BAGIAN 1

940 27 0
                                    

Matahari baru saja menampakkan diri di ufuk timur, ketika serombongan orang tengah berjalan beriringan mendaki sebuah bukit yang masih terselimut kabut. Pakaian mereka semua serba hitam, dengan kerudung yang juga hitam pekat. Mereka terus berjalan perlahan-lahan, tanpa menghiraukan udara yang begitu dingin menusuk tulang.
Berjalan paling depan adalah seorang perempuan tua berusia sekitar delapan puluh tahun. Walaupun tubuhnya sudah bungkuk, tapi ayunan kakinya terlihat begitu mantap. Sorot matanya juga memancar tajam, memandang lurus ke depan tanpa berkedip sedikit pun. Sedangkan mereka yang berjalan di belakang, terdiri dari wanita-wanita muda berusia sekitar delapan belas atau dua puluh tahun.
Tak seorang pun yang berbicara. Mereka berjalan dengan wajah tertunduk. Seakan-akan wajah mereka sengaja disembunyikan dari sengatan cahaya matahari pagi yang baru saja muncul di balik bukit ini.
Rombongan wanita berpakaian serba hitam itu baru berhenti berjalan, setelah tiba di puncak bukit. Kabut di atas puncak bukit ini terlihat begitu tebal, sehingga membuat pandangan mata tidak bisa menjangkau jarak jauh. Tampak perempuan tua yang berada paling depan mengangkat tinggi-tinggi tangan kanan yang memegang tongkat kayu ke atas kepala. Tanpa mendapat perintah lagi, wanita-wanita muda di belakangnya segera menyebar membentuk lingkaran.
"Hm...." Perempuan tua itu mengedarkan pandangan ke sekeliling sambil memperdengarkan gumam pelan. Tapi keadaan yang begitu sunyi, membuat gumamnya terdengar jelas sekali. Kemudian dia naik ke atas sebongkah batu berbentuk bundar yang bagian atasnya pipih dan rata, dan bersila di situ. Tongkat kayunya diletakkan ke atas kedua pahanya yang terlipat.
"Duduk kalian semua..." Terdengar kering dan agak serak suara perempuan tua itu.
Dan semua gadis muda yang mengelilinginya segera duduk bersila, tanpa memperdengarkan suara sedikit pun. Kepala mereka semua tertunduk, tak ada seorang pun yang berani menatap perempuan tua yang duduk bersila di atas sebongkah batu pipih itu. Sebentar kemudian perempuan tua itu mengedarkan pandangannya ke sekeliling.
Puncak bukit ini masih tetap terselimut kabut, meskipun saat ini sudah tengah hari. Dan semestinya, matahari berada tepat di atas kepala. Tapi ternyata hanya cahayanya saja yang memancar, karena terhalang kabut yang sangat tebal. Udara di puncak bukit ini juga terasa begitu dingin. Dan herannya, wanita-wanita itu seperti tidak peduli. Mereka tetap duduk diam, tanpa mengeluarkan suara sedikit pun juga.
"Sebentar lagi junjungan kita akan datang. Dan kuminta, jangan ada seorang pun yang berlaku tidak sopan. Ingat! Sedikit saja kalian berlaku aneh, nyawa taruhannya," kembali perempuan tua itu menegasi.
Dan suaranya masih tetap terdengar serak dan kering. Bahkan sedikit pun tidak terdengar adanya tekanan. Begitu datar nada suaranya. Apalagi disertai tatapan yang begitu tajam, merayapi gadis-gadis yang duduk bersila di sekelilingnya.
Gadis-gadis itu hanya menganggukkan kepala saja, tanpa memperdengarkan suara sedikit pun. Dan mereka tetap tertunduk dengan sikap begitu patuh.
Perlahan perempuan tua itu bangkit berdiri, sambil menggenggam tongkat kayunya erat-erat di tangan kanan. Sejenak kepalanya menengadah ke atas langit yang berselimut awan tebal agak menghitam. Dan perlahan kemudian, tongkatnya di angkat hingga ke atas kepala. Tampak bibirnya yang keriput bergerak-gerak, disertai gumaman bagaikan lebah. Saat itu juga....
Clrak! Glaaar...!
Secercah cahaya kilat membelah angkasa, disertai ledakan guntur menggelegar yang memekakkan telinga. Semua gadis yang berjumlah sekitar dua puluh orang itu tampak tersentak. Tapi, tak seorang pun yang mengangkat kepalanya. Belum lagi rasa keterkejutan itu lenyap, tiba-tiba saja mereka kembali dikejutkan oleh bergetarnya tanah di sekitar puncak bukit ini.
Lalu tidak jauh dari batu pipih tempat perempuan tua itu berdiri tegak sambil mengangkat kedua tangannya ke atas, mengepul segumpal asap berwarna kemerahan dari dalam tanah. Asap itu semakin lama semakin menggumpal dan bergulung-gulung ke angkasa. Dan saat itu juga, angin seakan-akan berhenti bertiup. Dedaunan pohon yang tumbuh di sekitarnya, sedikit pun tak ada yang bergerak. Suasana begitu sunyi, bagai berada di tengah-tengah kuburan.
"Datanglah, Gusti Ratu. Kami semua sudah menunggu dan siap menunggu perintah," ujar perempuan tua itu, masih dengan suara serak dan kering sekali.
Clraaas! Glaaar...!
Kembali terdengar ledakan guntur yang keras menggelegar, setelah sebelumnya didahului sambaran cahaya kilat membelah angkasa. Dan saat itu juga, dari gumpalan asap kemerahan itu terlihat bayang-bayang sesosok tubuh ramping. Sebentar kemudian, begitu asap merah itu lenyap bagai tertiup angin, berdiri sesosok tubuh ramping. Dia adalah seorang wanita berwajah cantik bagai bidadari.
Wanita cantik itu mengenakan baju warna merah muda yang sangat tipis, sehingga lekuk-lekuk tubuhnya begitu jelas membayang. Di tangan kanannya tergenggam sebongkah batu permata sebesar kepalan tangan yang selalu memancarkan cahaya terang menyilaukan mata. Dia melangkah menghampiri batu pipih yang permukaannya datar itu, kemudian naik ke atasnya. Dan wanita cantik itu lalu duduk dengan manis sekali di sana.
Sementara, perempuan tua berubah hitam itu duduk bersila tepat sekitar lima langkah di depannya. Sikapnya begitu hormat, seakan-akan sedang berhadapan dengan seorang ratu penguasa jagat.
"Terimalah salam sembah dan penghormatan kami, Gusti Ratu Intan Kumala," ucap wanita tua yang kini sudah turun dari atas batu pipih itu.
"Hmmm.... Ada apa kau memanggilku, Nyai Purut? Kau membawa semua pengikutmu. Apa ada hal yang sangat penting....?" terdengar begitu lembut dan halus suara wanita cantik berpakaian merah muda yang dipanggil Gusti Ratu Intan Kumala itu.
"Benar, Gusti Ratu. Begitu penting persoalan yang sedang kuhadapi sekarang ini. Dan aku sangat membutuhkan pertolonganmu, Gusti," sahut perempuan tua berjubah hitam yang dipanggil Nyai Purut ini.
"Hm.... Katakan apa persoalanmu, Nyai," pinta Ratu Intan Kumala agak menggumam nada suaranya.
"Gusti.... Sebenarnya, pengikut yang kumiliki ada tiga kali lipat dari yang ada sekarang ini. Tapi mereka sudah tewas, dan hanya ini yang tersisa," jelas Nyai Purut, sambil memberikan sembah hormat dengan merapatkan kedua telapak tangan di depan hidung.
"Tewas...?! Apa yang terjadi, Nyai?!" Ratu Intan Kumala terkejut.
"Ceritanya sangat panjang, Gusti Ratu. Beberapa padepokan beraliran putih telah bergabung dan menyerang tempat tinggalku. Mereka membunuh para pengikutku dan menghancurkan tempat tinggalku, Gusti Ratu. Bahkan kalau tidak segera meninggalkan tempat itu bersama mereka ini, pasti kami semua sudah mati dibantai," dengan singkat sekali, Nyai Purut mencoba menceritakan keadaan yang dialami.
"Hmmm...," Ratu Intan Kumala hanya menggumam kecil.
"Dengan sisa kekuatan yang kumiliki, aku berusaha membalas tindakan mereka, Gusti Ratu. Satu persatu padepokan mereka kudatangi, dan kuserang secara mendadak. Beberapa padepokan berhasil kuhancurkan. Tapi, ada tiga padepokan yang tidak mungkin kuhancurkan, Gusti," lanjut Nyai Purut.
"Hm, kenapa?" tanya Ratu Intan Kumala.
"Mereka selalu dijaga sepasang pendekar yang sangat sakti dan digdaya. Kesakitan mereka sangat jauh di atasku, Gusti," sahut Nyai Purut.
"Siapa mereka?" tanya Ratu Intan Kumala.
"Pendekar Rajawali Sakti dan si Kipas Maut. Mereka adalah sepasang pendekar muda dari Karang Setra. Tapi yang paling tangguh adalah Pendekar Rajawali Sakti. Aku benar-benar tidak sanggup menghadapinya, Gusti."
Ratu Intan Kumala terdiam, dengan kening berkerut. Matanya juga agak menyipit. Mungkin sedang berpikir keras, atau sedang menyimak cerita yang dituturkan Nyai Purut barusan. Dan beberapa saat kemudian, pandangannya beredar ke sekeliling. Dirayapinya gadis-gadis muda yang masih tetap duduk bersila mengelilinginya sambil tertunduk dalam. Cukup lama juga keadaan menjadi sunyi, tanpa ada seorang pun yang bersuara.
Perlahan-lahan Ratu Intan Kumala Bangkit berdiri, lalu melompat turun dari atas batu pipih itu. Sungguh ringan dan indah gerakannya, pertanda ilmu meringankan tubuhnya sudah mencapai tingkat sangat tinggi. Dan sedikit pun tidak terdengar suara saat kakinya menjejak tanah. Dia berdiri tegak, tepat sekitar tiga langkah lagi di depan Nyai Purut. Sementara, perempuan tua itu masih tetap duduk bersila dengan sikap sangat sopan.
"Kau tadi mengatakan tinggal tiga padepokan lagi yang masih berdiri...," kata Ratu Intan Kumala. Suaranya terdengar agak terputus.
"Benar, Gusti Ratu," sahut Nyai Purut, seraya memberi sembah.
"Lalu, bagaimana kedua pendekar itu bisa berada di sana dalam waktu yang bersamaan?" tanya Ratu Intan Kumala lagi.
Nyai Purut tidak langsung menjawab. Sedangkan Ratu Intan Kumala terus memandangi, seperti menunggu jawaban atas pertanyaannya barusan. Tapi cukup lama juga Nyai Purut terdiam, seakan tengah memilih jawaban yang tepat.
"Kau tahu, Nyai. Bagaimana kedua pendekar itu bisa berada pada tiga padepokan dalam waktu yang bersamaan?" tanya Ratu Intan Kumala lagi.
"Aku sendiri tidak tahu, Gusti. Mereka selalu saja ada di padepokan-padepokan itu. Entah bagaimana caranya, mereka selalu saja bisa mendahuluiku," sahut Nyai Purut.
Jelas sekali kalau Nyai Purut juga tidak mengerti, kenapa kedua pendekar muda dari Karang Setra yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti dan si Kipas Maut itu bisa selalu ada di padepokan yang didatanginya. Malah kedua pendekar itu seperti sudah tahu setiap kali ketiga padepokan itu akan didatangi.
"Kau berkata yang sebenarnya, Nyai?" tanya Ratu Intan Kumala. lagi. Jelas sekali kalau nada suara Ratu Intan Kumala seakan tidak percaya atas cerita perempuan tua itu.
Sedangkan Nyai Purut buru-buru memberikan sembah. Dia tahu, Ratu Intan Kumala yang menjadi junjungannya tidak percaya pada ceritanya tadi. Dan memang, ceritanya tentang kedua pendekar muda itu sukar dipercaya. Padahal jarak ketiga padepokan yang menghancurkan tempat tinggalnya sangat berjauhan.
"Aku berani sumpah, Gusti. Mereka semua menjadi saksi," tegas Nyai Purut, seraya menunjuk gadis-gadis pengikutnya.
Dan semua gadis-gadis itu langsung saja merapatkan kedua tangan di depan hidung. Menegaskan kalau mereka bersedia menjadi saksi dari kebenaran cerita Nyai Purut tadi.
Ratu Intan Kumala jadi menggumam kecil. Dan sorot matanya begitu tajam, menatap langsung ke wajah Nyai Purut. Sinar matanya seakan sedang menyelidik, untuk menyakinkan diri akan kebenaran cerita perempuan tua itu.
"Baiklah, Nyai. Untuk sementara, kau tetap berada di sini dulu. Aku akan menyelidiki kebenaran dari ceritamu. Tapi, ingat.... Kalau sampai kau berdusta, aku tidak segan-segan memenggal kepalamu," kata Ratu intan Kumala dingin.
Nyai Purut cepat-cepat memberi sembah dengan merapatkan kedua telapak tangan di depan hidung. Dan belum juga perempuan tua itu bisa mengangkat kepala lagi, tahu-tahu Ratu Intan Kumala sudah lenyap tanpa sedikit pun meninggalkan bekas. Entah ke mana perginya. Perempuan cantik itu seperti lenyap tertelan bumi saja. Sedikit pun tidak terdengar suara saat kepergiannya tadi.
Dan Nyai Purut sendiri tidak tahu, ke mana arah kepergian wanita berwajah cantik bagai bi-dadari itu. Dan rasanya, dia tidak mau memikirkannya lagi. Maka segera diperintahkannya gadis-gadis pengikutnya untuk membuat pondok, untuk tinggal di puncak bukit ini sementara waktu. Tanpa ada yang membantah, dua puluh orang gadis muda itu segera melaksanakan perintah Nyai Purut.

91. Pendekar Rajawali Sakti : Ratu Intan KumalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang