BAGIAN 8

436 26 0
                                    

Pertarungan antara Pendekar Rajawali Sakti melawan Siluman Liar Berdarah Dingin semakin sengit saja. Dan masing-masing telah menyadari bahwa lawan yang dihadapi bukanlah orang sembarangan. Maka tak heran kalau sama-sama telah mengerahkan ilmu silat tingkat tinggi. Rangga mengeluarkan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib' untuk memancing dan memperhatikan sifat serangan lawan, serta sesekali menyerang.
"Pendekar Rajawali Sakti! Kau terlalu menganggap remeh kemampuanku! Jangan terus menghindar. Apakah kebisaanmu hanya sampai di sini?!" bentak Kerta Wangsa, geram.
"Kisanak! Kenapa kau marah-marah? Bukankah kau yang lebih dulu memulai pertarungan? Aku hanya sekadar mempertahankan diri," jawab Rangga santai.
"Hm. Kalau begitu, tahanlah jurus 'Langit Memutar Bumi Berguncang' ini!" desis Kerta Wangsa.
"Hiyaaat..!"
Rangga terkesiap. Ternyata lawan bergerak cepat bagai sapuan angin puyuh. Dan tiba-tiba, pedangnya telah berkelebat menyambar ke arah leher. Masih untung, Pendekar Rajawali Sakti cepat menghindar dengan membuang tubuh ke kiri.
"Yeaaa...!"
Mulai terlihat perubahan sifat serangan lawan kali ini. Selain cepat dan kuat, juga tertuju pada bagian yang mematikan. Ke mana saja Pendekar Rajawali Sakti berkelit maka ujung pedang lawan terus mengejar. Dan walau Rangga berhasil menendang pergelangan tangan lawan, tapi Kerta Wangsa cepat memapak dengan tangan kiri. Dan pada saat yang sama, pedang di tangannya melaju terus mengancam tubuh Pendekar Rajawali Sakti!
Cras! "Akh!"
Rangga mengeluh kecil begitu ujung pedang lawan berhasil menggores sedikit dadanya, sehingga menimbulkan luka berdarah. Masih untung Rangga tadi cepat bersalto atas. Kalau tidak, pasti sabetan pedang lawan yang menyilang akan membelah lehernya.
"Hm.... Cabutlah pedangmu, kalau tak ingin terluka!" dengus Kerta Wangsa garang, begitu Pendekar Rajawali Sakti mendarat di tanah.
"Sungguh hebat permainan pedangmu, Kisanak. Tapi biarlah aku meladenimu dengan tangan kosong dulu...."
"Hm, sombong! Jangan salahkan bila kau harus mampus saat ini juga!" dengus Kerta Wangsa semakin bertambah geram saja mendengar jawaban Rangga.
Pemuda bergelar Siluman Liar Berdarah Dingin itu segera membuat gerakan dengan merapatkan tangan kanan yang memegang pedang, ke dada hingga bersentuhan dengan telapak tangan kiri. Kemudian, sambil berteriak nyaring dia mulai menyerang Rangga.
"Yeaaa...!"
"Hiyaaat..!"
Rangga yakin kalau lawan kali ini bermaksud menghabisi nyawanya. Maka dia harus tetap berhati-hati menyambut setiap serangan sambil mempersiapkan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'. Dan apa yang diperkirakan Pendekar Rajawali Sakti tak salah. Dari tangan kiri Kerta Wangsa tampak melesat selarik sinar berwarna abu-abu menghantam ke arahnya. Rangga terpaksa jungkir balik untuk menghindarinya. Tapi saat itu juga, tubuh Kerta Wangsa melesat ke arahnya sambil mengayunkan pedangnya yang bergerak bergulung-gulung seperti hendak melipat tubuh Pendekar Rajawali Sakti.
"Hup!" "Uts!" "Yeaaa...!"
Namun pada saat itu juga Rangga melepaskan pukulan jarak jauh dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'. Maka seberkas sinar merah langsung keluar dari telapak tangannya, menghajar ke arah Siluman Liar Berdarah Dingin. Pemuda itu terkejut setengah mati. Dan dia berusaha menghindarinya dengan kalang kabut. Sementara itu desir angin pukulan Pendekar Rajawali Sakti menderu hebat. Dan saat tubuhnya melesat cepat melepaskan pukulan, Kerta Wangsa masih sempat menangkis.
Namun begitu sodokan kaki kanan Rangga menghantam telak dadanya, Kerta Wangsa tak bisa berbuat apa-apa lagi. Dia kontan terpental, namun masih untung mampu berpijak di tanah. Langsung dihapusnya darah yang menetes di sudut bibirnya.
Plok! Plok...!
"Hebat sungguh hebat! Dua pemuda gagah dan sama-sama berkepandaian tinggi. Sungguh pantas bagi anakku!"
Rangga dan Kerta Wangsa sama-sama menoleh ketika terdengar tepuk tangan meriah yang disusul munculnya empat orang bertubuh aneh dan berpakaian sama. Yang dua orang, laki-laki bertubuh cebol. Satu berusia tua, dan seorang lagi seperti bocah berusia delapan tahun. Di sebelah mereka terdapat dua orang wanita. Yang seorang, tinggi kurus memegang tongkat dan berusia lanjut. Sedang yang satu lagi, seorang gadis cantik dengan kulit kusam tak terawat.
"Den Kerta Wangsa! Merekalah orang yang kita cari-cari. Laki-laki cebol yang wajahnya seperti anak-anak itu! Jangan salah kira, dia bukan anak kecil, tapi pemuda dewasa yang bertubuh cebol," bisik Ki Gembyong, setelah menghampiri Kerta Wangsa.
"Hm.... Ternyata mereka...."
"Apakah kau mengenalnya?"
Kerta Wangsa mengangguk. "Orang-orang menyebut mereka sebagai Pendekar-pendekar Aneh. Dan memang, kelakuan mereka juga aneh-aneh."
"Pendekar Aneh? Baru kali ini nama itu kudengar," kata Ki Gembyong.
"Memang! Mereka jarang menunjukkan diri kalau tak ada sesuatu hal yang penting"
"Lalu dengan munculnya mereka di sini, pasti ada yang dianggap penting?" tebak Ki Gembyong.
Kerta Wangsa kembali mengangguk.
"Lho, Iho.... Kenapa diam? Ayo, lanjutkan pertarungan kalian. Biar aku akan menontonnya dari sini!" teriak laki-laki tua bertubuh cebol yang bernama Warkala.
"Sial! Kau pikir kami ayam aduan yang seenaknya diadu? Kalau kau memang suka sekali melihat orang bertarung, kesinilah. Biar kuperlihatkan, bagaimana enaknya!" bentak Kerta Wangsa garang.
"Hi hi hi...! Kau dengar, Warkala? Dia betul-betul bersemangat tinggi. Ah! Pasti pantas untukmu, Antika," ucap Yuningsih, istri Warkala.
Sementara Antika yang berkulit putih namun kusam, tersipu malu mendengar perkataan ibunya. Namun dengan cepat parasnya berubah ketika mendengus sinis.
"Huh! Belum tentu dia pantas menjadi suamiku. Siapa tahu, hanya pepesan kosong belaka."
"Gadis celaka! Apa katamu?" mata Kerta Wangsa mendelik marah. Hampir saja Kerta Wangsa menyerang gadis itu kalau tak ingat urusannya dengan Pendekar Rajawali Sakti. "Pendekar Rajawali Sakti! Sebaiknya kita tunda sesaat urusan kita. Aku bermaksud akan memberi pelajaran pada perempuan besar mulut ini!"
"Silakan, Kisanak. Kebetulan aku pun akan melanjutkan kembali perjalananku," sahut Rangga. Pendekar Rajawali Sakti kemudian berlalu, hendak mendekati gadis berbaju biru yang sejak tadi diam memperhatikan pertarungan mereka. Dan baru berjalan lima langkah, tiba-tiba sebuah bayangan berkelebat menghadang Pendekar Rajawali Sakti.
"Eee. Jangan seenaknya pergi dari sini. Kalian harus melanjutkan pertarungan tadi, agar aku dapat melihat orang yang paling hebat. Yang menang nanti, akan berhadapan dengan putriku. Dan kalau bisa mengalahkan Antika, maka dialah yang berhak menjadi menantuku!" seru Warkala, begitu mendarat di depan Pendekar Rajawali Sakti.
"Kisanak, menepilah. Jangan menghalangi langkahku!" ujar Rangga memperingatkan.
"Hei! Sungguh sombong! Apa kau pikir berhak berkata begitu padaku? Anak muda kurang ajar! Kau patut dihukum!"
Setelah berkata demikian, tubuh orang tua cebol itu bergerak cepat. Pedang kayu mainannya langsung dikeluarkan untuk menyerang Pendekar Rajawali Sakti.
"Yeaaa...!"
Walaupun bertubuh cebol, tapi orang tua itu mampu bergerak cepat. Bukan hanya itu saja! Angin serangannya pun cukup kuat, karena dibarengi tenaga dalam hebat. Tampak Warkala tak tanggung-tanggung menggempur lawan. Bahkan seperti hendak menjatuhkan secepatnya. Tentu saja, hal ini membuat Rangga terkejut. Tentu saja serangan Warkala tak bisa dianggap enteng. Mau tak mau, serangan itu terpaksa diladeni secara bersungguh-sungguh pula.
Sementara itu, melihat mereka bertarung, bukan main kesalnya Kerta Wangsa. Dia merasa orang tua cebol itu telah merebut lawannya. Sebenarnya, bisa saja dia mengeroyok Pendekar Rajawali Sakti. Bahkan mungkin, akan membuat pemuda itu mudah dilumpuhkan. Tapi bukan itu yang diinginkannya, tapi kematian Pendekar Rajawali Sakti di tangannya sendiri dalam pertarungan adil satu lawan satu.
"Pendekar Rajawali Sakti! Kau bereskanlah dulu orang-orang aneh ini. Suatu saat, aku akan datang mencarimu!" teriak Kerta Wangsa bermaksud meninggalkan arena pertempuran.
"Keparat! Apa katamu?! Seenaknya bicara!" sentak Yuningsih sambil melompat dan menghalangi langkah Kerta Wangsa.
Bersama perempuan tua itu pula, mendekat dua orang putra-putrinya. Sikap mereka sama dalam menghadang jalan Kerta Wangsa. Tenang sambil menatap dengan sinar mata sinis.
"Perempuan tua, menepilah. Kalau tidak, aku tak akan segan-segan memenggal kepalamu!"
"Hi hi hi...! Baru kali ini kudengar ada orang yang berani bicara begitu di hadapanku. Kalau tidak gila, pasti dia ingin mampus di sini!" sahut Yuningsih sambil tertawa nyaring.
"Sial! Kau betul-betul tak bisa diajak bicara baik-baik!"
Sring!
"Yeaaa...!"
Sambil menyeringai buas, Kerta Wangsa segera mencabut pedangnya dari warangka. Maka langsung diserangnya perempuan tua di hadapannya.
Namun dengan sigap, Yuningsih menghindar. Bahkan kini tiba-tiba Sukarsa ikut membantu sambil berteriak keras menggelegar.
"Ibu! Biarlah monyet satu ini menjadi bagianku, sementara orang tua jelek itu menjadi bagian Antika!" seru Sukarsa sambil menunjuk Ki Gembyong.
"Hi hi hi...! Pintar juga kau mencari lawan, Sukarsa. Tapi tak apalah. Hitung-hitung melemaskan otot-ototku yang kaku bermain dengan orang tua yang tak berguna ini!" sahut Antika langsung melompat, menyerang Ki Gembyong.
Kedua orang tua aneh itu serta putra-putri mereka yang juga aneh, memang rata-rata memiliki ilmu olah kanuragan tingkat tinggi. Walau nama mereka tak banyak dikenal orang, tapi beberapa tokoh persilatan cukup mengenali mereka karena sepak terjangnya yang aneh.
Namun, bila seorang diri menghadapi Siluman Liar Berdarah Dingin yang terkenal berilmu tinggi dan kejam, sungguh tindakan yang konyol. Hal itu sama artinya mengantarkan nyawa. Seperti halnya salah seorang di antara mereka yang bernama Sukarsa. Kini mulai terlihat. Baru dua jurus berlangsung, Sukarsa mulai tersudut.
Kini tak ada lagi suara terkekeh-kekeh mengejek lawan. Apalagi, ujung pedang Kerta Wangsa begitu cepat menyambar-nyambar mengancam keselamatannya. Keringat dingin pun mulai mengucur di tubuh Sukarsa. Dan pada jurus-jurus selanjutnya, Sukarsa hanya bisa menghindar terus.
"Yeaaa...!"
Tiba-tiba tubuh Kerta Wangsa berputaran cepat dengan kelebatan pedangnya. Sambil terus bergerak maju mendekati lawan yang mulai kebingungan, tangan kirinya menyodok cepat ke dada Sukarsa.
Dug!
Dan belum lagi Sukarsa menguasai diri, pedang Kerta Wangsa telah mengincar jantungnya. Maka....
Creb!
"Aaa...!" Sukarsa terpekik nyaring.
"Sukarsa...!" Yuningsih, perempuan tua itu terkejut setengah mati sambil memburu ke arah Sukarsa yang terpental dengan dada kiri mengucurkan darah segar. Saat di pangkuannya, Sukarsa telah menggelepar-gelepar sesaat, sebelum nyawanya lepas dari raga. Yuningsih langsung menangis sesenggukan.
Sementara pada saat yang bersamaan, Antika berhasil memecahkan batok kepala lawan. Namun bukan main kagetnya dia menyaksikan Sukarsa, kakak satu-satunya, tewas di tangan lawan. Maka buru-buru dia melompat memburu. Hal yang sama juga terjadi pada Warkala. Agaknya, ikatan batin di antara mereka kuat sekali. Walau masih gencarnya bertarung menempur lawan, namun melihat putranya roboh, lawan langsung ditinggalkan begitu saja. Dia lalu memburu ke arah putranya yang berada di pangkuan istrinya.
"Sukarsa...!" Ketiga orang aneh itu menangis sesenggukan seperti anak kecil. Tapi, Kerta Wangsa tak mempedulikan keharuan yang menyelimuti hati mereka. Kakinya terus melangkah mendekati Rangga dengan sorot mata tajam.
"Kini tak ada lagi yang akan menghalangi urusan kita!" kata Kerta Wangsa dengan suara menusuk, siap mengayunkan pedang.
"Kisanak..."
"Yeaaa...!"
"Uts, haaa...!"
Rangga tak sempat meneruskan kata-katanya ketika pedang lawan menyambar cepat ke arahnya yang disusul satu pukulan yang mengeluarkan sinar abu-abu dari telapak tangan Kerta Wangsa.
"Gelap Ngampar!"
"Hm.... Sungguh berbahaya pukulannya. Mengandung racun yang hebat," desis Rangga pelan sambil jungkir balik menghindarinya.
Pendekar Rajawali Sakti tak bisa terus bertahan. Dalam tiga jurus lagi, tentu dirinya akan bisa dilumpuhkan lawan. Dan tanpa pikir panjang lagi, pedang pusakanya cepat dicabut. Maka seberkas sinar biru keluar dari batang Pedang Pusaka Rajawali Sakti menyinari sekitar tempat itu.

Kerta Wangsa sempat bergidik bulu kuduknya menyaksikan kehebatan pamor pedang lawan. Sempat terlihat wajah Rangga yang semula berkesan ramah, kini berubah menjadi menggiriskan.
"Hiyaaat..!" Rangga berteriak nyaring sambil berkelebat ke arah lawan menggunakan jurus 'Pedang Pemecah Sukma'.
"Yeaaa...!"
Begitu pedang lawan akan mengincar lehernya, Pendekar Rajawali Sakti cepat merendahkan tubuhnya sambil memapak pedang lawan.
Trak!
Seketika pedang Kerta Wangsa terpenggal menjadi dua bagian. Laki-laki itu kontan terkejut dengan tubuh terjajar dua langkah ke belakang. Dalam adu pedang tadi, jelas tenaga dalam Kerta Wangsa kalah jauh dibanding Pendekar Rajawali Sakti. Bahkan tubuhnya jadi bergetar hebat seperti tersengat kala berbisa. Dan belum lagi dia mampu menguasai diri, pedang Pendekar Rajawali Sakti telah kembali terayun ke arah perutnya. Sehingga....
Breeet!
"Aaa...!" Kerta Wangsa terpekik nyaring dengan tubuh sempoyongan. Tangan kirinya langsung mendekap perutnya yang robek ditebas pedang Rangga. Sementara, tangan kanannya masih menggenggam erat pedangnya yang buntung hampir separuh. Seluruh tubuhnya tampak biru. Dan dengan menahan rasa sakit, tubuhnya tampak menggigil berusaha bertahan.
"Pende... kar Rajawali Sakti.... Kau... kau menang... Aaah...!" Kerta Wangsa langsung roboh tak bernyawa lagi. Dari bibirnya tampak menyunggingkan senyum puas.
Rangga menyarungkan kembali pedang pusakanya, disertai helaan napas. Hal yang paling parah adalah kesombongan Kerta Wangsa sendiri. Meski mengetahui kehebatan pamor pedang lawan, namun harga dirinya begitu tinggi. Akibatnya sungguh hebat. Bukan hanya pedangnya yang terbabat buntung, tapi ujung pedang Rangga terus meluncur menyambar bagian perutnya. Pendekar Rajawali Sakti lalu melangkah mendekati Sekar Harum.
"Nisanak, siapakah namamu? Kalau berkenan, kau boleh pergi...."
"Aku..., eh! Aku.., namaku Sekar Harum."
"Hm.... Sekar Harum, sekarang kau bebas untuk pergi...."
"Aku tak tahu harus pergi ke mana? Satu-satunya orang tempatku bernaung, adalah guruku. Tapi beliau kini tewas di tangan pemuda itu...," kata Sekar Harum seraya menunjuk tubuh Kerta Wangsa yang telah menjadi mayat. Rangga mengangguk-anggukkan kepala.
"Heh?!" Rangga berseru heran ketika Warkala beserta istri dan putrinya telah berdiri di dekatnya sambil menundukkan wajah sedih.
"Kisanak! Kau telah mengalahkan lawanmu yang tangguh. Jadi pastilah ilmu silatmu sangat hebat. Putriku pernah bersumpah akan kawin dengan laki-laki yang mampu mengalahkannya. Nah, Kisanak. Sudilah kau menjadi calon suami anakku," kata Warkala dengan suara pelan.
"Eh...! Ng.., apa-apaan ini? Aku tak mengerti maksud kalian?!" jawab Rangga heran.
"Sukarsa tewas di tangan pemuda itu. Sedang dia sendiri, tewas di tanganmu. Di samping itu kepandaian Antika berada di bawah Sukarsa. Maka secara tak langsung, kau telah mengalahkan putri kami," jelas Warkala.
"Lalu?"
"Putriku harus menepati janjinya. Dan dia hanya akan kawin dengan pemuda yang mampu mengalahkannya."
"Gila...!"
"Apa katamu, Kisanak?" tanya Warkala, gusar.
"Eh! Maksudku, hal ini tak masuk akal. Begini saja. Kisanak, bukan aku tak mau kawin dengan putrimu. Dia cantik. Dan rasanya, setiap pemuda pasti akan suka padanya. Tapi saat ini aku betul-betul belum berhasrat untuk berumah tangga..."
"Tidak bisa! Itu telah menjadi ketentuan dalam keluarga kami!" bantah Warkala, memaksa.
Rangga kehabisan akal untuk mengelak niat orang tua aneh itu. Maka dengan perasaan malu, diraihnya Sekar Harum. Lalu, digenggamnya tangan gadis itu.
"Kisanak, kau lihat? Aku telah memiliki kekasih. Dia sangat setia padaku. Mana mungkin aku tega mengkhianatinya?"
"Bohong! Aku tak peduli!"
"Tentu aku peduli. Bukankah begitu, Sayang?" tanya Rangga bersikap mesra pada Sekar Harum.
Sekar Harum tak berani menjawabnya, malu untuk mengeluarkan kata-kata. Tapi pada saat itu, tiba-tiba Warkala telah melompat sambil menerkam tubuh Sekar Harum.
"Tak peduli siapa dia, kau harus kawin dengan putriku. Dan kalau perlu, dia yang harus mampus."

"Hiyaaat...!"
Dan Rangga tak bisa membiarkan begitu saja keselamatan Sekar Harum, Maka, dia cepat bertindak dan menangkis serangan Warkala. Tangan kirinya dengan cepat menotok.
Plak! Tuk!
Seketika orang tua cebol itu ambruk ke tanah dengan tubuh lemas.
"Kurang ajar! Berani betul kau berbuat begitu terhadap suamiku!" bentak Yuningsih sambil melompat menerjang Rangga. Bersamaan dengan itu, Antika pun ikut menyerangnya.
Untuk sesaat, Rangga agak sibuk. Untung saja dia cepat menguasai diri. Dan saat tubuhnya bergulung-gulung sambil berkelebat cepat, mereka tersentak kaget. Dan saat itulah kedua tangannya dengan cepat menotok jalan gerak mereka.
"Cepat, Sekar Harum! Mari kita tinggalkan tempat ini!" seru Rangga. Langsung disambarnya tubuh Sekar harum, lalu pergi dari tempat itu.
"Tapi mereka...."
"Tak sampai malam hari, mereka akan terlepas dari totokan itu."
"Hm...." Tak lama berselang setelah sosok Rangga maupun Sekar Harum menghilang perlahan dari tempat itu, tiba-tiba sayup-sayup terdengar suara panggilan dari kejauhan.
"Rangga, tunggu..!"
Dua orang berkuda menuju ke arah Rangga dan Sekar Harum berlalu. Yang berada di depan seorang gadis belia berwajah cantik. Dan dibelakangnya, pemuda tampan berbaju mewah. Mengetahui Pendekar Rajawali Sakti tak mendengar panggilannya, gadis belia itu tertunduk lesu. Perlahan-lahan pemuda dibelakangnya mengajaknya untuk segera berlalu dari tempat itu.

***

TAMAT

🎉 Kamu telah selesai membaca 94. Pendekar Rajawali Sakti : Pendekar Aneh 🎉
94. Pendekar Rajawali Sakti : Pendekar AnehTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang