09.

22 5 6
                                    

Sejahat itu, tapi Tuhan masih sayang kepadamu.
-

Yudha sedikit mengaduh ketika kapas yang telah diberi obat oleh Jelita mengenai luka di pinggir bibirnya. Mungkin Jelita merasa bersalah, maka dirinya membawa Yudha ke UKS untuk diobati.

"Maaf ya, Ta."

"Buat?"

"Hubungan lo sama Dimas."

Jelita menatap Yudha tidak percaya. Jadi si ketua kelas ini berfikir dirinya lah yang membuat Jelita memutuskan Dimas?

"Udah gak pa-pa, gue malah jadi lega sekarang," jawab Jelita sambil berjalan mengembalikan kotak P3K di meja.

Baru saja Yudha akan menjawab, seseorang membuka pintu UKS dan berjalan masuk dengan cepat.

"Lo nggak kenapa-kenapa, kan?" Tanya orang itu dengan cemas.

"Santai aja sih, Lan. Yang ditonjok bukan gue," Jelita menjawab dengan sedikit tertawa.

Yudha tidak mengenal laki-laki yang sedang berbicara dengan Jelita tersebut. Tapi dari baju seragamnya tertulis nama "Arlan Mahardika", mungkin laki-laki inilah yang disebut-sebut oleh Dimas tadi.

"Yudha?" Tanya Arlan kepada Yudha yang masih duduk di pinggir ranjang.

Yudha mengangguk. "Iya. Santai aja gue gak pa-pa, cuma luka dikit."

"Bagus deh."

Pintu UKS kembali dibuka, kali ini Selvia, Karrel dan Vano yang datang. Jelita memang memberithu Selvia bahwa dirinya sedang berada di UKS untuk mengobati Yudha.

"Bapak ketua kita kenapa ini?" Tanya Vano

Yudha melirik tidak suka. Dari awal dirinya memang tidak senang jika ada yang memanggilnya dengan sebutan "bapak ketua".

Selvia tanpa sungkan langsung duduk di kursi yang tadi diduduki Jelita untuk mengobati Yudha. Perempuan itu bahkan mendekatkan wajahnya untuk melihat lebih dekat luka di pinggir bibir Yudha. Tidak memikirkan jika di sana juga ada pacarnya.

"Apaan sih lo, Sel," Yudha mendorong dahi Selvia. "Lagian ini ngapain pada rombongan kesini?"

"Yeh, di khawatirin juga," Vano memukul pelan kepala Yudha.

"Gue bukan anak mamah lagi, ngapain juga sampai khawatir?"

"Oh, gue telepon Tante Maya dulu ah, bilang kalau sekarang Yudha udah bukan anak nya," ancam Vano sambil mengambil ponsel di saku celana nya.

Yudha dengan cepat mengambil ponsel di tangan Vano. "Iman lo jongkok, Van." Kesal Yudha.

Vano langsung tertawa melihat ekspresi Yudha.

"Dimas anak IPA 1 itu yang pukulin lo?" Tanya Karrel.

"Iya, Kak," Jawab Yudha. "Udah ya, jangan dibesar-besarin lagi, dia cuma salah paham kok."

"Dulu gue deket banget sih sama Dimas," beritahu Karrel tanpa ada yang meminta.

"Terus?" Tanya Arlan.

"Waktu kapten basket nya masih gue, Dimas bener-bener bandel. Nggak bisa di omongin, nggak pernah dateng latihan, sekalinya dateng malah bikin ribut."

Arlan, Yudha, Vano, dan Selvia mendengarkan cerita Karrel dengan serius. Jelita mengalihkan pandangannya ke luar jendela. Dia sudah tahu itu semua.

"Di saat tim inti udah bener-bener muak sama tinggah Dimas dan mau ngeluarin dia, gue cegah, bahkan gue sampai berantem sama salah satu tim gue."

"Dibalik semua tingkah Dimas, gue tau dia punya bakat, bahkan lebih berbakat daripada yang tiap minggu dateng latihan. Makanya gue tunjuk buat gantiin gue sekarang."

"Dia emang gitu. Kasar, keras kepala, egois, tapi Tuhan kasih otak yang lebih pinter ke dia."

◽◽◽

Kali ini jam pelajaran sejarah, dan bagusnya lagi Jelita lupa mengerjakan PR yang setiap minggu selalu ada. Teman-temannya terlihat sudah mengerjakan ketika Jelita berada di UKS tadi. Juga Yudha, laki-laki itu tidak pernah lupa mengerjakan PR.

"Gimana dong, Sel?"

Selvia mengangkat pundak nya tanda dia juga tidak tahu. Sekarang hanya menunggu guru datang, dan tentu saja tidak akan cukup waktunya jika Jelita memaksa untuk mengerjakan PR yang banyaknya 4 lembar.

"Lagian tumben banget lo nggak ngerjain PR?" Selvia bertanya santai sambil menyandarkan tubuhnya ke tembok.

"Ketiduran gue kemarin," keluh Jelita.

"Yee, dasar kebo!"

Tiba-tiba kegaduhan di dalam kelas sedikit mereda, dan selalu saja jika hal ini terjadi, maka kabar buruk akan segera datang.

"Sttt ... Bu Mey udah sampai jembatan," peringat salah satu murid.

Jelita menjatuhkan kepala nya ke meja. Disusul tepukan pelan di pundak nya oleh Selvia.

Tidak membutuhkan waktu lama, sosok guru sejarah berperawakan gemuk dan ber kacamata tebal itu berjalan dengan penuh kharisma ke dalam kelas.

"Selamat siang," sapa Bu Mey.

"Siang," jawab seisi kelas dengan serentak.

"Ada yang tidak mengerjakan tugas?" Tanya Bu Mey langsung setelah menaruh tas nya.

Jelita diam menunggu keajaiban untuk setidaknya satu orang saja menemaninya dihukum hari ini. Namun nihil. Jelita akhirnya mengangkat tangan dengan pasrah.

"Jelita?"

Jelita menelan air liur nya dengan susah payah. Sepertinya guru ini mengenalinya.

"Silakan keluar. Kamu bisa mengikuti jam saya minggu depan."

Jelita mengangguk dengan berat hati. Perempuan itu lalu berjalan pelan ke arah pintu dan siap keluar.

"Bu, saya juga lupa buat PR!"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 22, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Tentang SenduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang