Suara teriakan memekakan telinga menggema di sebuah rumah mewah bergaya Eropa. Suara teriakan, ringisan dan tangisan saling mendominasi. Beberapa maid dirumah megah itu hanya bisa meringis mendengarnya.Hujan deras yang mengguyur kota Seoul malam ini seakan tidak terdengar oleh para maid yang sibuk membereskan kekacauan di ruang tamu dengan tangan yang sesekali menyeka air mata.
Suara ini sudah biasa mereka dengar. Bahkan hampir tiap hari para maid di rumah itu mendengar suara tangisan yang lebih menyakitkan.
BRAK
Suara pintu yang dibanting sukses membuat para maid terdiam ditempatnya. Menunduk takut saat pemilik rumah memandang mereka satu persatu dengan tatapan tajamnya.
"Urus anak itu"
Dingin. Ucapan itu terdengar dingin ditelinga para maid. Dengan kaku para maid itu mengangguk.
"Biar saya aja. Kamu tolong ambilkan air kompresan ya" ucap salah satu maid kepada maid yang lain. Setelah memastikan keadaan aman. Maid itu melangkahkan kakinya menuju salah satu kamar.
Tok tok tok
"bibi masuk ya?" Ucapnya sopan. Dengan pelan tangannya memutar kenop pintu dan mendorongnya sedikit.
Isakan itu kembali terdengar saat pintu coklat itu terbuka sepenuhnya. Pemandangan didepannya sungguh membuat hatinya teriris.
Bagaimana bisa seorang ayah yang seharusnya menjadi panutan anaknya malah menjadi seorang iblis yang menakutkan?.
S
eorang anak seharusnya mendapatkan kasih sayang dari kedua orang tuanya. Tapi anak yang bahkan belum menginjak usia 7 tahun ini harus merasakan bagaimana sakitnya tongkat baseball menyentuh punggung kecilnya.
"Jangan nangis. Bibi disini" suara lembut maid nya membuat bocah berusia 6 tahun itu mendongak.
"Bi--bi?" Ucapnya terbata. Maid yang dipanggil bibi itu mau tak mau menahan tangisannya saat melihat wajah bocah didepannya.
Wajahnya penuh luka sayatan, juga beberapa luka lebam yang membiru yang menghiasi perut dan punggungnya. "Iya ini bibi" ucapnya pelan.
"Hiks" isakan itu kembali terdengar. Bahkan lebih memilukan. "Bibi disini. Jangan takut ya?"
Bocah itu mengangguk kecil. Ia memeluk maid didepannya erat. "Bibi jangan pergi"
"Bibi gak akan pergi"
Maka ucapan itulah yang setiap malam membuat bocah itu setidaknya merasa tenang.
Dan sekaligus menjadi ucapan terakhir malam itu.
Karena esoknya. Para maid tidak pernah mendengar suara tangisan dari kamar sang bocah.
Para maid tidak pernah lagi mendengar suara teriakan yang memekakan telinga.
Karena yang mereka dengar malam ini adalah ---
---- suara tawa yang menakutkan.
Suara tawa yang berasal dari kamar sang bocah. Awalnya para maid menyangka jika bocah itu tidak lagi disiksa oleh sang ayah.
Tapi sepertinya mereka salah.
Karena ---
"Oh sudah berani melawan ayah rupanya"
"Kau bukan ayahku, dasar sialan"
-- para maid melihat sendiri. Bagaimana bocah itu menyeret tangan sang ayah menuju dapur. Mendorongnya, memukulnya dan yang membuat seluruh maid dirumah itu membulatkan matanya adalah -
Bocah itu mengguyur sang ayah dengan air keras yang selalu dibawa dan membakarnya.
Dan malam itu, para maid menyadari. Bahwa sang bocah berubah.
Berubah menjadi iblis menakutkan seperti sang ayah.
Bocah itu menyeringai saat api didepannya sudah membakar separuh wajah sang ayah.
Bocah itu berbalik dan mendapati beberapa maid yang menatapnya dengan tatapan terkejut. "Urus bedebah sialan ini" ucapnya sarkas.
Malam yang panjang bagi para maid dan penjaga lainnya untuk memadamkan api yang masih berkobar di dapur. Setelah hampir dua jam akhirnya api dapat dipadamkan oleh bantuan pemadam kebakaran.
Beruntung api tidak begitu menyebar. Jadi hanya bagian dapur saja yang terbakar.
Paginya. Keanehan kembali dirasakan oleh para maid saat bocah itu menangis tersedu disamping peti sang ayah. "Bibi? Ayah kenapa?" Tanya nya dengan suara serak.
Dan sejak hari itu. Para maid menyadari bahwa ada yang tidak beres dari bocah itu.
To Be Continue
Hai haii, aku bawa book baru hehe..
don't forget vote and comment ^^
Next?