Aku Tahu The Future

12 2 0
                                    

"Dia bilang lu gadis yang menarik?" Naira menegaskan sekali lagi.

"Ya," jawab Reyna. Ia mengerutkan kening dan mengigit bibir sambil berpikir-pikir. "Menurut lu apa?"

Mereka berdua sedang berada di salah satu Gramedia di jalan Cipto, Cirebon. Toko buku itu lumayan ramai karena jam pulang sekolah sudah bubar dan banyak anak muda seusianya berkumpul untuk melihat koleksi buku terbaru. Belum lagi ini tahun ajaran baru, sehingga banyak yang mencari referensi untuk menunjang tugas sekolah.

"Menurutku dia tidak bermaksud apa-apa," sahut Naira ringan sambil mengankat bahu. "Hanya basa-basi."

"Masa sih?"

"Iya. Jangan lu pikirin dech," sahut Naira. "Riko itu pemain basket mana mungkin dia bertingkah aneh di hadapan lu."

"Oo.. dia atlet?" heran Reyna. Kemarin aku melupakan apa kesibukkannya, tetapi Kento Rikoshu tidak terlihat sesibuk itu menanyaiku. Yah, tentu saja, Reyna sendiri belum pernah melihat Riko bermain basket di lapangan, jadi aku tidak merasa yakin. Aku rasa cowok kanyak dia lebih bagus menjadi protokol sekolah. Yang penting jangan atlet. Atlet seperti dia biasanya jarang berada di tempat yang sepi, pastinya lebih sering di tempat ramai terutama di lapangan sekolah. Bukankah penampilan Riko saat orientasi siswa baru mengenakan kaos oblong basket dengan nomor belakang 21, dia kelihatan seperti atlet basket sungguhan. Aku juga membayangkan kalau itu benar adanya.

"Siapa? Kento Rikoshu?" Naira menyela lamunannya, lalu mengibaskan tangan. "Iya, Riko itu atlet basket di sekolah yang jadi idola lapangan."

Reyna langsung menghentikan imajinasinya yang mulai melantur ke mana-mana. "Tadi lu bilang apa, seorang Riko jadi idola lapangan?"

Naira mengiyakan. "Iya, dia itu idola lapangan yang paling di tunggu permainannya."

Reyna membuka mulut membentuk huruf O, tapi kemudian terdiam. Kadang-kadang ucapan Naira seperti latest news dan menjadi informasi terbaru aku dapatkan. "Bisa juga sih,"

"Gue heran aja kenapa dia bisa sepopuler itu. Padahal Riko juga siswa baru, seharusnya dia mengalahkan kepopuleran kaka tingkatnya." kata Naira. "Kesha lebih terkenal di kaka tingkat, lu tau nggak? Bahkan kepopuleran Riko mengalahkan Kesha sebagai kapten basket."

Reyna menatap Naira dengan kagum. "Lu bisa tau info kanyak gitu dari mana?"

Naira hanya mengangkat bahu dan tersenyum. "Ya karena gue nongkrong di kantin daripada lu di kelas mulu. Padahal banyak yang nanyain lu?"

"Rafata!"

Kepala Reyna berputar ke arah suara melengking itu dan matanya terpaku pada gadis remaja yang lebih pendek dari posturnya dia melambaikan tangan pada cowok yang berdiri tidak jauh dari dua rak buku. Cowok itu memiliki rambut yang tertata rapih seperti habis di pangkas dari salon.

"Lu udah nyari dari tadinya?" Reyna mendengar gadis tadi bertanya lagi dan cowok itu menggeleng.

Perhatian Reyna kembali ke Naira ketika mendengar temannya itu mendecakkan lidah. "Dasar Anak sekarang," gerutu Naira. "Udah tau lagi di toko buku masih aja teriak-teriak kanyak di pasar."

Reyna tersenyum dan mengangkat bahu. Sebenarnya pemandangan seperti itu membuatku teringkat dengan dia. Rafata yang di panggilnya membuatku ingin melihat kedua kalinya. Aku tidak bisa melupakan nama itu, karena dia membuatku melihat masa depan lebih baik dari yang aku kira sampai saat ini.

"Bisa gue tebak kalau Rafata itu cinta pertama lu kan?" celetuk Naira tiba-tiba.

Reyna mengangkat alis. "Apaan sih,"

"Iya, gue bisa tau dari cara lu lihat cowok tadi. Tapi sayangnya dia bukan Rafata lu?"

Reyna menunduk malu dan rasanya Naira terlalu senang mem-bully. Aku mengambil buku yang sejak tadi ku pilih.

"Mirip nggak sama Rafata lu?"

Reyna tertawa. "Astaga, lu kepo banget sih? Iya kali mirip, sama sekali nggak ada kemiripan. Umurnya aja masih sepuluh tahunan."

Naira mendesah. "Lu hebat banget sih. Masih bertahan nungguin dia."

"Gue nggak nungguin dia," bantah Reyna.

Naira mencibir. "Kepala lu berputar cepat ketika nama Rafata di sebut."

Reyna menuju kasir untuk membayar buku pilihannya.

***

Musim hujan empat tahun yang akan datang. Saat itu jam pulang kuliah. Reyna duduk di halte bus depan kampus. Aku menunggu seorang yang biasa menjemputku selepas dia kerja. Rafata bukan lagi cowok yang ada di masa kecilku, tetapi dia ada di masa depanku. Mungkin terlihat mustahil bagi siapa pun yang ingin percaya bahwa itu adalah keajaiban. Tetapi aku tidak bisa menghindari kekuasaan yang telah menganugerahiku dengan indra keenam. Itu sebabnya aku masih peduli dengan masa depan yang akan terjadi padaku.

Aku dengannya sudah lama berpisah semasa sekolah menengah pertama. Itu juga karena mutasi kerja ayah yang selalu berpindah-pindah tempat. Jadi, aku selalu berpindah sekolah tiap ajaran baru. Oleh karenanya, aku tidak bisa lagi bertemu dengannya apa lagi sesuka hati memintanya datang. Dia terlalu jauh untuk menempuh jarak, aku tidak bisa memaksanya ketika rindu itu mulai mengusik malamku. Melalui via chat dan vicall sudah sedikit membantuku untuk saling menghubunginya kapan pun dia sempat.

Rafata berbeda jauh umurnya denganku, terpaut empat tahun lebih tua darinya. Perkiraan sekarang dia sudah memasuki tingkat ketiga perkuliahan. Maka saat aku memasuki bangku kuliah dia sudah bekerja di perusahaan. Selain itu dia memegang jabatan lebih tinggi, karena perusahaan tempat dia bekerja adalah salah satu dari anak cabang perusahaan yang ayahnya miliki. Maka segelintir kesibukkan takkan bisa membuatnya leluasa bertemu denganku.

Ketika jam perkuliahan usai biasanya dia akan menjemputku, membawaku ke apartemen dan menemaninya mengerjakan beberapa berkas perusahaan. Dia tidak selalu berada di kantor selain meeting dan beberapa rapat saham. Rafata memilih pulang dan mengerjakannya di apartemen, selain itu dia membantuku menyelesaikan tugas mandiri selama aku kuliah. Biasanya kami akan makan bersama usai mengerjakan tugas masing-masing.

Melihat ini semua membuatku selalu kacau tidak bisa berkosentrasi terhadap pandangan yang di lihat di kemudian hari. Kadang juga aku membenci sebuah pertemuan yang selalu menjadi deja vu. Aku ingin mengakhiri malam-malamku dengan tenang tanpa ada lagi kilasan yang datang di jam-jam tidurku. Ini juga yang mengusik jam pagiku menjadi kesiangan, bukan karena aku telat tidur, tetapi memang begitulah kenyataan yang harus aku hadapi apabila terbangun di tengah malam. Suara teriakan yang selalu menjerit membuat telingaku terasa sakit dan akhirnya terbangun.

Aku harap bahwa pagi tidak pernah nyata, cukup jam bekerku yang berisik membangunkan kesadaranku. Aku harap masaku akan lebih baik saat dia tiba.

Nila The TimeWhere stories live. Discover now