02.

69 15 2
                                    

Aku ada. Jadi berhenti anggap Aku hanya barang bawaan.
-

"Jelita, ayo bangun, ditunggu temen Kamu tuh di bawah," ujar Gresscia —pacar Jay— sambil menepuk pelan tangan Jelita.

"Siapa, Kak?" Jelita dengan nyawa yang belum kembali seutuhnya memaksakan diri untuk duduk.

"Katanya namanya Arlan."

Jelita mengangguk-angguk. "Pasti mau minta makan kesini pagi-pagi."

Gresscia tertawa pelan melihat tingkah kekanakan Jelita. Sejak berkenalan tadi malam, dia dapat menyimpulkan bahwa Jelita adalah anak yang mudah akrab dengan seseorang dan sangat menyenangkan diajak mengobrol.

"Yaudah ayo turun, Kak," ajak Jelita sambil turun dari kasur nya. "Eh, Kak Jay di mana?"

"Ngobrol sama temen Kamu di bawah. Akrab banget kayak nya."

Jelita tertawa sedikit kencang menganggap bahwa pacar kakak nya tersebut terlalu polos. "Iya lah, Kak. Rumah Arlan aja depan rumah ini persis. Jadi dari kecil udah sering main bertiga, pasti Kak Jay sama Arlan lagi temu kangen di bawah."

Yang ditertawakan Jelita juga membalas tawa tersebut. "Udah sana, Kakak mau bantu Mamah Kamu masak dulu."

Jelita mengangguk dan membiarkan Gresscia pergi menuju dapur. Perempuan itu lalu menghampiri Arlan dan Jay yang sedang bermain playstation di ruang keluarga.

"Wahh ... Gue nggak diajak."

"Bosen menang gue kalau main sama lo," sindir Arlan.

Jay menepuk tempat kosong di sebelah nya. Menyuruh Jelita untuk duduk di sana. "Dia masih suka kalah, Lan?"

"Nggak usah cari ribut, ya!" Ancam Jelita.

Tawa dua laki-laki tersebut langsung terdengar memenuhi ruangan. Membuat Jelita semakin kesal berada di sana.

"Mau kemana, Ta?" Tanya Jay yang melihat Jelita hendak berdiri.

"Mandi. Mau main sama pacar. Bye-bye aja deh yang nggak punya pacar," balas Jelita menyindir Arlan.

"Katanya mau minta anter ke toko buku?" Tanya Arlan.

"Aduh, maaf, Lan. Tiba-tiba tadi malam Dimas bilang ngajak keluar hari ini. Lo sendiri paham kan dia sibuk nya kayak apa, jadi selagi ada waktu gitu. Maaf, ya." Jelita menjadi tidak enak sendiri ketika ingat dia juga membuat janji dengan Arlan.

Arlan mengangguk-angguk sebagai jawaban. Jelita tahu sahabat nya itu sedang kesal.

◽◽◽

Mobil Dimas melaju membelah jalanan padat kota. Jelita sedari tadi hanya duduk memandangi luar jendela. Membiarkan pacar nya fokus menyetir.

"Gimana lomba nya kemarin?" Tanya Jelita ketika mobil sport itu telah parkir di sebuah cafe.

"Ya, gitu. Menang," jawab Dimas seolah sebuah kemenangan sudah membosankan di hidupnya.

Jelita menepuk pelan lengan laki-laki yang sudah mengisi hatinya sejak satu tahun yang lalu itu. "Selamat, ya!"

Mereka berdua masuk kedalam cafe tersebut. Sebenarnya Jelita kurang nyaman dengan suasana yang ada di sana. Terlebih ketika dia sadar bahwa ternyata juga ada teman-teman Dimas yang sudah menunggu.

"Ada temen ku. Nggak pa-pa, kan?" Tanya Dimas.

Jelita mengangguk saja, menolak juga percumah. Pertannyaan Dimas sama seperti sebuah pernyataan yang tidak dapat ditentang.

Dimas segera bergabung dengan teman-teman nya sambil masih menggandeng tangan Jelita.

"Masih sama Dia aja, Dim?" Tanya salah satu teman Dimas sambil melirik Jelita.

Dimas melepas genggaman di tangan Jelita. "Aku sama temen ku dulu, ya?"

"Tapi–"

"Jangan mulai deh, Ta, manjanya!" Bisik Dimas sambil mencengkram lengan pacarnya.

"S–sakit, Dim," ujar Jelita pelan. "Iya, terserah."

Dimas melepas cengkraman nya. Beralih mengusap pelan rambut Jelita sambil tersenyum manis. "Gitu dong, kan makin cantik kalau nurut."

Jelita akhirnya mengalah dan duduk sedikit menjauh dengan gerombolan teman-teman Dimas. Dia menghabiskan minuman yang dipesannya sambil bermain ponsel.

Teman-teman Dimas benar-benar membuat suasana di cafe tersebut semakin ramai. Namun berbeda dengan Jelita yang semakin mendengar keramaian tersebut, semakin merasa bahwa dirinya ditinggal sendiri.

Jujur Jelita ingin menangis saat ini juga. Bukan pertama kalinya dia terjebak oleh ajakan main Dimas. Berkali-kali kejadian seperti ini dialaminya. Tapi hebatnya hati perempuan itu masih saja belum bisa membenci sesosok Dimas.

"Gue pulang dulu, ya?" Ucapan Dimas tersebut membuat Jelita menengok.

"Yah, gak asik lo, masak udah mau pulang?"

"Tau, tuh."

"Mentang-mentang udah punya pacar, alesannya pasti 'mau nganter pacar pulang' jadi sekarang pacar ya yang lebih diprioritasin daripada temen?"

Jelita sedikit sakit hati mendengar sindiran dari teman Dimas tersebut. Perempuan itu lalu kembali mengalihkan pandangannya ke benda pipih di tangannya lagi.

"Udah, udah. Gue pulang dulu," pamit Dimas akhirnya.

Jelita yang merasa Dimas sudah berada didekat nya pun ikut bangkit berdiri dan berjalan keluar dari cafe tersebut.

Perempuan itu berani bersumpah dia tahu kemana tujuan Dimas sekarang.

Jalanan tidak terlalu padat seperti ketika mereka berangkat tadi. Hingga beberapa menit saja mobil sport tersebut sudah terparkir rapi di depan rumah Jelita.

"Mau masuk dulu?" Tawar Jelita. Matanya menerawang ke depan.

"Nggak, deh. Aku mau langsung pulang aja."

Liquid bening menetes perlahan dari mata Jelita. Benteng pertahanan perempuan itu sudah runtuh. Hancur tepat di depan orang yang berkali-kali membuatnya sakit.

"Ta, kenapa?" Tanya Dimas pelan.

Tangan kasar milik Dimas menghapus perlahan setiap air mata yang menetes dari kelopak mata Jelita.

"Kamu kenapa, Sayang?"

Dimas membawa wajah Jelita untuk menatapnya. Percumah. Perempuan itu malah memejamkan matanya, menolak untuk melihat wajah pacarnya.

"Aku mau turun, Dim," rengek Jelita layaknya anak kecil.

"Nggak. Bilang dulu kamu kenapa?"

Jelita membuka matanya perlahan. Menatap nanar Dimas di depannya. "Aku kenapa? Aku nggak pa-pa. Aku habis keluar sama Kamu, kan? Aku duduk sendiri, nunggu kamu sama temen-temen kamu."

"Ya terus kamu maunya aku kayak gimana?"

"Mikir, lah. Ini yang di bilang main bareng? Ini namanya kamu cuma ngajak aku nemenin main sama temen-temen kamu!"

Sampai sini udah paham kan perbedaan Arlan sama Dimas?

Tentang SenduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang