04.

44 10 0
                                    

Kadang aku ingin melepasmu. Tapi hatiku sangat egois tentang itu.
-

Arlan bukan laki-laki famous seperti Dimas yang selalu menjadi sorotan. Arlan hanya Arlan, anggota tim sepak bola sekolah yang kurang digemari.

Arlan juga tidak banyak mendapat penghargaan dari suatu perlombaan seperti pacar Jelita tersebut. Dia lebih senang berkutat dengan game di ponselnya atau sesekali bermain gitar.

Tapi adalah Arlan, orang yang selalu menjadi tempat Jelita bercerita. Tempat Jelita tertawa dan menangis. Bahkan mungkin selama satu tahun berpacaran dengan Dimas, waktu Jelita lebih banyak dihabiskan bersama Arlan.

Tidak ada yang tahu jika salah satu di antara sepasang sahabat itu menyimpan rasa. Juga tidak ada yang bisa melarang rasa tersebut kian tumbuh tanpa dapat dicegah lagi.

"Jangan ngehalangi jalan bisa?" Suara cempreng yang dibuat-buat oleh Elin terdengar di lorong kelas.

Arlan menghadang jalan perempuan itu.

"Lo apain Jelita?" Tanya Arlan langsung.

"Oh, ngadu?"

"Iyalah, Lin. kerjaannya anak cupu," ujar Nana membenarkan ucapan Elin.

"Gue bilang, lo apain Jelita?!" Teriak Arlan kalap.

Bahu Arlan ditarik kebelakang oleh seseorang. "Jangan kasar ke perempuan bisa?"

Arlan menepis kasar tangan Dimas di bahu nya. Sedetik kemudian Elin menangis, membuat orang-orang yang ada di lorong semakin penasaran dengan keributan di sana.

"Eh, kenapa nangis, Lin?" Tanya Hana yang dengan sigap langsung mengusap lembut punggung Elin.

"Tanggung jawab lo, Lan!" Ucap Nana.

Elin semakin menangis, sesekali mengucapkan kalimat yang tidak terdengar jelas.

Dimas maju menangkup bahu Elin, membuat Hana sedikit mundur. "Kenapa nangis?"

"Pertannyaan lo salah, Dim."

Dimas menatap Arlan tidak mengerti. Tangannya masih mengusap pelan punggung mantannya yang menangis.

"Harusnya lo tanya, "lo apain pacar gue?" bukan "kenapa nangis?""

"Emang Jelita kenapa?" Tanya Dimas.

Arlan tertawa. Pandangannya dialihkan ke lapangan yang ada di bawah. "Ya kalau gue tau gak bakalan sampe bentak-bentak nih bocah bengal."

"Repotin orang terus," desis Dimas pelan.

"Lan, lo bisa kan urus Jelita? Gue mau tenangin Elin dulu," ucap Dimas. Tanpa menunggu persetujuan Arlan, laki-laki itu telah berjalan pergi membawa Elin.

◽◽◽

Bel pulang terdengar nyaring. Jelita tentunya sudah sangat merindukan kasur di rumah. Maka sama dengan murid lain, dia pun bergegas keluar kelas dengan Selvia.

"Sel, gue nebeng lo, ya?"

Selvia menepuk dahi nya. "Gue pulang bareng Karrel, gimana dong?"

"Yaudah pulang sama gue aja."

Suara berat di belakang membuat kedua perempuan tersebut memutar badan.

"Nah, itu ada Dimas. Gue pulang dulu, ya? Udah ditunggu Karrel. Jagain Jelita, Dim. Awas aja besok ketemu gue ada yang kurang!"

Dimas tertawa menanggapi ucapan sahabat perempuan Jelita. "Siap-siap."

"Eh, Sel!" Teriak Jelita. Tapi sudah terlambat karena Selvia lebih dahulu berlari ke parkiran.

"Ayo pulang," Dimas menggandeng tangan Jelita dan langsung berjalan.

Jelita diam saja mengikuti Dimas berjalan dari belakang. Selalu menarik perhatian jika berjalan dengan laki-laki itu. Sepanjang jalan setiap orang yang ditemuinya memandang Dimas layaknya seorang malaikat, beralih ke Jelita dengan tatapan yang seolah mengatakan, "Nggak pantes lo pacaran sama Dimas!"

"Mau makan dulu nggak?" Tanya Dimas ketika Jelita sudah naik motor nya.

"Nggak," jawab Jelita singkat sambil menerima uluran helm yang diberikan Dimas.

Motor tersebut lalu melaju meninggalkan sekolah. Jelita baru menyadari sesuatu ketika motor itu berhenti di depan rumahnya.

Jelita memberikan helm yang tadi dibawa Dimas. "Makasih."

"Aku nggak ditawarin masuk?"

"Nggak. Cewek yang kamu anterin tadi pagi nunggu di sekolah tuh. Bilangin ya, maaf aku pinjem helm nya tadi."

Dimas membodohi dirinya sendiri ketika Jelita sudah masuk rumah nya. Dimas memang pintar, tapi dia terlalu ceroboh untuk hal seperti ini.

◽◽◽

Kamar tidur dengan nuansa warna biru langit itu menyimpan Jelita dengan baik di dalamnya. Kasur di dekat dinding pun menjadi saksi bisu betapa malas penghuni kamar ini.

Sejak pulang sekolah Jelita hanya tiduran di kasur karena sangat kehilangan mood untuk melakukan apapun. Biasanya, dia akan mengulang sebentar materi yang diajarkan di sekolah, tapi sepertinya hari ini dia akan menghabiskan waktunya hanya untuk bermalas-malasan.

"Ta, dipanggil Mamah," suara Jay di luar kamar mengagetkan Jelita.

"Yang di dalem lagi tidur," jawab Jelita malas.

Jay pun masuk ke kamar Jelita yang memang jarang dikunci. "Banguunnn!" Jay menarik tangan Jelita.

"Ngantuk, Kak."

"Gue gendong ya kalau nggak bangun!" Ancam Jay.

Jelita malah memejamkan matanya rapat-rapat.

"Oke!" Jay mengangkat tubuh adik nya yang pura-pura tidur. Langsung saja laki-laki itu membawa Jelita turun dan menemui Mamah nya di ruang keluarga.

"Ya ampun, Jay! Itu Jelita nya kenapa, turunin ish nanti jatuh," Sora berteriak panik melihat Jelita yang masih memejamkan mata di punggung Jay.

Jay menurunkan Jelita di sofa. Kemudian perempuan itu tertawa kencang karena berhasil membohongi Kakak dan Mamah nya.

"Ngeselin." Jay memukul pelan kepala Jelita.

"Udah, udah. Mamah mau bicara serius sama kamu," Sora menatap Jelita tajam.

Jelita sebenarnya sedikit gugup jika Sora melakukan hal ini. "Ah, Mamah jangan serius-serius nanti kalau Jelita baper nggak ada yang mau tanggung jawab."

"Gak usah bucin mulu lo, bocah," ucap Jay yang hanya disahuti  suara tawa Jelita.

"Bicara apa sih, Mah?"

"Mamah sama Jay mau ke pasar, jadi titip jemuran di belakang. Kayak nya habis ini hujan," Sora memandang langit mendung dari jendela.

Jelita menggigit gemas bantal sofa yang ada di sana. "Ih Mamah ... Kalau cuma ngomong gitu doang nggak usah berbelit-belit dong."

"Heh! Kamu suka lupa soalnya. Sekarang diingetin, nanti ditinggal tidur."

Sore itu benar saja, Jelita lupa amanah dari Mamah nya dan malah tertidur lelap diiringi irama hujan yang mengguyur kota.

Gak ada yang mau tanya Gresscia kemana gitu?

Tentang SenduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang