BAGIAN 3

538 21 0
                                    

Rangga benar-benar tidak menyangka, kalau cucu yang dikatakan Ki Andak ternyata seorang gadis berusia sekitar delapan belas tahun. Wajahnya sangat cantik, bagaikan seorang putri bangsawan. Sikapnya pun teramat lembut. Sungguh sulit dipercaya kalau di tempat terpencil yang sangat jauh dari pemukiman penduduk, tinggal seorang gadis yang sangat cantik bagai bidadari.
Ki Andak mengenalkan cucunya pada Pendekar Rajawali Sakti. Saat menyebutkan namanya, suara gadis itu terdengar sangat halus dan lembut. Begitu halusnya, sampai-sampai Rangga hampir tidak bisa menyebutkan namanya sendiri. Rara Ayu Ningrum.... Nama yang sangat cocok untuk seorang gadis cantik seperti cucu Ki Andak ini.
Sementara itu, senja sudah berganti. Dan malam pun sudah datang menyelimuti sebagian permukaan bumi. Malam yang begitu pekat, sedikit pun tak terlihat cahaya bulan maupun bintang di langit. Seluruh angkasa terselimut awan tebal menghitam. Dan angin pun bertiup sangat kencang, sebuah pertanda kalau malam ini akan diwarnai guyuran air hujan.
Saat itu, Rangga masih duduk di beranda depan rumah Ki Andak. Hanya sebuah pelita kecil saja yang menemani. Nyala apinya pun redup, dan seringkali hampir padam tertiup angin malam yang cukup kencang. Rangga memalingkan kepala sedikit, saat telinganya mendengar suara langkah kaki keluar dari dalam. Agak terkejut juga hatinya, begitu melihat Rara Ayu Ningrum datang menghampiri membawa sebuah baki berisi gelas bambu yang mengepulkan uap hangat. Gadis itu duduk tidak jauh di samping Pendekar Rajawali Sakti. Lalu disodorkannya baki kayu itu ke depan Rangga.
"Untukku...?" tanya Rangga memastikan.
Rara Ayu Ningrum hanya mengangguk saja sambil tersenyum kecil.
"Terima kasih," ucap Rangga seraya mengambil gelas bambu itu. Dihirupnya sedikit minuman hangat itu. Dengan sudut matanya, diliriknya wajah yang cantik dan selalu tertunduk ini.
Sementara, angin malam yang kencang mempermainkan rambut Rara Ayu Ningrum yang tergerai. Bau harum langsung menyeruak menusuk lubang hidung Pendekar Rajawali Sakti.
"Sudah cukup malam. Kau belum tidur...?" tanya Rangga seraya mengarahkan pandangan lurus ke depan.
"Aku sudah biasa tidur sampai larut malam," sahut Rara Ayu Ningrum.
"Ki Andak sudah tidur?" tanya Rangga.
"Sudah. Kakek selalu masuk kamar setiap kali pulang dari bepergian. Baru besok pagi keluar dari kamarnya."
"Kakekmuu pergi setiap hari?"
Rara Ayu Ningrum hanya menganggukkan kepala saja sedikit. Dan Rangga pun hanya melihat dengan lirikan matanya saja. Kembali mereka terdiam membisu, menikmati hembusan angin yang menyebarkan udara cukup dingin ini. Saat itu, terlihat percikan kilat menyambar bagai hendak membelah langit yang kelam. Dan titik-titik air pun mulai jatuh menyiram bumi.
"Sebaiknya kau masuk saja, Rara Ayu Ningrum. Udara di depan sini terlalu dingin untukmu," ujar Rangga.
"Aku sudah terbiasa keadaan di sini," tolak Rara Ayu Ningrum. "Sebaiknya, jangan panggil aku dengan nama lengkap begitu. Panggil saja Ningrum." Rangga hanya tersenyum saja. "Dan aku akan memanggilmu kakang. Bagaimana...?"
"Boleh," sahut Rangga diiringi senyum.
Dan kembali mereka terdiam untuk beberapa saat. Sementara di luar beranda, hujan sudah turun lebat sekali. Kilat pun semakin sering berkelebat membelah angkasa, diiringi ledakan guntur yang memekakkan telinga.
"Kakang.... Tadi kakek mengatakan kalau kau sedang mencari adikmu. Benar...?" tanya Rara Ayu Ningrum sambil menatap wajah Rangga dalam-dalam.
"Ya...," sahut Rangga agak mendesah, sambil menghembuskan napas panjang.
"Adikmu perempuan?"
Rangga menjawab dengan anggukan kepala.
"Sudah berapa lama?"
"Baru siang tadi."
"Kau tahu, siapa yang menculiknya?"
Lagi-lagi Rangga menganggukkan kepala, menjawab pertanyaan gadis itu. Dan pandangannya pun terus tertuju ke depan, seakan hendak menembus tirai curah hujan yang turun lebat sekali.
"Siapa orang yang menculik adikmu, Kakang?"
"Jaka Anabrang," sahut Rangga berterus terang.
"Jaka Anabrang...," desah Rara Ayu Ningrum mengulangi nama yang disebutkan Rangga.
Dan kembali mereka terdiam. Entah kenapa, Rangga suka sekali memperhatikan wajah cantik yang berada di sebelahnya dengan sudut matanya. Saat itu, Rara Ayu Ningrum tengah mengarahkan pandangannya lurus ke depan, sehingga tidak menyadari kalau Rangga tengah menjilati wajahnya dengan ekor matanya.
"Jaka Anabrang...," kembali Rara Ayu Ningrum menggumamkan nama orang yang membawa kabur Pandan Wangi.
"Kau kenal dengannya, Ningrum?" tanya Rangga.
"Entahlah, Kakang. Aku seperti pernah mendengar nama itu," sahut Rara Ayu Ningrum, agak mendesah suaranya.
Sepertinya gadis itu ragu-ragu atas jawabannya sendiri. Sedangkan Rangga sudah tidak lagi melirik, tapi menatap dalam-dalam wajah cantik gadis itu. Tapi yang dipandangi tetap memandang lurus ke depan, bagai memperhatikan curahan air hujan yang semakin deras turun menghantam bumi.
"Mungkin kakek tahu nama itu, Kakang," duga Rara Ayu Ningrum, seraya berpaling.
Saat itu juga, pandangan mata mereka bertemu. Tapi mereka sama-sama cepat mengalihkan ke arah lain.
"Seharusnya persoalanmu kau ceritakan pada kakek, Kakang. Barangkali saja kakek dapat membantu," kata Rara Ayu Ningrum lagi.
"Sudah," sahut Rangga singkat.
"Tapi kau belum jelas menceritakannya, bukan...? Kau hanya mengatakan kalau sedang mencari adikmu yang diculik orang. Hanya itu yang kakek katakan padaku," kata Rara Ayu Ningrum.
Rangga hanya diam saja. Memang semua yang terjadi belum diceritakan pada Ki Andak. Bahkan juga belum mengatakan yang sebenarnya pada gadis ini. Dia hanya mengatakan sedikit dari semua yang telah terjadi, sampai terpisah dengan Pandan Wangi sekarang ini.
"Aku sudah cukup merepotkan kalian berdua, Ningrum. Aku tidak ingin menambah repot lagi," tolak Rangga, halus.
"Sama sekali tidak, Kakang. Kakek memang sering menolong orang yang sedang mengalami kesulitan. Aku yakin, kakek pasti bisa menolongmu," tegas Rara Ayu Ningrum. Rangga hanya diam saja. "Kakek bukan hanya seorang tabib, tapi dulu juga seorang pendekar. Ilmu-ilmu yang dimilikinya sangat tinggi. Bahkan di sekitar Lembah Mayat ini, tidak ada yang bisa menandinginya. Kecuali...," Rara Ayu Ningrum tidak melanjutkan.
"Kecuali apa, Ningrum?" tanya Rangga ingin tahu.
"Kecuali si Setan Perak Lembah Mayat, yang menguasai seluruh daerah Lembah Mayat yang ada di tengah-tengah hutan sana," sahut Rara Ayu Ningrum seraya menunjuk ke depan.
"Ki Andak pernah bertarung dengannya?" tanya Rangga.
"Pernah. Hanya kakek saja orang satu-satunya yang bisa keluar dari Lembah Mayat dalam keadaan hidup. Entah sudah berapa puluh orang yang mencoba menantangnya, namun tidak pernah terdengar lagi namanya. Termasuk...," kembali Rara Ayu Ningrum memutuskan kata-katanya.
"Termasuk siapa, Ningrum...?" desak Rangga ingin tahu.
"Ah...!"
Plak!
Rara Ayu Ningrum menepak keningnya sendiri, seakan baru teringat sesuatu. Sedangkan Rangga memandangi wajah cantik gadis itu dalam-dalam.
"Aku baru ingat sekarang, Kakang. Pantas sejak tadi nama orang yang menculik adikmu pernah kudengar. Huh...! Aku ingat sekarang, Kakang. Aku tahu. Tapi..., apa benar Jaka Anabrang yang menculik adikmu, Kakang...?"
"Aku tidak pernah menuduh orang sembarangan, Ningrum. Bahkan aku sempat bertarung dengannya," tegas Rangga.
"Mustahil...," desis Rara Ayu Ningrum seraya menggelengkan kepala beberapa kali.
"Kenapa mustahil...?" tanya Rangga jadi heran.
"Itu bisa saja terjadi, Ningrum..."
"Heh...?!"
"Oh...!"
Rangga dan Rara Ayu Ningrum jadi tersentak kaget, ketika tiba-tiba saja terdengar suara dari belakang. Bersamaan mereka berpaling ke belakang. Ternyata, tahu-tahu Ki Andak sudah berdiri di ambang pintu. Laki-laki yang sudah lanjut usia itu melangkah menghampiri, duduk bersila di antara Rangga dan Rara Ayu Ningrum.
"Aku sudah mendengar semua pembicaraan kalian berdua sejak tadi," kata Ki Andak
"Maaf, Ki. Kalau pembicaraan kami mengusik tidurmu," ucap Rangga sopan.
"Tidak, Rangga. Aku memang tidak tidur, dan mendengar semua yang dibicarakan. Dan aku begitu tertarik setelah kau menyebutkan nama Jaka Anabrang," sahut Ki Andak.
Rangga terdiam. Dan Rara Ayu Ningrum juga tidak bicara lagi. Gadis itu lalu bangkit, dan masuk ke dalam. Tapi, tidak lama kemudian dia keluar lagi sambil membawa dua gelas bambu dan sebuah kendi dari tanah liat yang mengepulkan uap hangat dari lubang yang terdapat di atasnya. Dituangnya minuman hangat dari dalam kendi tanah liat itu ke dalam dua gelas bambu yang dibawanya dari dalam. Satu gelas disorongkan ke depan Ki Andak, kemudian diisinya kembali gelas Rangga yang telah kosong
"Sebenarnya, aku sendiri sedang mencari anak itu, Rangga. Sudah sejak lama aku curiga padanya. Dan semua kecurigaanku ternyata menjadi kenyataan. Sayang..., mereka tidak pernah mau mendengar kata-kataku. Dan setelah semuanya terjad, kesalahannya dilimpahkan pada Pendeta Gondala," kata Ki Andak dengan suara terdengar pelan.
Hampir sulit ditangkap telinga suara Ki Andak, karena hampir hilang ditelan suara air hujan yang turun bagaikan dituang dari langit. Dan, Rangga bisa mengerti semua yang diucapkan Ki Andak (Baca serial Pendekar Rajawali Sakti dalam kisah Pedang Halilintar).
Tapi Pendekar Rajawali Sakti tidak tahu, ada persolan apa sebenarnya antara Ki Andak dengan Jaka Anabrang. Hanya saja, pertanyaan itu tidak terlalu lama bersemayam di benak Rangga. Buktinya tanpa diminta, Ki Andak menceritakan kejadiannya, hingga juga terlibat dalam urusan Jaka Anabrang
"Aku dan para pendeta benar-benar menyesal telah mendidik Jaka Anabrang. Walaupun aku sendiri sebenarnya sudah menentang dan memperingatkan para pendeta. Dan aku terpaksa mengikuti mereka, untuk mendidik Jaka Anabrang. Hampir semua ilmu yang kumiliki sudah kuwariskan padanya. Dan sudah semua ilmu para pendeta diserapnya. Tapi, ternyata harapan kami semua hanya sia-sia belaka. Anak itu bukannya menjadi benar, tapi malah berputar balik. Bahkan sekarang menjadi musuh kami nomor satu," jelas Ki Andak bernada menyesalkan.
"Jadi, Jaka Anabrang juga termasuk muridmu, Ki...?" tanya Rangga ingin meyakinkan.
"Jaka Anabrang bagaikan sembilan orang berada dalam satu tubuh manusia, Rangga. Sembilan aliran ilmu sudah terserap ke dalam aliran darahnya. Jadi sangat sulit menaklukkannya. Bahkan aku sendiri, tidak mungkin bisa menandinginya. Terlebih lagi, sekarang Pedang Halilintar dipegangnya. Senjata yang teramat dahsyat, dan sukar sekali dicari tandingannya," kata Ki Andak menjelaskan.
"Lalu, kenapa dia sampai berbalik seperti itu, Ki? Bukankah para pendeta tidak hanya membekali ilmu-ilmu kedigdayaan saja...? Paling tidak, jiwa dan pikirannya sudah terisi. Jadi, bagaimana mungkin bisa beralih aliran begitu jauh, Ki?" tanya Rangga masih belum juga mengerti.
"Mungkin inilah kesalahan kami semua, Rangga. Jaka Anabrang memang dipersiapkan untuk menandingi Setan Perak Lembah Mayat. Bertahun-tahun kami menggemblengnya dengan berbagai ilmu olah kanuragan dan kedigdayaan. Begitu inginnya aku dan para pendeta melenyapkan Setan Perak Lembah Mayat, sehingga lupa membekali Jaka Anabrang dengan pelajaran yang sangat penting. Dan jiwanya ternyata benar-benar tak terkendali. Kosong, seperti tempayan yang belum tersentuh air," jelas Ki Andak dengan suara pelan bemada menyesal.
Sementara, Rangga dan Rara Ayu Ningrum mendengarkan dengan penuh perhatian.
"Hingga pada hari yang dianggap cukup baik, Jaka Anabrang kami bawa ke Lembah Mayat Tapi, perhitungan kami ternyata meleset jauh. Setan Perak Lembah Mayat masih terlalu tangguh, dan sukar ditaklukkan. Jaka Anabrang terluka parah. Dan untungnya, dia masih bisa diselamatkan keluar dari Lembah Mayat..."
Ki Andak berhenti sebentar, mengatur jalan napasnya yang terdengar mulai memburu. Sementara, Rangga dan Rara Ayu Ningrum masih diam, belum bersuara. Mereka begitu seksama mendengarkan cerita laki-laki tua itu.
"Setelah pertarungan itu, Jaka Anabrang jadi berubah. Sikapnya jadi pendiam, dan tidak banyak bicara. Bahkan seringkali menyendiri dan tidak mau berteman. Tiga purnama Jaka Anabrang selalu menyendiri. Dan suatu ketika, peristiwa yang menggemparkan pun terjadi. Jaka Anabrang telah mencuri Pedang Halilintar dari tempat penyimpanan senjata pusaka di puri. Bahkan telah membunuh lebih dari sepuluh orang murid dan tujuh orang pendeta. Dia berhasil membawa lari pedang itu," sambung Ki Andak.
"Apa tidak ada yang mengejar, Ki?" tanya Rangga.
"Sudah. Tapi, dia malah masuk ke dalam Lembah Mayat. Dan sejak itu, kabarnya tidak lagi terdengar sampai sekarang ini. Aku benar-benar tidak tahu kalau Jaka Anabrang sudah mulai bertindak. Semula, kukira dia sudah mati di Lembah Mayat," sahut Ki Andak terus menjelaskan.
Dan suasana pun menjadi sunyi, saat Ki Andak tidak membuka suara lagi. Sementara, hujan yang tadi turun begitu deras sudah berhenti sama sekali. Hanya titik-titik air dari dedaunan saja yang masih terlihat jatuh menghantam bumi. Langit pun kelihatan mulai cerah. Kerlip cahaya bintang mulai terlihat menghias. Angin berhembus semakin dingin, tapi sama sekali tidak dirasakan oleh mereka yang duduk di beranda depan rumah Ki Andak ini.
"Ki! Apa mungkin Jaka Anabrang bergabung dengan Setan Perak Lembah Mayat..?" tanya Rangga setelah cukup lama berdiam diri.
"Kemungkinan itu memang ada, Rangga. Mengingat Jaka Anabrang masih tergolong muda. Dan lagi, dia haus akan ilmu kedigdayaan," sahut Ki Andak.
"Mungkin karena kekalahannya, hingga ingin menimba ilmu si Setan Perak, Kek," selak Rara Ayu Ningrum.
"Segala kemungkinan bisa saja terjadi, Ningrum. Yang jelas, dunia pasti kiamat kalau mereka berdua sampai bergabung. Tidak ada lagi pendekar yang bisa menandingi kesaktiannya. Walaupun hanya berdua, tapi mereka sanggup menghadapi dua puluh pendekar berkepandaian tinggi sekaligus.
"Gila ..!" desis Rara Ayu Ningrum.
"Jaka Anabrang sudah muncul. Hm... Pasti tidak lama lagi, Setan Perak Lembah Mayat juga akan muncul. Dan setiap kemunculannya, selalu menimbulkan bencana yang tidak kecil," kata Ki Andak, dengan suara mendesis.
Sementara Rangga jadi terdiam. Sama sekali tidak disangka kalau Ki Andak dan Rara Ayu Ningrum sudah mengetahui tentang Jaka Anabrang dan Setan Perak Lembah Mayat. Tapi walaupun begitu, Rangga tidak juga menceritakan peristiwa yang terjadi seluruhnya. Juga, tentang pertarungannya dengan Setan Perak Lembah Mayat.
Sementara, malam terus merambat semakin larut Hujan pun sudah berhenti sama sekali. Dan, udara malam ini masih terasa begitu dingin menggigilkan sampai menusuk tulang. Tapi semua itu seperti tidak dirasakan sama sekali. Mereka begitu asyik membicarakan Jaka Anabrang dan Setan Perak Lembah Mayat. Namun, kali ini Rangga lebih banyak diam mendengarkan. Dan dari cerita Ki Andak yang selalu diseling Rara Ayu Ningrum, Rangga jadi bisa mengetahui lebih banyak lagi tentang Jaka Anabrang.
"Ssst..!"
Tiba-tiba saja Ki Andak mendesis sambil meletakkan jari telunjuk di bibirnya sendiri, pertanda memberi isyarat agar semuanya diam. Saat itu juga, Rara Ayu Ningrum yang tengah bicara langsung diam. Sedangkan Rangga langsung mengerahkan ilmu 'Pembeda Gerak dan Suara'.
"Hm...," gumam Rangga perlahan.
Dengan ilmu 'Pembeda Gerak dan Suara', Pendekar Rajawali Sakti langsung bisa menangkap adanya langkah-Iangkah kaki yang begitu halus dan ringan. Jelas, itu adalah langkah kaki seseorang yang memiliki ilmu meringankan tubuh tingkat tinggi sekali. Begitu tingginya, sampai-sampai langkah itu hampir tidak terdengar sama sekali.
"Tampaknya malam ini kita kedatangan tamu, Rangga," kata Ki Andak pelan, seperti untuk diri sendiri
Pandangan Ki Andak tertuju lurus pada Pendekar Rajawali Sakti yang tetap diam, duduk bersila tepat di depannya. Sedikit Rangga memiringkan kepala ke kanan, dan suara langkah kaki yang sangat ringan itu semakin jelas terdengar.
"Ningrum, masuklah ke dalam," kata Ki Andak memerintah, seraya menatap gadis cantik yang duduk di sebelahnya.
Tanpa diperintah dua kali, Rara Ayu Ningrum segera bangkit berdiri. Tapi baru saja berdiri, mendadak saja....
Wusss!
"Awasss...!" seru Rangga.
"Hup!"
Cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti melompat sambil mengibaskan tangan kanannya dengan kecepatan tinggi. Memang, saat itu terlihat seleret cahaya keperakan tengah meluncur begitu cepat bagai kilat ke arah Rara Ayu Ningrum.
Tapi, kilatan cahaya keperakan itu langsung lenyap begitu tangan kanan Rangga mengibas. Sementara, dua kali Rangga melenting berputaran di udara. Lalu, manis sekali kakinya kembali menjejak lantai beranda depan rumah Ki Andak yang terbuat dari belahan papan yang diseiut halus.
"Apa itu, Rangga?" tanya Ki Andak yang juga cepat bangkit berdiri.
Rangga membuka telapak tangan, dan menyorongkannya ke depan pada Ki Andak. Tampak di atas telapak tangan pemuda itu terdapat sebuah benda bulat pipih berwarna keperakan yang kecil bentuknya.
"Setan Perak Lembah Mayat.," desis Ki Andak langsung mengenali pemilik benda itu.
Ki Andak segera menatap cucunya. Melihat sorot mata laki-laki tua itu, Rara Ayu Ningrum sudah bisa mengartikannya. Segera gadis itu masuk ke dalam rumah, dan menutup pintunya. Sementara, Rangga dan Ki Andak tetap berdiri di beranda, memandang lurus ke dalam kegelapan malam. Sedikit pun mereka tidak membuka suara, tapi segera memasang pendengaran tajam-tajam.
"Hm...," Rangga menggumam pelan.
Meskipun Pendekar Rajawali Sakti masih mengerahkan ilmu 'Pembeda Gerak dan Suara', tapi suara langkah kaki yang tadi terdengar begitu ringan, sudah tidak lagi terdengar sedikit pun juga. Bahkan Rangga juga tidak bisa mengetahui keberadaan orang itu.
Perlahan Pendekar Rajawali Sakti mengayunkan kakinya hendak keluar dari beranda depan ini. Tapi belum juga sampai di luar, tiba-tiba saja kembali sebuah benda bulat pipih yang memancarkan cahaya keperakan melesat begitu deras. Arahnya adalah menuju pemuda berbaju rompi putih ini.
"Hup! Yeaaah...!"
Cepat sekali Rangga melenting ke udara, sambil berputaran beberapa kali. Tampak benda bercahaya keperakan itu melesat begitu cepat, dan menancap pada tiang penyangga beranda yang terbuat dari kayu jati.
"Hap! Hiyaaa. .!"

***

90. Pendekar Rajawali Sakti : Rajawali MurkaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang