05.

61 9 20
                                    

Berkali-kali kamu memberikan rasa sakit itu. Tapi seakan semesta masih ingin melihat dua hati yang berbeda mencoba menyatu.
-

"Pagi, Tante."

"Eh, Dimas?" Sora yang sedang menyiram tanaman menoleh kaget.

Dimas menyalami tangan Sora. "Mau ajak Jelita berangkat bareng, Te."

"Ayo masuk dulu, Jelita masih siap-siap di atas," Sora membersihkan tangannya dan mengajak Dimas masuk ke dalam rumah.

"Kamu belum makan, kan? Tante bikin nasi goreng. Sini makan."

"Nggak usah repot-repot, Te. Dimas udah makan kok," tolak Dimas halus.

Sora tersenyum melihat begitu sopan nya Dimas. "Yaudah, Tante siapin bekal buat Jelita dulu, ya. Biar nanti cepet."

Dimas mengangguk, lalu duduk di ruang tamu sambil menunggu Jelita.

Tidak butuh waktu lama, Jelita sudah terlihat menuruni anak tangga. Sepertinya perempuan itu tidak sadar dengan kehadiran Dimas di rumahnya. Jelita melangkah menemui Mamah nya yang ada di meja makan.

"Kak Jay mana sih, Mah. Dicariin nggak ada. Jelita udah telat nih," gerutu perempuan yang hari itu memakai kaos olahraga.

"Jay kan udah balik kuliah. Makanya kemarin udah diingetin jangan tidur dulu malah tidur."

Jelita menggaruk kepala nya yang tidak gatal. "Jelita kan ngantuk."

Dimas menangkap semua pembicaraan antara ibu dan anak yang berada di meja makan tersebut, karena memang ruang tamu dan meja makan hanya dipisahkan oleh lemari panjang yang berada di tengah.

"Kamu udah dijemput Dimas," ucap Sora sebelum Jelita bertanya.

"Hah?!"

"Heh, di bilangin juga, malah bentak-bentak orangtua."

"Jelita kaget, Mah. Bukan bentak."

Sora memutar tubuh anak perempuannya dan langsung memasukkan bekal makanan ke dalam tas nya.

"Udah sana berangkat. Wa'alaikumsalam."

"Iya, iya, Assalamu'alaikum."

Dimas berdiri dan menyalami Sora seperti yang dilakukan Jelita. Mereka berdua lalu berjalan keluar rumah menuju motor Dimas yang terparkir.

Kali ini Jelita memakai helm nya sendiri dan tidak mau menggunakan helm yang diberikan Dimas.

Dua puluh menit, motor itu mulai masuk ke halaman sekolah. Jelita segera turun setelah Dimas berhasil memarkirkan motor nya.

"Kamu masih marah sama aku?" Tanya Dimas.

"Nggak."

"Tapi kenapa ngehindar?"

Jelita diam tidak menjawab pertannyaan Dimas.

"Aku minta maaf," ucap Dimas akhirnya.

"Buat?"

"Ya buat apapun yang bikin kamu marah sama aku."

"Dimaafkan," jawab Jelita singkat.

Dimas menggandeng tangan Jelita. "Jangan ngehindar lagi, ya? Aku kangen kamu."

Jelita mengangguk dan membiarkan dirinya diantar Dimas menuju kelasnya.

◽◽◽

Hari ini kelas Jelita kebagian jam olahraga. Tapi sepertinya dia akan telat karena harus mengantar Selvia ke kamar mandi dahulu.

"Udah belum, Sel?" Tanya Jelita tidak sabar.

"Bentar, Ta."

"Lagian lo kenapa nggak langsung pakai kaos olahraga dari rumah aja, sih?"

"Nggak pa-pa, biar repotin lo aja gitu," jawab Selvia yang masih berada di dalam kamar mandi.

Jelita ingin marah, tapi baru ingat jika dirinya orang sabar.

Beberapa waktu kemudian Selvia keluar kamar mandi, sudah mengenakan kaos olahraga di tubuh nya.

"Udah? Ayo ke lapangan."

"Bentar, baju osis gue taruh kelas dulu. Yuk," ajak Selvia sambil menarik tangan Jelita.

"Kenapa gue kebagian temen yang nggak tau diri kayak lo sih, Sel?" Sesal Jelita.

Selvia tertawa melihat penderitaan sahabatnya tersebut. "Takdir, Ta. Nikmatin aja."

Setelah kembali ke kelas —yang sudah tidak ada orang— Jelita dan Selvia berlarian seperti maling menuju lapangan. Teman-teman nya sudah berbaris rapi di sana.

"Maaf, Pak, saya telat."

Jelita masih mengatur nafas nya ketika Selvia berbicara.

Pak Yudi —guru olahraga— menatap dua murid nya yang terlambat datang ke lapangan. Kabar buruknya lagi, Pak Yudi bukan termasuk dalam golongan guru yang dapat memaafkan kesalahan murid nya dengan mudah. Harus ada konsekuensi dari setiap kesalahan sekecil apa pun.

"Dua putaran," ujar Pak Yudi singkat.

Semua orang juga tahu maksud dari 'dua putaran' yang diucapkan guru olahraga tersebut.

Jelita dan Selvia mengangguk, lalu segera berlari memutari lapangan yang tidak bisa di bilang kecil tersebut.

"Segera duduk bergabung dengan yang lain," perintah Pak Yudi ketika Jelita dan Selvia berhasil menyelesaikan hukuman dengan baik.

"Hari ini kita belajar basket."

Semua murid IPS 2 mendengarkan dengan baik setiap penjeasan yang diberikan oleh Pak Yudi.

"Dimas, tolong kesini sebentar," panggil Pak Yudi ketika melihat Dimas dan teman-temannya berjalan di pinggir lapangan.

"Ada apa, Pak?" Tanya laki-laki itu.

Semua pandangan tertuju pada Dimas yang ternyata diminta tolong untuk menunjukan cara men dribble bola. Laki-laki itu segera melaksanakan nya dengan cepat.

"Cukup, Dim. Sekarang tunjuk satu orang untuk melakukan seperti apa yang kamu lakukan tadi," perintah Pak Yudi lagi.

Dimas mengangguk kembali, teman-teman Dimas menunggunya di pinggir lapangan.

"Jelita," tunjuk Dimas pada perempuan yang duduk paling ujung.

Jelita sebenarnya enggan untuk maju ke depan, namun karena ada Pak Yudi, perempuan itu mengurungkan niatnya untuk menolak.

Setelah menerima bola dari tangan Dimas, dia segera melakukan apa yang diperintahkan tadi. Jelita pikir men dribble bola adalah sesuatu yang mudah. Nyatanya, berkali-kali bola itu tidak sampai di tangannya lagi dan menggelinding ke arah lain.

"Nggak, nggak gitu caranya," ucap Dimas dan berlari mengambil bola yang menggelinding ke pinggir lapangan.

Dimas lalu memberikan bola itu kembali kepada Jelita. Tangannya menggenggam tangan Jelita dari belakang.

"Kuasai bolanya, jangan sampai mental nggak beraturan," Dimas terus berbicara sambil tangannya masih menggenggam tangan Jelita untuk men dribble bola.

Beberapa menit, Jelita akhirnya mulai terbiasa dengan bola basket tersebut. Hingga dia lupa bahwa tangan Dimas masih menuntunnya.

"Udah, udah, Dimas malah cari kesempatan." Ucap Pak Yudi.

Cari wifi dulu baru up:(

Tentang SenduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang