Aku menari-nari, melupakan segala penat yang terus saja membuntuti ku selama hampir sepuluh tahun. Dunia malam, seks bebas seolah sudah menjadi bagian dari diriku. Tak ada lagi kata tabu. Tak ada lagi kata nista, karena inilah duniaku.
Dunia di mana aku menjalankan pekerjaan haramku, menyenangkan para wanita kesepian yang membutuhkan jasa pelayanan ranjang ku. Bisa kah kalian tebak apa pekerjaanku?
Ya, aku gigolo. Aku lelaki panggilan yang tak pernah menolak siapapun wanita yang membutuhkan jasaku. Entah itu tua, muda atau bahkan nenek-nenek sekalipun, pastinya akan kulayani asal mereka menjalankan kewajiban mereka, yaitu membayarku.
Uang memang bukan segala nya, tapi segala nya membutuhkan uang.
Pepatah sialan itu lah yang akhirnya memaksaku untuk bekerja di dunia yang penuh dengan dosa ini.
Saat ini, aku turun ke dance floor. Menari, melepas kekangan rasa dosa yang setiap saat semakin menekan batinku tanpa ampun. Tak ku pedulikan lagi sentuhan-sentuhan para wanita yang kini mulai menjamah dada, perut dan bahkan bokongku.
Lelah menari, aku menepi ke meja bar tepat di depan Eric, bartender yang juga merupakan sahabat ku. Lelaki itu tersenyum miring menatapku sambil memegang bongkahan es yang dibentuknya menjadi bulat.
"Sudah cukup lelah, eh?" sindir nya.
Aku hanya mengedikkan bahu. "Menari di sana kurasa setara dengan treadmill selama satu jam." kekeh ku. "Tolong segelas jus jeruk."
Aku terbahak melihat Eric yang melongo karena mendengar pesananku. Ayolah, aku bukan lelaki yang awam akan dunia malam dan bahkan minuman keras. Jadi aku bisa maklum jika Eric sampai kaget mendengar permintaan minumku, segelas jus jeruk.
"James, kau pikir kau sedang di mana? Jika hanya segelas jus jeruk, kurasa kau bisa mampir ke mini market dekat apartemenmu ketimbang bersusah payah datang di bar yang penuh sesak ini." cerca Eric yang kembali ku balas dengan kekehan.
"Aku sedang tidak ingin mabuk. Sangat di sayangkan jika malam liburku harus ku habiskan dengan teler dan berakhir dengan hangover parah di pagi harinya." jelasku santai.
Eric mendengus lalu dengan cekatan menuang jus jeruk ke dalam gelas panjang. Ia menyodorkan gelas itu yang ku balas dengan ucapan terima kasih.
"Ngomong-ngomong, aku tadi bertemu dengan Molly. Dan dia mencarimu."
Aku belum menanggapi ucapan Eric karena asyik dengan segelas jus yang menyegarkan kerongkonganku. "Oh ya?"
Kulihat Eric mengangguk. "Dia terus memohon padaku untuk meminta nomor ponsel mu. C'mon, kau berhubungan bisnis dengan ribuan wanita dan mereka tidak tahu nomormu?" tanya Eric dengan memberi tanda kutip di bagian 'bisnis' pada kata-kata nya.
Aku terbahak kencang. "Apa menurutmu dengan bekerja seperti itu aku bisa sebebasnya memberikan nomor ponselku? Aku masih butuh privasi dan tentu saja space, dude. Jika mereka butuh jasaku, mereka bisa menghubungi Debbie, seperti biasa. Dan aku hanya berhubungan satu malam dengan mereka, tanpa cinta." tekanku pada bagian tanpa cinta.
Eric hanya manggut manggut lalu kembali berkutat dengan bongkahan es nya yang kini sudah bulat sempurna. Kehidupan kami yang sama-sama sulit rupanya mengantarkan kami ke dalam zona hidup yang di luar nalar seperti ini. Mungkin aku sedikit lebih beruntung karena pemilik bar ini begitu menyukai wajahku yang bisa kubilang tampan dan juga bertubuh idaman seluruh hawa. Eric yang sesungguhnya tampan seolah tak mampu menarik minat Debbie. Hingga akhirnya wanita itu menempatkan Eric sebagai bartender di bar elit miliknya ini.
Jauh dalam hatiku, aku justru berpikir kalau Eric lah yang sangat beruntung. Ia bekerja memang berasal dari keringat dan keterampilannya, bukan dari keringat karena keterampilan di atas ranjang sepertiku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Short Story Collection
Short StoryTERSEDIA VERSI LENGKAP DALAM BENTUK PDF Kumpulan cerita romansa pendek