"Kenapa kau menyerang kami, Nisanak?" terasa begitu dingin nada suara Rangga.
"Phuih!" Gadis berbaju serba hitam itu hanya menyemburkan ludahnya saja menjawab pertanyaan Pendekar Rajawali Sakti. Bahkan sorot matanya tidak kalah tajam, membalas tatapan pemuda berbaju rompi putih ini. Sementara, Pandan Wangi dan Nyai Samirah sudah berada sekitar dua langkah di belakang Rangga. Mereka juga memandangi gadis berbaju serba hitam yang masih tetap terduduk di tanah dengan napas terus tersengal akibat terkena serangan Pendekar Rajawali Sakti tadi.
"Kau pasti pengikut Nyai Purut...," kata Rangga lagi.
"Huh! Apa pedulimu...?!" sentak gadis itu ketus.
"Jelas aku peduli, Nisanak. Kedatanganku ke sini sengaja untuk bertemu dengannya," sahut Rangga masih terdengar datar dan dingin sekali nada suaranya.
Gadis berbaju serba hitam yang memang pengikut Nyai Purut itu, mengalihkan pandangan ke arah Nyai Samirah yang berada di belakang sebelah kiri Pendekar Rajawali Sakti. Sorot matanya begitu tajam, seperti menyimpan dendam yang mendalam. Mendapat tatapan seperti itu, membuat hati Nyai Samirah jadi agak bergetar. Tapi cepat dibalasnya sorot mata tajam itu dengan tatapan yang tidak kalah tajamnya.
Dan gadis berbaju serba hitam ini kembali menatap Pendekar Rajawali Sakti. Perlahan dicobanya bangkit berdiri, sambil memegangi dadanya yang masih terasa nyeri dan sesak sekali. Dengan bibir meringis menahan sakit, akhirnya dia bisa juga berdiri walaupun tubuhnya tidak lagi tegak. Sementara tatapan matanya masih tetap tertuju pada Pendekar Rajawali Sakti yang berdiri lima langkah di depannya.
"Nisanak, kau tahu di mana Nyai Purut kini berada?" tanya Rangga lagi. Nada suara Pendekar Rajawali Sakti masih terdengar begitu dingin dan datar dengan pandangan terus tertuju ke bola mata gadis ini. Sementara untuk beberapa saat, gadis yang berbaju serba hitam itu tidak menjawab sedikit pun juga. Bahkan tatapan mata Pendekar Rajawali Sakti dibalas dengan tatapan yang semakin tajam. Dan baru saja gadis itu hendak membuka mulutnya, tiba-tiba saja....
Slap!
"Heh...?"
Bres!
"Akh...!"
"Hup!" Rangga cepat melompat, ketika tiba-tiba saja terlihat sebuah benda berwarna putih keperakan yang langsung menyambar dada gadis itu. Begitu cepat lesatan Pendekar Rajawali Sakti, sehingga dalam sekejapan mata saja sudah berada di atas pohon, tempat benda berwarna keperakan tadi datang tadi. Tapi Pendekar Rajawali Sakti tidak menemukan apa pun juga di sana.
Sebentar pandangannya beredar ke sekeliling, kemudian kembali melesat turun dengan gerakan indah dan ringan sekali. Begitu sempurna ilmu meringankan tubuhnya, sehingga sedikit pun tidak menimbulkan suara saat kakinya menjejak tanah. Rangga langsung menghampiri gadis berbaju serba hitam yang kini sudah tergeletak dengan dada berlubang mengucurkan darah.
"Huh...!" Pemuda yang selalu berbaju rompi putih ini jadi mendengus kesal, setelah mengetahui kalau gadis itu sudah tewas. Sebuah benda bulat bagai besi dari baja berwarna putih keperakan tampak telah bersarang di dalam dadanya. Kini tidak ada lagi petunjuk bagi Pendekar Rajawali Sakti. Rupanya, Nyai Purut lebih memilih kehilangan pengikutnya, daripada tempat persembunyian sekarang diketahui. Saat itu, Rangga sudah memutar tubuhnya. Pandangan matanya langsung tertuju pada Pandan Wangi, kemudian beralih pada Nyai Samirah.
"Aku rasa, kita sudah dekat dengan tempat mereka, Kakang. Dan aku yakin, mereka pasti ada di sekitar bukit ini. Atau mungkin juga di puncak sana," kata Pandan Wangi memecah kebisuan.
"Hm...," Rangga hanya menggumam saja mendengar kata-kata si Kipas Maut itu. Tapi pandangan Pendekar Rajawali Sakti mengarah ke puncak bukit yang ditunjuk Pandan Wangi tadi.
Sedangkan Nyai Samirah hanya diam saja. Namun matanya juga memandang ke puncak bukit yang selalu terselimut kabut tebal itu. Kembali mereka semua terdiam untuk beberapa saat.
"Ayo...," ajak Rangga tanpa berpaling sedikit pun. Pandan Wangi dan Nyai Samirah saling melemparkan pandangan sejenak, kemudian sama-sama mengikuti ayunan kaki Pendekar Rajawali Sakti. Mereka kembali melanjutkan perjalanan mengejar Nyai Purut yang dianggap sebagai manusia paling berbahaya di dunia ini.***
Kabut semakin tebal menyelimuti sekitar lereng Bukit Menjangan ini. Sementara, matahari sudah demikian condong ke arah barat. Sinarnya yang biasa terik kini tidak lagi terasa, terhalang oleh tebalnya kabut. Saat ini, Rangga sudah mengumpulkan ranting-ranting kering, dan menumpuknya menjadi satu. Diputuskannya untuk bermalam di lereng bukit ini. Dan esok paginya, mereka baru melanjutkan perjalanan kembali menuju puncak bukit. Memang, perjalanan yang ditempuh kali ini terasa begitu berat. Bahkan mereka tidak lagi menunggang kuda yang terpaksa ditinggalkan di kaki Bukit Menjangan.
"Bagaimana, Kakang? Cukup untuk mengisi perut kita malam ini...?"
Rangga berpaling dan mengangkat kepala begitu mendengar suara Pandan Wangi dari arah kanan. Bibirnya tersenyum melihat gadis itu menenteng empat ekor kelinci gemuk. Gadis itu menghampiri, dan meletakkan kelinci-kelinci itu di dekat kaki Pendekar Rajawali Sakti.
"Nyai Samirah mana?" tanya Rangga. Pendekar Rajawali Sakti ingat kalau tadi Pandan Wangi pergi bersama Nyai Samirah. Tapi sekarang, gadis itu kembali hanya seorang diri saja. Sedangkan Nyai Samirah sampai saat ini belum juga kelihatan.
"Kami berpisah tadi. Dan aku tak tahu, dia akan ke mana," sahut Pandan Wangi.
"Seharusnya kalian jangan terpisah. Terlalu berbahaya seorang diri di tempat seperti ini, Pandan," kata Rangga menyesalkan.
"Tapi Nyai Samirah sendiri yang menginginkannya, Kakang," kilah Pandan Wangi.
"Ya sudahlah...," desah Rangga tidak ingin memperpanjang.
Mereka kemudian menguliti kelinci-kelinci itu, dan menusuknya dengan sebatang ranting yang cukup kuat. Rangga kemudian membuat api unggun saat keadaan mulai gelap. Api tambak menyala cukup besar, menjilat-jilat udara. Satu persatu dibakarnya kelinci-kelinci perolehan Pandan Wangi. Sedangkan Pandan Wangi sendiri duduk bersandar di bawah pohon, memperhatikan Rangga terus sibuk membakar kelinci perolehannya. Pandan Wangi baru menghampiri lagi setelah keempat kelinci itu sudah matang. Gadis itu duduk di sebelah kiri Pendekar Rajawali Sakti. Bau harum daging kelinci membuat perut Pandan Wangi terus berbunyi minta diisi, tapi tidak mau mengambil lebih dulu. Sementara itu, Nyai Samirah belum juga kelihatan. Padahal hari sudah benar-benar menjadi gelap.
"Aku merasa tidak enak, Kakang...," ujar Pandan Wangi, dengan suara terdengar pelan seperti berbisik.
Rangga berpaling, menatap wajah cantik gadis itu. Di antara kilatan cahaya api, tampak kening Pendekar Rajawali Sakti berkerut cukup dalam. Dan kelopak matanya pun terlihat agak menyipit.
"Aku juga demikian, Pandan. Aku khawatir, telah terjadi sesuatu pada Nyai Samirah," sahut Rangga, setelah beberapa saat terdiam memandangi wajah cantik si Kipas Maut.
"Apa sebaiknya kita cari saja, Kakang?" usul Pandan Wangi.
"Tunggu saja sebentar lagi," sahut Rangga. "Mudah-mudahan saja tidak terjadi apa-apa terhadapnya."
"Hhh...!" Pandan Wangi menghembuskan nafasnya kuat-kuat.
Sementara, Rangga mulai mengambil sepotong daging kelinci. Kemudian mulai dinikmatinya daging kelinci panggang itu. Pandan Wangi juga tidak mau ketinggalan. Apalagi, perutnya memang sudah sejak tadi minta diisi. Daging kelinci panggang itu dinikmati tanpa berbicara sedikit pun. Dan sesekali mereka saling melemparkan pandangan. Jelas sekali terlihat kalau sinar mata mereka memancarkan rasa kecemasan. Waktu seakan-akan terasa berjalan begitu lambat.
Sedangkan Nyai Samirah belum juga kelihatan bayangannya sedikit pun juga. Dan ini membuat kedua pendekar muda dari Karang Setra itu semakin terlihat cemas. Mereka benar-benar khawatir telah terjadi sesuatu pada perempuan tua Ketua Padepokan Tongkat Perak yang sudah hancur itu. Apalagi tempat ini sangat berbahaya, sehingga sedikit pun tidak boleh lengah.
"Kau di sini saja, Pandan," kata Rangga agak mendesah, seraya bangkit berdiri.
"Mau ke mana, Kakang?" tanya Pandan Wangi.
"Aku akan mencari Nyai Samirah," sahut Rangga.
"Ke mana mencarinya, Kakang? Hutan di lereng bukit ini luas sekali."
"Aku usahakan tidak jauh-jauh dari sini. Kau jangan ke mana-mana dulu, Pandan. Tunggu aku kembali."
Pandan Wangi tidak bisa mencegah, dan hanya menganggukkan kepala saja. Sementara, Rangga sudah melangkah pergi meninggalkan gadis itu seorang diri. Dipilihnya jalan yang tadi sore dilalui Pandan Wangi dan Nyai Samirah ketika hendak mencari makanan untuk pengganjal perut. Sebentar saja, Rangga sudah tidak kelihatan lagi punggungnya. Tubuhnya lenyap ditelan kegelapan malam yang begitu pekat menyelimuti sekitar Bukit Menjangan ini.
Sementara, Pandan Wangi kembali duduk di dekat api. Ditatapnya sebentar sisa-sisa daging kelinci panggang. Masih terlalu banyak, tapi seleranya sudah tidak ada lagi. Gadis itu hanya diam saja sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling. Dan ketika pandangannya ke sebelah kanan, tiba-tiba saja....
"Heh...?!"
Pandan Wangi cepat melompat bangkit, begitu tiba-tiba sekilas melihat sebuah bayangan berkelebat begitu cepat tadi. Hanya sekelebatan saja, kemudian cepat menghilang bagaikan setan. Kembali pandangannya beredar berkeliling, sambil membuka pendengarannya tajam-tajam. Ketegangan sangat terasa menyelimuti tempat ini. Begitu sunyinya, sampai detak jantung Pandan Wangi terdengar begitu jelas. Dan gadis itu tidak sedikit pun memperdengarkan suara. Wajahnya terlihat begitu menegang. Dan di saat sedang memperhatikan keadaan sekelilingnya....
Wusss!
"Heh...?! Upts...?!"
Cepat-cepat Pandan Wangi mengegoskan tubuhnya ke kanan, begitu tiba-tiba sekali terlihat sebuah bayangan benda meluruk cepat bagai kilat ke arahnya diiringi bunyi mendesing yang begitu jelas di telinga. Benda itu lewat hanya sedikit saja di samping tubuhnya. Dan baru saja tubuhnya bisa ditarik tegak kembali, sudah terlihat puluhan anak panah berhamburan begitu cepat dari sekeliling tubuhnya.
"Hiyaaat...!"
Sret! Bet! Wuk!
Bagaikan kilat pula, Pandan Wangi melompat ke atas sambil mencabut Kipas Maut senjatanya. Dan secepat itu pula dikebutkan secara berputaran. Maka beberapa batang anak panah yang mendekati tubuhnya, langsung jatuh terhempas begitu tersampok kipas baja putih itu.
"Hap! Yeaaah...!"
Pandan Wangi terpaksa harus berjumpalitan di udara, sambil cepat mengebutkan kipasnya untuk melindungi tubuhnya dari serangan panah-panah yang berjumlah puluhan. Panah-panah itu menyerang bagaikan hujan yang ditumpahkan dari langit. Berserabutan di sekitar tubuh ramping si Kipas Maut yang berjumpalitan di udara untuk menghindarinya.
"Hup! Hiyaaat...!"
Begitu kaki pun menjejak tanah, cepat sekali tubuhnya kembali melesat tinggi-tinggi ke udara sambil mengebutkan Kipas Maut beberapa kali. Akibatnya anak-anak panah itu rontok berguguran terkena kebutan kipas baja putihnya. Setelah berputaran beberapa kali, manis sekali gadis yang dikenal julukan si Kipas Maut itu hinggap di atas sebatang cabang pohon yang cukup tinggi dan besar. Saat itu, tidak lagi terlihat anak panah berhamburan mengancam jiwanya. Kini Pandan Wangi bisa menarik napas lega sedikit.
"Huh! Siapa mereka...?! Mau apa menyerangku?!" dengus Pandan Wangi bertanya pada diri sendiri dalam hati.
Tapi, pertanyaan si Kipas Maut itu hanya ada di kepalanya saja. Dan belum lagi bisa terjawab, kembali tubuhnya sudah harus berjumpalitan di udara untuk menghindari serangan benda-benda yang berhamburan di sekitarnya. Begitu banyak benda berwarna putih keperakan itu, sehingga bagaikan hujan datangnya. Pandan Wangi terus berjumpalitan di udara, sambil mengebutkan senjatanya. Disampoknya setiap serangan yang datang mengancam tubuhnya. Gerakan-gerakan yang dilakukan si Kipas Maut itu memang sangat indah dan cepat, sehingga tidak satu pun dari serangan-serangan yang bisa mengenai tubuhnya.
"Hup! Hiyaaat...!" Sambil berteriak nyaring melengking tinggi, Pandan Wangi melenting tinggi-tinggi ke atas. Tubuhnya berputaran cepat, diikuti kebutan kipas mautnya yang berwarna putih keperakan.
"Hap!" Manis sekali gadis itu hinggap di dahan pohon. Tapi belum juga bisa menarik napas lega, terlihat sebuah bayangan hitam berkelebat begitu cepat menyambar ke arahnya. Akibatnya, Pandan Wangi jadi terperangah sesaat.
"Hup! Yeaaah...!" Kembali gadis ini harus melesat dan berjumpalitan di udara menghindari terjangan bayangan hitam itu. Beberapa kali tubuhnya berputaran di udara, lalu manis sekali menjejak tanah.
Namun baru saja telapak kakinya bisa menyentuh tanah, mendadak saja dari balik semak dan pepohonan bermunculan gadis-gadis berpakaian serba hitam dengan pedang tergenggam di tangan. Di punggung mereka tampak kantong-kantong anak panah yang sudah habis isinya. Kemunculan gadis-gadis itu membuat Pandan Wangi jadi terkejut setengah mati.
Tidak kurang dari lima belas orang, sudah mengepung si Kipas Maut ini. Dan pedang mereka semua sudah terhunus di tangan masing-masing. Pandan Wangi mendongakkan kepala sedikit ke atas. Tampak di atas dahan pohon yang tadi dipijaknya, berdiri seorang perempuan tua berbaju jubah panjang hitam pekat. Di tangan kanannya tergenggam sebatang tongkat yang bentuknya tidak beraturan.
"Nyai Purut...," desis Pandan Wangi langsung bisa mengenali perempuan tua itu. Agak bergetar juga hati Pandan Wangi, karena menyadari saat ini hanya seorang diri saja. Sedangkan keadaannya benar-benar tidak menguntungkan. Dia sudah terkepung rapat oleh gadis-gadis pengikut Nyai Purut. Bahkan mereka semua sudah siap menyerang dengan pedang terhunus.
"Hik hik hik...! Tidak percuma kau mendapat julukan si Kipas Maut, Pandan Wangi. Permainan kipasmu memang dahsyat sekali. Tapi aku tidak yakin, apakah kau sanggup bertahan tanpa adanya kekasihmu," terasa dingin sekali nada suara Nyai Purut.
"Hhh! Apa maumu, Nyai Purut?!" sentak Pandan Wangi lantang.
"Hik hik hik...! Seharusnya aku yang bertanya begitu padamu, Pandan Wangi. Untuk apa kau berada di sini?" Nyai Purut malah balik bertanya, disertai tawanya yang kering dan terkikik.
"Kedatanganku memang sengaja untuk mencarimu, Nyai Purut!" sahut Pandan Wangi lantang.
"Hik hik hik...! Tidak salahkah pendengaranku...? Apa yang kau andalkan untuk menantangku, Pandan Wangi?" ejek Nyai Purut, meremehkan.
Pandan Wangi tidak langsung menjawab. Dia mendengus kecil sambil membuka kipas mautnya di depan dada. Sorot matanya terlihat begitu tajam, tertuju langsung ke bola mata Nyai Purut yang masih tetap berdiri tegak di atas dahan pohon yang cukup tinggi.
Sedangkan yang dipandangi hanya terkikik saja, kemudian menghentakkan tongkatnya satu kali. Dan seketika itu juga...
"Hiyaaat...!" "Yeaaah...!"
Empat orang gadis berpakaian serba hitam yang agak ketat, seketika itu juga berlompatan cepat untuk menyerang Pandan Wangi.
"Hait! Yeaaah...!"
Wuk! Trang!
"Hup!"
Si Kipas Maut cepat melompat ke belakang dua langkah, begitu kipasnya berhasil menangkis sabetan pedang salah seorang lawan yang mengarah ke dada. Tapi pada saat itu juga, dari arah kanan berkelebat sebilah pedang yang sangat cepat.
"Hapts...!" Cepat-cepat Pandan Wangi mengebutkan kipas mautnya, untuk melindunginya dari tebasan pedang itu. Tapi pada saat bersamaan, gadis berbaju serba hitam yang menyerangnya cepat sekali menarik pedang, dan langsung mengibaskannya ke arah kaki si Kipas Maut.
"Hap! Yeaaah...!"
Cepat-cepat Pandan Wangi melompat menghindari sabetan pedang yang mengarah ke kakinya. Dan begitu berada di udara, secepat kilat kaki kanannya dihentakkan, disertai pengerahan tenaga dalam tingkat tinggi.
"Ups...!" Hanya sedikit saja gadis itu merundukkan kepala sehingga tendangan kaki Pandan Wangi berhasil dihindari. Sementara sambil berputar satu kali, Pandan Wangi kembali menjejak tanah. Dan saat itu juga, datang lagi serangan dari depan dan belakang secara bersamaan.
"Haps...!" Manis sekali Pandan Wangi meliuk-liukkan tubuhnya, menghindari setiap sabetan pedang yang datang mengincar nyawanya. Bahkan gerakan tubuhnya semakin diperhebat, diimbangi gerakan kaki begitu lincah untuk menghindari serangan-serangan gadis-gadis berbaju serba hitam itu dari empat jurusan.
"Suiiit...!"
Tiba-tiba saja terdengar siulan yang begitu nyaring melengking tinggi. Dan belum lagi gema siulan itu menghilang dari pendengaran, empat orang berbaju serba hitam yang menyerang Pandan Wangi langsung cepat berlompatan mundur. Dan pada saat itu juga, berlompatan enam orang gadis lain yang langsung melepaskan jaring-jaring berwarna hitam pekat.
"Hah...?!" Pandan Wangi jadi tersentak kaget, melihat enam orang berlompatan sambil menebarkan jarring hitam kepadanya. Cepat-cepat si Kipas Maut melompat ke belakang, sambil mengebutkan kipas ke arah jaring yang datang dari depan. Tapi baru saja kakinya menjejak tanah, satu jaring hitam lagi meluncur deras ke arahnya, disusui dua orang gadis lagi yang menebarkan jaring dari arah yang berbeda.
Rrrt!
"Ukh...!" Memang sudah terlambat bagi Pandan Wangi untuk menghindar. Dua jaring berhasil menjeratnya, setelah berhasil menghindari satu jaring yang ditebarkan kepadanya. Saat itu juga, empat jaring hitam lain langsung membelenggu kekasih Pendekar Rajawali Sakti ini.
"Tarik terus...!" Terdengar suara bernada perintah yang begitu lantang dan kering.
Rrrt...!
Enam buah jaring hitam kini sudah membelenggu seluruh tubuh Pandan Wangi. Dan enam orang gadis yang memegangi segera menarik ujung-ujung jaring sampai merapat sehingga membuat gerakan Pandan Wangi jadi menyempit dan sama sekali tidak berdaya. Sedangkan senjata kipasnya sudah terlepas dari tangannya tadi, ketika jaring-jaring hitam itu ditebarkan.
"Bawa dia cepat...!" perintah Nyai Purut dengan suara lantang.
"Setan...! Lepaskan aku, Perempuan Iblis!" bentak Pandan Wangi memaki.
Tapi makian si Kipas Maut itu hanya dibalas tawa terkikik saja. Bahkan gadis-gadis berpakaian serba hitam itu langsung menyeretnya dengan kasar. Pandan Wangi sempat terpekik ketika tubuhnya menghantam akar yang menyembul dari dalam tanah. Gadis itu tidak lagi bersuara. Dan dengan diam-diam, pedang pusakanya dilepaskan, dan ditinggalkan begitu saja di tanah. Dia tidak ingin senjata pusakanya jatuh ke tangan manusia berhati iblis seperti wanita-wanita berpakaian serba hitam ini. Baginya, lebih baik tidak membawa senjata dalam keadaan seperti ini.***
KAMU SEDANG MEMBACA
91. Pendekar Rajawali Sakti : Ratu Intan Kumala
ActionSerial ke 91. Cerita ini diambil dari Serial Silat Pendekar Rajawali Sakti karya Teguh S. Dengan tokoh protagonis Rangga Pati Permadi yang dikenal dengan Pendekar Rajawali Sakti.