BAGIAN 7

485 19 1
                                    

Tuk!
"Oooh...." Pandan Wangi menggeliat sambil merintih lirih. Beberapa kali matanya dikerjapkan. Cepat gadis itu bangkit duduk, begitu melihat seraut wajah tampan yang sudah begitu dikenalnya, bersama seorang wanita tua yang juga sudah dikenalnya. Mereka adalah Rangga dan Nyai Samirah. Rupanya, Pendekar Rajawali Sakti inilah yang menyelamatkan Pandan Wangi.
"Di mana aku...?" tanya Pandan Wangi lirih, sambil memegangi kepalanya yang terasa sedikit pening.
"Kau di tempat aman, Pandan," kata Rangga lembut memberi tahu.
"Oh! Kukira, aku sudah mati...," desah Pandan Wangi.
"Sang Hyang Widi masih melindungimu, Pandan," ujar Nyai Samirah.
Pandan Wangi mengedarkan pandangan ke sekeliling. Gadis itu baru tahu, kalau saat ini berada di sebuah gua yang tidak begitu besar. Tapi, sepertinya gua ini dihuni seseorang. Dan tubuhnya sendiri berada di atas sebuah balai-balai bambu beralaskan selembar tikar yang sudah lusuh. Dan tidak jauh dari tempatnya, juga terdapat sebuah balai-balai bambu yang di atasnya menggeletak seorang laki-laki berusia sekitar tiga puluh lima tahun. Dia mengenakan baju warna putih bersih, dan kelihatannya seperti sedang tidur pulas.
"Siapa dia, Kakang?" tanya Pandan Wangi.
"Dialah yang memberi kesempatan padaku untuk menyelamatkanmu dari tangan Ratu Intan Kumala," sahut Rangga.
"Namanya Pendekar Seruling Sakti," sambung Nyai Samirah.
"Terpaksa jalan darahmu kutotok dengan kerikil, untuk mencegah Ratu Intan Kumala memasukkan obat ke dalam mulutmu, Pandan. Jadi, kau tidak tahu apa saja yang telah terjadi," Rangga menjelaskan singkat.
"Kita masih di Bukit Menjangan, Kakang?" tanya Pandan Wangi.
"Ya! Tidak berapa jauh dari tempat tinggal mereka," sahut Rangga.
"Ini di mana?"
"Tempat tinggal Pendekar Seruling Sakti," Nyai Samirah yang menyahuti.
"Dia terluka?" tanya Pandan Wangi lagi, seraya menatap Pendekar Seruling Sakti yang terbaring seperti tidur.
"Hanya luka dalam ringan. Tidak begitu mengkhawatirkan. Sebentar lagi juga akan bangunan dan pulih kembali," sahut Rangga.
"Syukurlah kalau begitu," desah Pandan Wangi.
Mereka semua terdiam. Cukup lama juga mereka tidak bicara lagi, sampai Pendekar Seruling Sakti bangun. Pemuda yang hampir sebaya Rangga itu segera duduk di atas pembaringannya. Bibirnya lantas tersenyum begitu melihat Pandan Wangi sudah bisa duduk di samping Nyai Samirah. Kepalanya terangguk sedikit, dan langsung dibalas Pandan Wangi. Juga dengan anggukan kepala, disertai senyum kecil yang cukup manis.
"Bagaimana...? Kalian suka tempat ini?" ujar Pendekar Seruling Sakti bertanya.
"Cukup bagus dan bersih juga," puji Rangga.
"Terima kasih, Pendekar Rajawali Sakti. Aku benar-benar senang dapat bertemu dan berkenalan denganmu. Sudah lama aku mendengar tentang dirimu, Pendekar Rajawali Sakti. Dan juga kau, Kipas Maut. Tapi sayang, pertemuan kita ini dalam waktu yang tidak menyenangkan. Kita berhadapan dengan orang yang sama, tapi dengan tujuan dan persoalan berbeda," kata Pendekar Seruling Sakti.
Pendekar Seruling Sakti hendak bangkit turun dari pembaringan bambu ini, namun Nyai Samirah buru-buru mencegah. Hanya saja pemuda itu sudah lebih dulu mengangkat tangannya, meminta perempuan tua itu duduk kembali.
"Keadaanku sudah pulih kembali, Nyai. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan lagi," kata Pendekar Seruling Sakti.
"Luka dalammu cukup parah, Anak Muda."
"Tidak lagi, setelah Pendekar Rajawali Sakti mengobatiku."
"Ah! Hanya sedikit yang kulakukan," ujar Rangga merendah. Semua pengobatan ada pada dirimu sendiri."
"Tapi tanpamu, aku tidak akan mungkin bisa bertahan hidup sampai sekarang. Bahkan mungkin saat ini sudah menghuni lubang kubur."
"Ah, sudahlah.... Tidak perlu berbasa-basi lagi. Sekarang yang terpenting, kita pikirkan cara yang tepat untuk menghadapi Ratu Intan Kumala dan pemuja-pemujanya. Ini yang paling penting untuk dibicarakan," cepat-cepat Rangga mengalihkan pembicaraan.
Pendekar Rajawali Sakti memang paling tidak suka jika pembicaraan berkisar hanya saling memuji, dan saling merendahkan diri masing-masing. Baginya, pembicaraan seperti itu hanya akan membuat kepala menjadi besar.
"Ya! Memang seharusnya kita menyusun suatu rencana yang tepat untuk menghadapi mereka, sebelum kembali ke dunia bebas lagi," sambut Pendekar Seruling Sakti mantap.
"Memang harus ada yang mengatasi mereka secepatnya. Kalau tidak, seluruh jagat raya ini bisa hancur," sambung Nyai Samirah.
"Dia bisa menghancurkan padepokan mana saja yang membangkang. Yahhh..., seperti padepokanku. Sekarang, yang ada hanya puing-puing saja."
"Kau bisa membangun padepokan baru, Nyai. Setelah semua urusan ini selesai," ujar Rangga membesarkan hati perempuan tua itu.
Nyai Samirah hanya tersenyum saja, tapi terasa getir sekali. Entah, apakah hatinya yakin akan bisa mendirikan padepokan lagi atau tidak. Sedangkan untuk mendirikan sebuah padepokan, tidak sedikit waktu, tenaga, dan pikiran yang terkuras. Di dalam hati, Nyai Samirah sendiri tidak yakin akan mampu bangkit kembali memimpin sebuah padepokan. Tapi yang pasti, mungkin pilihannya adalah menjadi pertapa wanita dengan meninggalkan semua urusan yang berkaitan dengan keduniawian.
Dan mereka pun mulai membicarakan tentang Ratu Intan Kumala, Nyai Purut serta gadis-gadis pengikutnya yang rata-rata memiliki tingkat kepandaian mengagumkan. Seorang pendekar seperti Pendekar Seruling Sakti saja, harus berpikir tiga kali untuk menghadapi. Sepuluh orang saja dari mereka, bisa sebanding dengan satu pasukan prajurit kerajaan yang sudah terlatih puluhan tahun.
Mereka memang gadis yang tangguh dan berkepandaian tinggi. Sehingga, tidak mudah untuk mengenyahkannya begitu saja. Dan mereka memang bukanlah gerombolan biasa, yang biasanya hanya mengacau orang-orang desa. Mereka bahkan berani menantang satu pasukan prajurit, walaupun jumlahnya sangat sedikit sekali.
Dan memang, mereka sudah seringkali merampas harta benda pihak kerajaan manapun juga, walaupun dikawal ketat satu pasukan prajurit terlatih. Bahkan sudah tidak terhitung lagi, berapa banyak padepokan silat beraliran putih yang dihancurkan, dan berapa desa yang diduduki.
Tapi kini, mereka harus tinggal di puncak Bukit Menjangan yang dingin dan selalu berselimut kabut. Sekarang, mereka benar-benar sudah tidak punya tempat lagi. Tapi, hal itu bisa saja tidak berlangsung lama, kalau tidak segera dicegah. Bahkan bila perlu, dilenyapkan dari muka bumi ini untuk selama-lamanya.

91. Pendekar Rajawali Sakti : Ratu Intan KumalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang