Hilang Ingatan

5 1 0
                                    

Ia terlalu sibuk memikirkan masalah itu sampai tidak menyadari keberadaan mobil putih di belakangnya. Sebenarnya mobil putih itu sudah mengikutinya sejak Rafata berangkat dari apartemen tadi siang untuk mengantarkan adiknya ke stasiun.

Ketika Rafata membelokkan mobil ke jalan sepi yang merupakan jalan pintas ke apartemen pamannya, mobil putih yang selama ini tetap menjaga jarak di belakang langsung melesat maju melewati mobil Rafata. Rafata buru-buru menginjak rem ketika mobil putih itu berhenti di depannya, menghalangi jalan. Kening Rafata mengerut, "Apa-apaan ini?" Ia melihat ke belakang dan menyadari mobil lainnya sudah berhenti di belakang mobilnya.

Sebelum Rafata sempat memahami apa yang sedang terjadi, sekitar tujuh pria berjaket coklat dan bertampang seram keluar dari kedua mobil arah depan dan belakangnya. Mereka terlihat seperti Preman bayaran. Rafata merasa dirinya berada dalam bahaya, tetapi tidak ada yang bisa dilakukannya sekarang kecuali mencari tahu apa yang diinginkan orang-orang aneh itu.

Dengan perasaan waswas ia membuka pintu mobilnya dan melangkah keluar. Ia menatap ketujuh orang yang berdiri di depannya, lalu mengangkat kedua tangannya ke depan. "Dengar, siapa pun yang sedang kalian cari saat ini, gue yakin salah orang."

"Tidak ada satu pun yang salah, brengsek."

Rafata berbalik cepat dan berhadapan dengan pria berpenampilan rapi yang berumur tiga puluhan, atau mungkin lebih tua dari itu. Sebatang rokok terselip di antara bibirnya yang tipis. Rambut di atas kepalanya sudah mulai menipis, juga memutih tetapi alisnya lebat. Dan hidungnya terluka. Rafata mengerutkan kening. Ia pernah melihat orang itu.

"Lu masih ingat ini?" tanya pria itu dengan nada sinis dan menunjuk hidung terlukanya. Mulutnya melengkung membentuk senyuman mengejek.

Rafata teringat pada orang aneh di hotel kemarin. "Lu yang ada di hotel kemarin?" tanyanya dengan nada ragu.

Alis lebat pria itu terangkat, masih tersenyum sinis. Ia mengepulkan asap rokoknya dan berkata, "Ouh... rupanya lu masih ingat."

"Tapi, gue..."

"Coba lu inget-inget lagi," potong pria itu tajam. "Sebelum itu lu pernah ketemu gue nggak?"

Rafata memutar otak. Siapa pria ini? Apa yang diinginkannya?

"Lu sama sekali tidak ingat?" Mata kecil pria itu menusuk mata Rafata. "Gimana gue katakan kalau masalah kita belum selesai, brengsek?" kata pria itu. Ia mengangguk-angguk dan melanjutkan, "Harus gue akui pukulan lu sangat keras, tapi kurasa sekarang saatnya lu menerima balasan itu."

Tiba-tiba Rafata teringat. Pria ini adalah pria yang menganggu Reyna di tengah jalan malam itu ketika dia pulang dari Majalengka. Rafata memang sempat meninjunya dan sekarang ia ingin membalas dendam? Apakah pria itu salah satu anggota preman bayaran? Sial! Ia sama sekali tidak ingin terlibat dengan preman. Rafata memandang berkeliling, mengamati anak buah pria itu, mempertimbangkan kelemahan situasinya saat itu. Ia tidak yakin bisa mengalahkan ketujuh orang bertampang garang itu. Teta[i bagaimanapun juga ia harus mencobanya. Tidak ada jalan lain.

"Kayaknya lu mulai ingat, bukan?" tanya pria itu. Ia menyeringai, membuang sisa rokoknya ke tanah, dan menginjaknya. "Mungkin sekarang lu bisa terima balasannya karena ikut campur urusan orang lain."

Ia melambaikan tangannya dan keenam anak buahnya bergerak maju menyerang Rafata. Rafata sempat menghindar dari beberapa tinju yang melayang ke arahnya dan sempat meninju rahang beberapa orang pria. Tetapi mereka terlalu banyak dan terlalu ganas. Sementara Rafata sibuk menghindar, ia tidak menyadari salah satu dari pria itu mengambil tongkat kayu dari dalam mobil dan menghampirinya dari belakang.

Rafata berputar dan terkejut melihat tongkat kayu yang diayunkan ke arahnya. Hal terakhir yang terlintas dalam benaknya adalah ia harus menelpon Reyna sore itu, Lalu kepalanya serasa meledak, diikuti percikan cahaya menyilaukan, lalu segalanya berubah gelap.

Nila The TimeWhere stories live. Discover now