini," ucap Jelita dan memberikan sebuah kunci ke Arlan.

Tujuan mereka kali ini adalah sebuah warung sate ayam di dekat sekolah yang sudah biasa mereka singgahi.

Angin sore membuat Jelita sedikit mengencangkan pegangannya di jaket Arlan. Perempuan itu memang tidak tahan dengan suhu yang terlalu dingin. Apalagi hujan baru saja reda, membuat sisa-sisa udara dingin masih tertinggal.

Bermodalkan kaos pendek dan celana jeans panjang, Jelita nekat berangkat tanpa meminjam jaket milik Arlan di rumah.

"Kenapa berhenti?" Tanya Jelita heran karena Arlan tiba-tiba memberhentikan motor nya.

Laki-laki itu melepas jaket nya. "Pakai. Kalau udah tau bakal kedinginan harusnya dari tadi di rumah pinjem jaket."

Arlan seolah bisa membaca fikiran Jelita.

"Iya, iya, bawel!"

Motor itu kembali berjalan ketika Arlan sudah memastikan Jelita memakai jaketnya dengan benar.

Jalanan kota sedikit ramai sore ini. Bahkan Arlan sampai beberapa kali putar balik mencari jalan lain yang tidak macet.

"Mie ayam, Lan!" Jelita menepuk pundak Arlan.

Tentang SenduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang