Episode 15 - Damar & Windy

17.6K 1K 143
                                    

Aku menatap istriku yang dengan telatennya sedang menyuapi putri kecil kami dengan semangkuk bubur bayi. Alana namanya. Baru tujuh bulan lalu ia di lahir kan ke bumi oleh istriku yang luar biasa hebat.

Aku tak kuasa melantunkan puji pada Tuhan akan anugerah Nya yang telah memberiku sebuah keluarga kecil nan hangat, kendati kehidupan kami tidak lah sebaik kehidupan orang lain di luar sana.

Aku hanyalah seorang penjaga keamanan sebuah perusahaan besar. Dengan gaji yang tidak terlalu besar, aku berusaha memberikan kebahagiaan pada istriku yang sudah begitu sabar dan pengertian padaku. Serta mulai mencicil tabungan untuk biaya pendidikan putri kami nanti nya.

"Mas, besok mau bawa bekal atau beli di luar?"

Aku tersenyum menatap istriku yang sedang memandang penuh senyum sambil menyuapi bibir kecil Alana dengan bubur rasa daging.

"Kamu repot nggak? Kalau nggak, Mas mau bawa bekal aja, sayang. Lumayan bisa berhemat buat beli bubur nya Alana." aku tidak pernah mau membebani istri ku dengan doktrin-doktrin rumit karena ia pun sudah lelah seharian mengurus rumah, bayi kecil kami serta aku. Tak seharusnya aku membebankan sesuatu yang semakin membuat nya lelah.

Windy, istriku, tersenyum lembut sambil mengusap pipiku. "Aku nggak pernah ngerasa repot, Mas. Ini tugas dan kewajibanku buat mengurus kamu dan juga Alana."

Aku menatap nya haru. Windy bukanlah orang sederhana sepertiku. Orang tua nya adalah pemilik kerajaan bisnis yang menggurita di seantero tanah air. Di mulai dari kepemilikan sebuah bank, situs belanja online, bahkan pemilik sebuah kampus ternama. Suatu keberuntungan bagiku karena mampu menjadikan Windy sebagai istriku.

Bukan karena ingin menguras harta mereka, namun karena kepatuhan dan pengertian dari Windy yang mau hidup susah bersama ku mengarungi biduk rumah tangga.

"Yasudah, besok bawain Mas bekal ya. Apa aja yang ada di dapur dan yang bisa kamu masak, Mas pasti akan makan." aku mengusap surai lembut istriku dan memberi kecupan tanda cintaku.

Windy tersenyum lebar. "Oke. Besok aku masakin semur telur ya. Kebetulan cuma ada telur di dapur. Nggak apa-apa kan, Mas?"

Aku mengangguk. Telur adalah makanan juga, yang bagiku terasa mewah. Bersyukur karena aku masih bisa merasakan nikmat nya telur di saat yang lainnya kesulitan bahkan hanya untuk menyuap nasi sesendok.

"Iya sayang. Mas mau. Makasih ya."

Windy mengangguk. Wajah nya kini sudah berganti sedikit mendung. "Mas, tadi Mami telepon aku. Kita diundang buat acara tunangannya Mikha."

Aku tersenyum maklum. Hubungan kami dan keluarga Windy memang tidak baik karena keputusan Windy untuk menerima pinanganku alih-alih lelaki tampan nan kaya raya pilihan orang tua nya.

"Kalo gitu kita harus dateng, sayang."

Mata Windy membelalak horor dan menggeleng cepat. "Dengan berisiko melihat Mas di hina di hadapan para kolega dan keluarga besarku? Nggak Mas, makasih."

Aku menghela napas panjang dan merengkuh tubuh istriku yang saat ini sudah bergetar karena menangis.

"Mas nggak mencuri dan Mas nggak melakukan pekerjaan kotor. Mas nggak berhak mendapat hinaan mereka. Kamu suamiku, Mas. Aku nggak akan sanggup lihat kamu dihina di depan ratusan tamu undangan. Aku tau, ini pasti rencana mereka buat sengaja bikin kamu malu." isak nya tersedu-sedu.

Hatiku merintih melihat istriku menangisi diriku. Pekerjaanku dianggap sebagai pekerjaan paling hina di keluarga istriku karena nyata nya, di keluarga besar nya, pekerjaan paling rendah adalah sebagai dokter.

Short Story CollectionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang