BAGIAN 4

550 23 0
                                    

Begitu cepat Pendekar Rajawali Sakti melesat, sehingga dalam sekejap saja sudah berdiri tegak di tengah-tengah halaman depan rumah yang tidak begitu luas ini. Sementara, Ki Andak sudah berdiri di tepian beranda. Pandangannya pun begitu tajam beredar berkeliling.
Kesunyian begitu mencekam di malam yang sangat gelap ini. Begitu sunyinya sehingga desir angin begitu jelas mengusap daun telinga. Bahkan sisa-sisa titik air di dedaunan yang jatuh pun begitu jelas terdengar suaranya. Cukup lama juga kesunyian yang menegangkan ini berlangsung. Sementara, Rangga mengarahkan pandangan pada Ki Andak yang masih berdiri di tepian beranda depan rumahnya.
"Kau lihat ada orang, Rangga?" tanya Ki Andak dengan suara agak keras.
Rangga hanya menggelengkan kepala saja. Memang, tidak terlihat seorang pun di sekitarnya. Keadaan begitu gelap, dan berkabut. Sulit untuk melihat jarak jauh. Bahkan juga tidak terdengar suara yang mencurigakan. Benar-benar sulit. Tapi Pendekar Rajawali Sakti kembali mengedarkan pandangan ke sekeliling, dan tetap memasang telinganya tajam-tajam. Dan ketika pandangannya tertuju ke atap rumah....
"Heh...?!"
Wusss!
"Haits...!"
Cepat sekali Rangga melentingkan tubuh, begitu tiba-tiba dari atap rumah melesat secercah cahaya keperakan bagai kilat ke arahnya. Begitu cepat cahaya kilat keperakan itu meluruk, sehingga hanya sedikit saja lewat di antara putaran tubuh Rangga di udara.
"Hup!"
Cepat Pendekar Rajawali Sakti melesat ke atas atap, begitu berhasil menghindari serangan cahaya kilat keperakan. Begitu sempurna ilmu meringankan tubuhnya sehingga dalam waktu sekejap saja sudah mendarat di atas atap rumah Ki Andak. Sedikit pun tidak terdengar suara, saat kedua kakinya menjejak atap.
Belum juga Pendekar Rajawali Sakti bisa menarik napas, dari bawah melesat sebuah bayangan begitu cepat ke arahnya. Dan tahu-tahu, di samping pemuda berbaju rompi putih itu sudah berdiri Ki Andak. Dan pada saat itu, mereka melihat sebuah bayangan berkelebat begitu cepat di belakang rumah, lalu langsung lenyap ditelan lebatnya pepohonan.
"Tidak perlu dikejar," kata Ki Andak cepat-cepat
Rangga yang akan mengejar bayangan itu, jadi mengurungkan niatnya. Ditatapnya laki-laki tua yang baru sore tadi ini dikenalnya. Dan tanpa bicara sedikit pun juga, Ki Andak melompat turun dari atap rumahnya, diikuti Rangga. Hampir bersamaan mereka kembali menjejakkan kaki di tanah, dan kembali masuk ke dalam beranda. Mereka duduk lagi di beranda itu tanpa bicara sedikit juga. Namun, terdengar beberapa kali tarikan napas dan hembusan napas yang agak memburu. Jelas sekali kalau malam ini mereka didatangi dua orang yang tidak jelas maksudnya. Begitu tiba-tiba menyerang, dan begitu cepat pula menghilang tanpa meninggalkan jejak sedikit pun.
"Aku tahu orang kedua yang muncul tadi, Ki," kata Rangga baru membuka suara, setelah cukup lama terdiam.
"Jaka Anabrang...," desah Ki Andak, langsung menebak tepat.
"Ya! Dialah yang selama ini kucari," sahut Rangga, juga dengan suara pelan, agak mendesah.
Ki Andak terdiam. Tatapan matanya langsung menembus bola mata Pendekar Rajawali Sakti yang memancar kosong dan lurus ke depan. Saat itu, dari dalam rumah keluar Rara Ayu Ningrum. Gadis itu duduk di sebelah kanan Ki Andak. Sementara Rangga hanya melirik sedikit saja. Sedangkan gadis itu memandanginya dengan sinar mata sukar sekali diartikan.
Entah berapa lama mereka terdiam membisu, sibuk dengan jalan pikiran masing-masing. Sementara, malam terus merambat naik semakin larut. Dan udara pun semakin terasa dingin menggigit kulit. Hanya suara-suara serangga malam saja yang terus mengisi kekosongan dan kesunyian malam ini.

***

Semalaman penuh Rangga tidak bisa memicingkan matanya sekejap pun juga. Badan dan pikirannya terasa lelah sekali, tapi sedikit pun tidak bisa mengistirahatkannya. Hatinya masih merasa belum bisa tenang, sebelum bisa mengetahui keadaan Pandan Wangi yang sampai saat ini masih berada di dalam cengkeraman Jaka Anabrang.
Pagi-pagi sekali, di saat matahari belum juga menampakkan dirinya, Pendekar Rajawali Sakti sudah keluar dari rumah Ki Andak. Di depan, tampak Rara Ayu Ningrum tengah membereskan beranda. Gadis itu hanya melirik saja saat Rangga melewatinya tanpa menegur sedikit pun. Seketika pekerjaannya dihentikan begitu melihat Pendekar Rajawali Sakti terus berjalan keluar tanpa menoleh sedikit pun padanya.
"Kakang...," panggil Rara Ayu Ningrum.
Rangga menghentikan langkahnya tanpa sedikit pun berpaling. Dan dia tetap berdiri tegak, tanpa memutar tubuhnya. Sementara, Rara Ayu Ningrum terus memandangi dari beranda sambil melangkah perlahan-lahan menghampiri pemuda tampan berbaju rompi putih yang pada punggungnya bertengger sebilah pedang bergagang kepala burung. Rara Ayu Ningrum sengaja melewatinya sedikit, kemudian berdiri sekitar tiga langkah di depan Pendekar Rajawali Sakti.
"Kau akan ke mana?" tanya Rara Ayu Ningrum.
"Pergi," sahut Rangga datar.
"Pergi? Ke mana?" tanya Rara Ayu Ningrum lagi.
Kedua bola mata indah milik gadis itu terusmenerus memandangi sepasang bola mata Pendekar Rajawali Sakti yang memandang lurus ke depan. Sinar matanya kelihatan kosong, seperti tidak memiliki arti sama sekali. Entah kenapa, pagi ini sikap Pendekar Rajawali Sakti jadi berubah. Dan tentu saja membuat Rara Ayu Ningrum jadi bertanya-tanya dalam hati.
"Kau ingin meninggalkan kami begitu saja, Kakang? Apa sudah tidak ingat lagi pesan kakek...?" terdengar agak ditahan nada suara Rara Ayu Ningrum.
Rangga hanya diam saja. Dihembuskannya napas panjang, yang terasa begitu berat. Sama sekali kata-kata Ki Andak semalam tidak dilupakannya. Laki-laki tua itu menginginkannya untuk bersatu, menghadapi Jaka Anabrang dan Setan Perak Lembah Mayat. Dan malam itu, Rangga memang tidak berkata apa-apa sedikit pun juga. Keinginan Ki Andak tidak disetujuinya, juga tidak ditolaknya. Tapi entah kenapa, dia merasakan kalau urusannya dengan Jaka Anabrang adalah urusan pribadinya sendiri. Dan Pendekar Rajawali Sakti tidak memerlukan siapa pun juga untuk menemaninya. Yang jelas, Jaka Anabrang ingin dihadapinya seorang diri.
Walaupun disadari kalau tidak mudah menghadapi pemuda yang bersenjatakan Pedang Halilintar yang dahsyat itu, tapi tetap saja dalam hati Rangga hanya ingin sendirian saja menghadapinya. Terutama, membebaskan Pandan Wangi dari cengkeramannya. Walau maksud dan tujuannya sangat baik, tapi yang jelas tujuan Ki Andak berbeda jauh sekali dengan Pendekar Rajawali Sakti. Walaupun, sama-sama bersifat pribadi.
"Aku akan mencari Jaka Anabrang, di manapun kini berada," kata Rangga pelan, seperti bicara pada diri sendiri.
"Aku tahu, Kakang. Tapi kakek bilang, kita harus menghadapinya bersama-sama. Jaka Anabrang terlalu tangguh bila Pedang Halilintar bersamanya. Terlebih lagi sekarang ini, dia sudah mempunyai pengikut yang tidak sedikit jumlahnya. Kau harus pikirkan itu, Kakang," kata Rara Ayu Ningrum mengingatkan.
"Semuanya sudah kupikirkan, Ningrum. Terima kasih atas perhatianmu," ucap Rangga seraya menatap gadis itu dan memberikan senyuman manis.
Dan ternyata, jelas sekali terlihat garakan di bibir Pendekar Rajawali Sakti saat memberikan senyuman. Dan Rara Ayu Ningrum tahu, senyuman itu teramat dipaksakan. Bisa dirasakan juga kepedihan hati pemuda tampan ini, walaupun tidak tahu tentang Pandan Wangi yang sesungguhnya. Dan yang diketahuinya, Pandan Wangi adalah adik Pendekar Rajawali Sakti ini.
Di sisi lain, Rara Ayu Ningrum juga tidak tahu kalau pemuda tampan yang kini berdiri di depannya adalah seorang pendekar muda digdaya yang sudah begitu kondang sekali julukannya di dalam rimba persilatan. Gadis itu tidak tahu, Rangga adalah Pendekar Rajawali Sakti. Dan Rangga sendiri memang tidak pernah menceritakan tentang dirinya yang sebenarnya, baik pada Ki Andak sekalipun.
"Aku pergi dulu, Ningrum," pamit Rangga.
"Kakang..."
Rara Ayu Ningrum cepat mencegah langkah Rangga, dengan mencekal pergelangan tangan kanan. Seketika, Rangga jadi menghentikan langkahnya yang baru dua tindak. Ditatapnya wajah cantik itu dalam-dalam. Kemudian dipandanginya pergelangan tangannya yang dipegang gadis itu kuat-kuat. Halus sekali Pendekar Rajawali Sakti melepaskan cekalan tangan gadis itu. Sementara bibirnya terlihat melepaskan senyuman.
"Kau hanya akan mengantarkan nyawa saja bila pergi sendiri, Kakang," kata Rara Ayu Ningrum masih mencoba mencegah.
Tapi kekhawatiran Rara Ayu Ningrum hanya dibalas senyuman saja. Pendekar Rajawali Sakti menarik kakinya sejauh tiga langkah dari gadis ini, setelah pergelangan tangannya tidak dipegangi lagi.
"Aku tahu kau cemas, Ningrum. Tapi, percayalah. Aku bisa menjaga diri," kata Rangga mencoba menenangkan.
"Tapi, Kakang..."
Belum selesai kata-kata Rara Ayu Ningrum, tiba-tiba saja terlihat sebatang anak panah meluncur cepat bagai kilat ke arahnya. Rangga yang melihat lebih dulu, segera cepat melesat dan mengibaskan tangannya.
Tappp!
Anak panah itu berhasil ditangkap, tepat di saat ujungnya hampir saja menyentuh dada Rara Ayu Ningrum yang membusung indah. Cepat Pendekar Rajawali Sakti menarik tangan gadis itu, dan membawa ke belakangnya. Sedikit matanya melirik anak panah yang kini berada dalam genggaman tangan kanannya. Kemudian...
"Hih! Yeaaah...!"
Sambil mengerahkan kekuatan tenaga dalamnya yang sudah mencapai tingkat sempurna, Rangga melemparkan anak panah itu ke arah datangnya tadi. Begitu sempurna pengerahan tenaga dalamnya, sehingga anak panah yang dilemparkan kembali meluncur deras bagai kilat. Anak panah itu terus meluncur, dan langsung menembus segerumbul semak belukar di antara pepohonan. Maka seketika itu juga...
Srak!
Crab!
"Aaakh...!"
Satu jeritan panjang dan melengking tiba-tiba terdengar begitu menyengat, disusul munculnya seorang laki-laki dari dalam semak. Tampak sebatang anak panah tertancap tepat di tenggorokannya. Orang itu kemudian jatuh terguling, menyemburkan darah dari lehernya yang tertembus anak panah. Rangga dan Rara Ayu Ningrum bergegas menghampiri, tapi ternyata orang itu sudah tidak bernyawa lagi.
"Kau kenal dia, Kakang?" tanya Rara Ayu Ningrum.
Rangga tidak langsung menjawab. Dipandanginya wajah laki-laki yang masih muda itu. Dan memang, sama sekali tidak dikenalnya. Apalagi melihatnya. Pendekar Rajawali Sakti memeriksa mayat laki-laki itu, tapi tak ada yang bisa ditemukan. Perlahan kemudian kepalanya berpaling, dan memandang Rara Ayu Ningrum yang ternyata juga tengah memandangnya. Saat itu, terlihat Ki Andak keluar dari dalam rumah dengan langkah lebar-lebar menghampiri. Mungkin jeritan orang ini telah didengarnya tadi, sehingga cepat-cepat keluar dari dalam rumahnya.
"Ada apa...?!" tanya Ki Andak langsung, begitu dekat
"Orang ini menyerangku dengan panah, Kek. Dan Kakang Rangga yang mengembalikan panahnya," sahut Rara Ayu Ningrum, seraya menunjuk mayat pemuda yang tergeletak dengan leher tertancap anak panah.
"Kau kenal dia, Rangga?" tanya Ki Andak, seraya merayapi wajah mayat pemuda itu.
Rangga hanya menggelengkan kepala saja.
"Hm...," Ki Andak menggumam pelan.
Laki-laki tua itu membungkuk sedikit, dan memeriksa beberapa bagian tubuh mayat ini. Tak lama, tubuhnya kembali tegak. Langsung ditatapnya Rangga, kemudian beralih pada Rara Ayu Ningrum. Satu tarikan napas panjang terdengar, disertai hembusan napas yang begitu berat.
"Dia salah seorang pengikut Jaka Anabrang," jelas Ki Andak.
"Kau mengenalinya, Ki?" tanya Rangga.
"Aku tidak kenal orangnya. Tapi tanda pada dada kiri itu menyatakan kalau dia pengikut Jaka Anabrang," sahut Ki Andak, seraya menunjuk sebuah tanda hitam bergambar seekor kelelawar pada dada kiri mayat itu.
"Hm...," Rangga menggumam pelan, seraya melirik tanda bergambar kelelawar itu.
Kemudian Pendekar Rajawali Sakti kembali menatap Ki Andak yang masih terus memperhatikan mayat pemuda ini. Sedangkan Rara Ayu Ningrum diam saja, tidak membuka suara sedikit pun juga. Pandangannya selalu berpindah dari Ki Andak ke Pendekar Rajawali Sakti. Entah apa yang ada dalam pikirannya saat itu. Dan untuk beberapa saat, tidak ada seorang pun yang membuka suara.
"Ayo ke dalam," ajak Ki Andak.
Tanpa menunggu jawaban sedikit pun, laki-laki tua itu melangkah kembali ke rumahnya. Sementara, Rangga dan Rara Ayu Ningrum mengikuti dari belakang, meninggalkan begitu saja mayat pemuda pengikut Jaka Anabrang. Sementara dalam benak Rangga terus bertanya-tanya, kenapa Jaka Anabrang malah mengejarnya? Bukankah justru dirinya sendiri yang telah mengejar pemuda penculik Pandan Wangi itu....? Begitu banyak pertanyaan bergayut di dalam benak Pendekar Rajawali Sakti, tapi semuanya tidak ada yang terjawab. Dan semua pertanyaan itu hanya tersimpan dalam kepalanya.
Sementara, mereka sudah berada di depan, duduk di lantai yang hanya beralaskan selembar tikar pandan. Rara Ayu Ningrum masuk ke dalam. Tapi tidak lama kemudian, sudah keluar lagi sambil membawa sebuah baki kayu berisi beberapa buah gelas bambu dan makanan-makanan kecil. Gadis itu mengambil tempat, duduk di samping kanan Pendekar Rajawali Sakti.
"Kau masih akan pergi juga setelah kejadian tadi, Rangga?" tanya Ki Andak, langsung menatap mata Pendekar Rajawali Sakti dengan sinar mata begitu tajam.
Rangga tidak langsung menjawab. Malah dibalasnya tatapan orang tua itu dengan sinar mata yang begitu sulit diartikan. Dan untuk beberapa saat, tidak ada yang membuka suara. Sementara, Ki Andak tampaknya terus menunggu jawaban Pendekar Rajawali Sakti.
"Entahlah, Ki. Tapi, secepatnya aku harus membebaskan Pandan Wangi," kata Rangga, menjawab pertanyaan Ki Andak tadi.
"Kau tahu, di mana Jaka Anabrang menyembunyikan adikmu itu?" tanya Ki Andak lagi.
Rangga hanya menggelengkan kepala saja.
"Tapi aku yakin tidak jauh dari sini, Kek," selak Rara Ayu Ningrum.
"Hm.... Bagaimana kau bisa menduga demikian, Ningrum?" tanya Ki Andak.
"Sudah dua kali terjadi, Kek. Dan aku yakin, bukan hanya Kakang Rangga saja yang menjadi incaran. Tapi juga kita," sahut Rara Ayu Ningrum. "Bukankah Kakek juga salah satu dari gurunya...?"
"Kau benar, Ningrum. Aku memang sempat mengajarkan jurus-jurus ilmu kedigdayaan tingkat tinggi yang bisa dikuasainya dengan sempurna. Bahkan lebih sempurna dari yang kumiliki," kata Ki Andak.
"Dari semua gurunya, sudah ada tujuh orang yang tewas, Kek. Dan aku merasa pasti semua gurunya hendak dilenyapkannya," kata Rara Ayu Ningrum mengemukakan pendapatnya.
"Aneh...," desis Rangga tanpa sadar, seperti hanya dirinya sendiri saja yang ada di beranda depan ini.
"Apanya yang aneh, Kakang?" tanya Rara Ayu Ningrum.
"Ya... Rasanya sangat aneh kalau seorang murid hendak melenyapkan gurunya," sahut Rangga. "Bukankah seharusnya murid harus berbakti pada gurunya? Bukan malah melenyapkannya...! Tapi, Jaka Anabrang justru sebaliknya. Semua gurunya didatanginya, setelah berhasil menguasai Pedang Halilintar untuk dibunuhnya dengan pedang itu. Apa ini tidak aneh...?"
"Kau benar, Rangga. Memang tindakan Jaka Anabrang sangat aneh, dan sukar diterima akal. Hm... Apa kau ada pemikiran lain, Rangga?" ujar Ki Andak.
Rangga tidak langsung menjawab. Malah ditatapnya Rara Ayu Ningrum. Sedangkan gadis itu malah menundukkan kepalanya. Seakan, dia tidak ingin bertatapan dengan Pendekar Rajawali Sakti. Dan, pandangan Rangga pun kembali beralih pada Ki Andak.
"Aku merasa ada sesuatu yang aneh pada dirinya, Ki. Tapi..., entahlah," ujar Rangga, seakan-akan ragu mengucapkannya.
"Kek, apa mungkin jiwa dan pikiran Jaka Anabrang sudah dikendalikan orang lain?" selak Rara Ayu Ningrum, juga terdengar ragu-ragu nada suaranya.
"Kalau memang benar, siapa yang bisa mengubah dan menguasai jiwa serta pikiran seseorang...?" Ki Andak malah balik bertanya. Tapi, nada suaranya seperti bertanya pada diri sendiri.
Tentu saja tidak ada yang bisa menjawab pertanyaan Ki Andak. Kini mereka semua terdiam, memikirkan jawabannya. Sebuah pertanyaan yang sangat sulit dijawab, karena saat ini mereka semua masih meraba-raba. Tapi yang jelas, semua pertanyaan itu akan terjawab kalau mereka sudah bertemu Jaka Anabrang. Dan ini yang menjadi persoalannya, tidak ada seorang pun yang tahu keberadaan Jaka Anabrang kini.
Jaka Anabrang sudah bagaikan siluman saja. Kemunculannya tidak pernah diketahui. Bahkan kepergiannya pun sangat sulit dicari jejaknya. Dan di saat mereka tengah terdiam, tiba-tiba saja....
Wusss...!
Jleb!
Mereka jadi terkejut. Serentak mereka berlompatan bangun, begitu-tiba-tiba sebatang anak panah melesat cepat, dan menancap tepat di tempat Ki Andak duduk tadi. Untung saja, orang tua itu cepat melompat. Sehingga, anak panah itu hanya menancap di lantai beranda yang tadi didudukinya. Ki Andak bergegas menghampiri anak panah dari besi baja itu, dan mencabutnya dengan sedikit pengerahan tenaga.
"Ada suratnya...," gumam Ki Andak sambil memperhatikan anak panah itu.
Ki Andak segera membuka gulungan daun lontar yang terikat pada bagian tengah batang anak panah itu. Sementara, Rangga dan Rara Ayu Ningrum sudah menghampiri. Hati-hati sekali Ki Andak membuka. Keningnya langsung berkerut, begitu melihat baris-baris tulisan yang tertera pada lembaran daun lontar ini.
"Apa isinya, Ki?" tanya Rangga.
"Peringatan..., atau mungkin tantangan untukku," sahut Ki Andak, seraya menyerahkan lembaran daun lontar kering itu pada Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti mengambil, dan langsung membaca tulisan yang tertera pada lembaran daun lontar ini. Sebentar kemudian ditatapnya Ki Andak. Sementara Rara Ayu Ningrum cepat merebut daun lontar itu, dan membaca tulisannya dengan kening berkerut. Juga, ditatapnya Ki Andak setelah membaca tulisan pada daun lontar itu. Kemudian tatapannya beralih pada Rangga yang berdiri di sebelahnya.
"Kau ingin membalasnya, Ki?" tanya Rangga setelah beberapa saat semuanya diam.
Ki Andak tidak menjawab, tapi hanya tersenyum saja penuh arti. Hanya saja, senyumnya terlalu sulit diartikan. Bahkan untuk membaca jalan pikirannya pun tidak mudah. Laki-laki berusia lanjut itu kembali duduk bersila di beranda depan ini. Hanya selembar tikar anyaman daun pandan saja yang menjadi alasnya. Sementara, Rangga dan Rara Ayu Ningrum masih tetap berdiri memandanginya.

***

90. Pendekar Rajawali Sakti : Rajawali MurkaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang