1

75 3 5
                                    

Sejauh ini semua baik-baik saja, sudah enam tahun terbiasa dengan kecanggungan antara Andha dan Riga. Meski hanya selalu mendapat penolakan, Andha tak pernah menyerah meminta pergi bersama atau melakukan hal bersama dengan Riga.

"Kak Riga, boleh bareng nggak?" Seperti pagi itu, usai mereka sarapan bersama. Sarapan bersama dan makan malam bersama adalah sebuah tradisi yang berusaha ayahnya pertahankan, meski sekarang saat anak-anaknya telah beranjak dewasa terkadang mereka sarapan atau makan malam dengan tidak lengkap.

"Nggak bisa, gue mau jemput temen." Begitu ketus, seperti biasanya. Begitulah Riga pada Andha. Bahkan Riga sempat menolak habis-habisan ketika ayahnya memutuskan bahwa Andha akan masuk di universitas yang sama. Alasannya, agar Riga setidaknya bisa menjaga Andha. Tapi Riga membenci alasan kekanakan itu.

Andha menghembuskan nafasnya keras, seraya mengendikan bahunya. Sudah tahu jawabannya, tapi Andha hanya ingin mencoba.

Deva memperhatikan pemandangan itu dari teras, duduk disalah satu kursi yang terletak di samping kiri rumahnya, mengikat tali sepatunya bersiap berangkat bekerja. Deva menggelengkan kepalanya yang tertunduk.

"Kenapa Bang?" Reya baru saja keluar dari pintu rumah, menjinjing sepasang sepatu dilengan kirinya. Duduk disamping abangnya, sembari bergegas memakai sepatunya.

"Biasa."

"Riga nolak Andha lagi?"

"Ya lo tau sendiri."

Reya berdecak.

"Andha berangkat sama Mas Reya aja." Reya menghampiri Andha yang masih berdiri didepan rumahnya.

"Nggak mau ah."

"Loh kenapa?"

"Kalo Mas Reya yang nganter temen-temen suka ribut, males." Andha ingat terakhir kali Reya mengantarnya ke kampus dua bulan lalu. Reya mengantar Andha hingga masuk ke halaman kampus, tanpa menduga bahwa dirinya bisa menimbulkan keributan saat ia membuka helmnya. Reya dengan santai membuka helm, tanpa diduga mahasiswi yang melihatnya seketika mengerubutinya. Tak sampai disitu, teman-teman Andha terus mencerca Andha dengan berbagai pertanyaan mengenai kakakknya. Itu membuatnya sangat terganggu.

"Ya resiko Ndha."

"Andha mending naik angkot aja."

"Andha sama abang aja!" Deva berteriak menyondongkan badannya kesamping pintu mobil dari balik kemudinya.

"Panas naik motor." Deva meledek Reya yang berlalu didepan mobilnya untuk mengambil motornya yang masih didalam garasi.

"Elu Bang!!!"

Andha menuju pintu mobil sebelah kiri, memposisikan tubuhnya dengan nyaman, memasang seatbelt, melihat spion, merapikan rambutnya sebentar.

"Kita kan beda arah Bang, emang Abang nggak telat?"

"Mau turun? mau dianter Mas Reya aja?"

"Nggak Bang elah."

Deva nyalakan radio dimobilnya, dia tidak suka menyetir dalam keadaan sepi. Sudah menjadi kebiasaan mendengarkan siaran pagi favoritnya, atau mengemudi ditemani lagu-lagu favoritnya. Baru ia injak pedal gas, matanya melihat ke arah kanan dan kiri memastikan tidak ada kendaraan yang datang saat mobilnya pergi meninggalkan beranda rumahnya.

Deva pandang sejenak adiknya, dia hanya diam memandang entah kemana. Deva biarkan Andha beberapa saat, ia tahu betul apa yang sedang dirasakan adik perempuannya.

"Kamu ngapain sih dek?" Hanya Deva dan ayahnya yang terkadang memanggil Andha dengan sebutan 'Dek'.

"Hah? Andha kan dari tadi duduk Bang." Perubahan ekspresi Andha yang seketika berubah ketika memalingkan wajahnya pada Deva, padahal Deva tahu sedari tadi Andha tidak tersenyum seperti saat ini.

HER, The Gift Of...Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang