Aku Ingin Kembali

8 2 0
                                    

Langit sudah gelap ketika Reyna sampai kosan. Ia merogoh tas tangannya mencari kunci. Ketika ia membuka pintu kosan dan di seberang pintu masuk tiba-tiba terbuka dengan cepat. Reyna terkesiap kaget kemudian berputar cepat.

"Sorry, gue nggak ada maksud buat ngikutin lu?" kata Rafata yang baru saja keluar dari pintu masuk utama.

"Rafata?" gumam Reyna lega dan heran. "Lu ngapain ngikutin gue?"

Rafata tersenyum lebar. "Mulai hari ini gue kembali, sebagai teman dekat lu." katanya.

Alis Reyna terangkat. "Lu nggak lagi bercanda kan?" Tidak ingin terlalu senang dan berharap, ia melirik ke belakang Rafata, dan bertanya dengan nada datar, "Siswi itu..."

"Oh, dia adik tiri gue. Sorry! tadi belum sempat kenalan, kapan-kapan gue kenalin?" jelas Rafata. Sampai sekarang ia masih terus memikirkan apa yang dikatakan adiknya. "Lu udah makan?" tanyanya.

Reyna mengangkat wajah. "Belum," sahutnya.

Rafata mendengus dan tertawa. "Kenapa, nggak boleh kalau kita keluar dan makan bersama?" tawarnya.

Reyna menggeleng.

***

Sejujurnya, hanya sedikit orang yang bersyukur dan puas dengan diri dan miliknya. Orang cenderung merasa kurang dan kurang. Ya, manusia memang pandai menuntut untuk memiliki "lebih". Banyak pula yang menyalahkan pilihan mereka dalam mengambil keputusan pada masa lalu yang berdampak buruk pada masa depan, yang mereka jalani saat ini. Khayalan mustahil terhadap keberadaan mesin waktu untuk memutar ulang kehidupan hinggap di pikiran sejumlah orang. Alangkah bahagianya jika diberi kesempatan mengulang masa lalu dan mengubah jalan takdir hidup demi mewujudkan kehidupan yang lebih indah, melebihi kenyataan yang dihadapi saat ini.

Sejak kecil aku sudah lihai berdialog dengan dua dimensi. Kemampuan yang aku miliki mengalir begitu saja sampai akhirnya ia melekat di usiaku menginjak remaja. Awalnya aku menolak bahwa aku tidak gila karena sering bicara sendiri, tetapi saat aku di bawa ke psikiater dan melakukan beberapa pengecekan terhadap semua cakra. Hasilnya sangat mengejutkan bahwa aku seorang Nila, salah satu nama lain dari kata indigo.

Sekarang aku banyak memahami dimensi lain. Bukannya tidak pernah dinganggu tetapi sebaliknya aku sering mengalami banyak ngangguan. Terutama di malam hari, ada dari mereka yang menemaniku. Kadang juga ia ikut tertawa bersama, aku tidak menghiraukan keberadaan mereka yang memang nyata adanya.

Daniel, teman dimensiku selalu memberikan petunjuk pada sesuatu yang tidak bisa aku pahami. Dia seperti penerjemah dari bahasa manusiaku ke bahasanya. Bukannya aku tak mengerti, tetapi aku lebih sering tidak percaya akan dimensi itu. Aku tidak menyakini bahwa kebenaran mereka ada di sekelilingku.

"Niel, apa lu nyata?" tanya Reyna.

"Tentu saja, gue nyata adanya." sahutnya.

Aneh, pasti itu yang ada di benakku. Mengapa aku tahu dia? mengobrol bersamanya di tiap malam. Sering kali berjalan-jalan, seakan-akan aku tidak bisa menghindarinya. Aku tahu ini tidak salah, tetapi menganjal sekali. Tidak pernah terpikirkan aku akan mengalami hal seperti itu. Peristiwa di tiap harinya seperti horor, terus bermunculan di setiap ruang.

Sekian banyaknya kejadian membuatku melupakan dan pura-pura tidak tahu. Karena aku tidak ingin terbebani, alasannya mudah "deja vu". Delusi yang terus menyerangku tidak bisa kuhindari dari kejadian-kejadian deja vu. Hari ini aku mengakhiri riwayat tahu menjadi pura-pura tidak pernah tahu.

Kening Daniel berkerut. "Tapi lu bilang nggak bakal maksain mengingat. Bukannya kepala lu bakal tambah sakit?"

"Gue nggak maksain," sahut Reyna.

"Lu sendiri yang ngomong kalau lu nggak bakal mengingat apa pun?" desak Daniel lagi. "Lu bilang kejadian itu tidak penting."

Reyna menatapnya dengan bingung. Daniel sendiri juga bingung dengan sikap Reyna. Kenapa dia menjadi keras kepala.

"Gue memang pernah ngomong," aku berhenti sejenak, berpikir dan berhati-hati berkata. "Tapi terus terang saja, gue merasa ada yang hilang. Suatu hal yang gue paksa agar tiada."

Daniel melihat Reyna semakin bingung. Mungkinkah ada yang dia hilangkan melalui dimensi lain. Tidak mungkin Reyna memaksa itu menjadi hilang biasanya dia mampu mengingatnya sekali pun telah di lupakan berulang kali. Tapi apa hal itu?

Daniel mengangkat wajah dan menatap Reyna. "Tentang apa?"

"Gue nggak tau, gue rasa itu sangat berarti untuk kembali di ketahui."

"Maksud lu apa," heran Daniel. Ia balas tersenyum. "Gue lebih senang kalau lu nggak ingat. Seenggaknya lu bisa lupain daripada di ingat bikin lu sakit."

Reyna mengangguk-angguk pelan, lalu bergumam, "Ya, seharusnya dilupakan tetapi tetap saja gue lupa." Reyna hanya berharap belum terlambat untuk mengubur keingintahuannya. Setelah terdiam sejenak, Reyna mengangkat wajah dengan ragu.

"Niel..."

"Ya?"

"Lu nggak bisa bantu gue memecahkan ketidak tahuan?"

Hening sejenak. Reyna menatap Daniel yang berjalan ke pintu kaca di dekat balkon. "Gue rasa lu bisa bantu gue buat cari tau," sahut Reyna.

Daniel berbalik menghadap Reyna. Seulas senyum tipis tersungging di bibirnya. "Selama ini lu bahagia kalau ketemu dia." Daniel memulai dengan pelan, "tapi gue salah."

Reyna tidak berkata apa-apa. Ia bisa melihat bahwa Daniel memerhatikannya, tetapi ia membiarkan tatapan itu mengatakan sesuai tatapnya.

"Seseorang yang selalu bikin lu bahagia bukankah Rafata," Daniel melanjutkan. "Tapi Rafata tidak bisa bersama lu."

Nila The TimeWhere stories live. Discover now