07.

26 6 0
                                    

Jangan ngaco. Nggak mungkin lo jadi pacar gue.
-

Tetesan air dari langit masih saja turun ketika Jelita sudah hampir dua jam di rumah Arlan. Seakan semesta tahu perempuan dengan rambut sepinggang itu sedang bersedih.

Lalu pertannyaan nya, mengapa semesta tidak ingin mengakhiri kesedihan perempuan itu, dan mengapa semesta ikut bersedih?

Jelita hanya berguling-guling di kasur Arlan sejak tadi. Sedangkan si tuan rumah hanya diam saja menunggu sahabat nya bercerita.

Entah mengapa, berada di dekat Arlan membuat Jelita sedikit lebih tenang di saat suasana hatinya sedang sangat buruk.

"Lo ada apa lagi sih?" Tanya Arlan.

"Nggak ada," jawab Jelita yang sekarang mulai bermain boneka bola milik Arlan.

"Kalau ada masalah cerita."

"Sok tau lo."

"Tau lah, lo kan kalau ada masalah dateng nya ke gue, nanti kalau seneng-seneng mendadak hilang."

Jelita melempar boneka bola yang dimainkannya tepat mengenai kepala Arlan.

"Jadi nggak ikhlas nih selama ini?" Tanya Jelita sedikit keras.

"Nggak."

"Arl–"

"Tapi bohong," jawab Arlan cepat sebelum Jelita semakin berteriak.

Jelita melirik Arlan yang duduk di meja belajar dengan tatapan tajam. Perempuan itu lalu diam kembali, membuat Arlan juga ikut diam.

Jelita adalah segalanya bagi Arlan. Memastikan perempuan itu baik-baik saja menjadi kebiasaannya saat ini.

"Jadi pacar gue aja yuk, Lan?" Ucap Jelita tiba-tiba.

Mulut Arlan terbuka lebar mendengar kalimat Jelita yang keluar sangat ringan.

"Hah?"

"Nggak jadi deh. Gue mau jomblo aja sekarang, biar sama kayak lo," Jelita kembali berucap dengan gampang nya.

"Lo ada masalah sama Dimas?"

Perempuan yang ditanyai bangkit duduk. "Kapan sih gue pernah baik-baik aja sama Dimas?"

Arlan diam dan siap mendengarkan keluhan Jelita yang sebentar lagi akan keluar.

"Gue pengen putus."

Sesingkat itu, namun cukup membuat Arlan terkejut dengan keputusan asal-asalan Jelita.

"Baru kemarin baikan sekarang udah mau putus?"

"Gue pikir Dimas bukan laki-laki yang baik buat gue, Lan," jawab Jelita lemah.

Arlan menatap Jelita hingga terlihat kerutan di dahinya. "Lo nggak bisa ngambil keputusan di saat lagi uring-uringan kayak gini, Ta. Pikirin baik-baik, nggak ada yang bisa nyegah kalau lo bakal nyesel nantinya."

"Gue udah pikirin ini baik-baik, dan gue yakin gak bakal nyesel."

Keheningan itu muncul kembali. Kali ini Arlan yang bingung harus menanggapi seperti apa keputusan yang baru saja Jelita bicarakan.

"Temenin gue besok ya?"

"Kemana?" Tanya Arlan masih tidak mengerti.

"Ketemu Dimas."

Arlan mengangguk saja. Mungkin kali ini dia harus mengalah dan membiarkan Jelita memutuskan akan seperti apa hubungannya sendiri.

"Udah nggak usah sedih lagi, keluar yuk."

"Males ah, nggak mood kamana-mana," Jelita kembali berguling-guling di kasur Arlan.

Arlan berjalan menuju pintu kaca di kamarnya yang langsung menghubungkan ke balkon kamar. "Cuma di sini."

Jelita masih tidak menanggapi ucapan Arlan. Akhirnya laki-laki itu berjalan keluar menuju balkon kamar dan mengadah memandang langit biru yang tampak segar setelah hujan.

Hawa dingin langsung merayap masuk ke kamar Arlan ketika pintu itu terbuka.

"Sini deh, Ta. Ada kesukaan lo," panggil Arlan lagi.

Jelita dengan malas berjalan menuju balkon. Di tubuhnya terbalut selimut milik Arlan.

Arlan ingin tertawa ketika melihat tingkah aneh sahabatnya tersebut. Namun niat itu segera diurungkan ketika ingat dia ingin menunjukkan sesuatu.

"Lihat deh," tunjuk Arlan ke arah lengkungan warna-warni di langit.

"Wah ... Pelangi?" Jelita betanya tidak percaya.

Saat kecil dahulu, Jelita akan duduk di teras rumah menemani Jay dan Arlan hujan-hujanan. Ketika hujan reda, mereka bertiga sering menebak apakah pelangi akan muncul, dan Jelita sangat senang jika sesuatu yang melengkung itu terlihat di langit biru.

"Kapan ya terakhir gue lihat pelangi?" Tanya Jelita pada diri sendiri.

"Eh, fotoin gue dong, Lan."

Arlan mengangguk dan berjalan ke kamar untuk mengambil ponsel nya. Jelita langsung berpose ketika kamera ponsel itu sudah diarahkan kepada dirinya.

Banyak foto yang diambil sore itu. Kebanyakan foto Jelita yang bergaya manis, aneh, hingga lucu. Arlan tertawa keras ketika Jelita mulai melakukan gaya-gaya aneh yang tidak pernah dipikirkannya sebelumnya.

Mereka berdua juga mengambil foto bersama. Lagi-lagi Arlan berhasil membuat Jelita lupa dengan masalahnya.

Dan pelangi!

Apa semesta sudah lega karena perempuan periang itu berani mengambil keputusan?

"Mau lihat, Lan."

Arlan menyerahkan ponsel nya ke Jelita. Perempuan itu bahkan masih membalut tubuhnya dengan selimut hingga saat ini.

"Yah ... Kok pelangi nya nggak ada?" Tanya Jelita kecewa ketika melihat hasil foto Arlan.

Arlan mendekatkan tubuhnya ke Jelita dan ikut melihat hasil foto yang dibuatnya. "Silau, Ta."

Jelita sedikit sedih karena pelangi yang diharapkan ada di belakangnya menjadi tidak terlihat di foto-foto nya. Namun perempuan itu kembali tertawa ketika melihat foto Arlan dan dirinya sore itu.

"Lucu banget sih monyong-monyong gini," komentar Jelita di salah satu foto yang memperlihatkan Arlan sedang memajukan bibirnya.

"Yang ini, mulut lo miring, Ta," komentar Arlan Juga.

Tawa mereka pecah di balkon kamar. Arlan merangkul pundak Jelita dan berharap semesta dapat memberhentikan waktu sejenak untuk nya.

"Gue pulang dulu ya, Lan?" Pamit Jelita ketika tawanya sudah reda.

"Kenapa?"

"Ada jemuran, mau gue angkat."

"Lah, berarti jemuran lo kehujanan dari tadi dong pinter!"

"Oh, iya!" Jelita memukul kepala nya sendiri. Masalah jemuran selalu menjadi alasan nomor satu Jelita sering dimarahi Sora.

"Kasihan gue sama Mamah lo, punya anak kelewat pinter gini."

"Makasih pujiannya, gue pulang dulu!" Jelita melempar selimutnya ke Arlan dan segera berlari pulang untuk menyembunyikan jemuran basah tersebut.

Tentang SenduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang